Menjauh

2K 244 21
                                    

A/N:

Jumpa lagi~~~~

Kemarin nggak ada internet, nggak apa-apa. Jempol tetep ngetik 😄😄😄

Semoga suka 💜💜💜

*******

Yoongi tertunduk lemas di teras rumah Taehyung. Rencananya gagal total. Kini, Taehyung tidak akan pernah tahu bahwa mereka akan memiliki anak.

Yoongi meninggalkan rumah keluarga Kim dan berjalan pulang tanpa semangat. Beberapa pasangan berpapasan dengannya sepanjang jalan, membuat Yoongi merasa bahwa duni tengah mengejeknya.

“Semua akan baik-baik saja, Aegi. Pasti akan baik-baik saja. Tapi untuk hari ini, biarkan Appa menangis dulu.”

Yoongi mengunci diri di dalam kamar. Ia menatap kosong ke arah kegelapan malam. Apakah masa depannya dan bayinya juga segelap itu?

“Tidak. Aku tidak akan membiarkannya.”

Yoongi turun ke lantai satu dan menemukan orang tuanya tengah menonton drama televisi. Ia mendudukkan diri di samping Sang Ayah yang belum menyadari kehadirannya.

“Appa?”

“Hm?”

“Aku ingin ke Taiwan bertemu Bibi Chaeyoung.”

Sang Ayah menoleh.

“Kenapa tiba-tiba? Apa kau tidak mau mendaftar kuliah?”

“Aku ingin kuliah di Taiwan. Boleh?”

Orang tuanya mematikan televisi dan memberi perhatian penuh pada putra bungsu mereka.

“Bisa kau beri tahu Eomma dan Appa alasannya?”

“Aku ingat Bibi Chaeyoung pernah menawariku dulu kalau aku mau tinggal di sana. Aku sudah memikirkannya dan kuputuskan ingin pergi ke sana.”

“Yoongi-ah, Appa tidak keberatan dengan mengirimmu ke sana tapi apa kau sudah memikirkannya masak-masak? Appa tidak mau kau tiba-tiba menangis dan minta pulang.”

“Tidak akan, Appa. Aku janji. Aku sudah lulus SMA dan harus mulai mandiri. Kurasa tinggal jauh dari rumah akan membantuku lebih dewasa.”

Orang tua Yoongi terdiam. Mereka tidak menyangka putranya akan membuat keputusan seperti ini.

“Kalau memang itu maumu, Appa tidak akan melarang asal Eomma menyetujui dan bibimu mau.”

“Eomma? Apa Eomma mengizinkan?” tanya Yoongi sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Sang Ibu.

“Kau anak bungsu, Yoongi-ah. Bagaimana kalau cuaca dan makanan di sana tidak cocok? Bagaimana kalau orang-orang tidak ramah padamu? Eomma tidak bisa membayangkannya.”

Yoongi meremas tangan wanita yang telah melahirkannya itu.

“Eomma, kalau Eomma memberi restu, itu sudah cukup bagiku. Bagaimanapun keadaannya nanti, aku akan menghadapinya. Aku yakin akan baik-baik saja karena ada Bibi Chaeyoung di sana. Aku tidak sendirian.”

Nyonya Min menangis dalam diam. Ini sungguh hal yang berat baginya. Anak-anaknya selalu berada di dekatnya dan tak pernah pergi ke luar negeri tanpa dirinya. Ia tak tahu apakah ia akan kuat jika berjauhan dari mereka.

“Eomma akan memikirkannya dan memberitahumu besok.”

“Baik, Eomma. Terima kasih sudah mau mempertimbangkan.”

---

Satu minggu kemudian

“Yoongi-ah!” Seorang wanita berseru memanggilnya sambil berlari mendekat.

“Bibi Chaeyoung!”

“Ya ampun! Bibi benar-benar tidak menyangka keponakan Bibi akan tinggal dengan Bibi di sini. Hyung-mu tidak pernah mau setiap kali Bibi minta.”

Min Chaeyoung, adik bungsu ayah Yoongi, memeluk dan mengusap-usap punggung keponakan yang sudah lama tak ia jumpai.

“Ayo pulang. Kau pasti capek.” Chaeyoung menggandeng lengan Yoongi yang tersenyum lebar ke arahnya. “Bibi yakin pasti orang tuamu menangis saat kau berangkat. Apalagi kau ke sini sendiri.”

“Benar, Bi. Hyung juga meski tidak mau mengaku. Hahaha!”

Chaeyoung ikut tertawa. Di satu sisi, ia merasakan kesedihan kakak dan kakak iparnya yang enggan melepas Yoongi. Tetapi, di sisi lain, ia senang akhirnya tidak akan sendiri lagi di rumah sejak suaminya wafat dalam usia yang sangat muda sebelum mereka sempat memiliki keturunan.
Chaeyoung duduk di balik kemudi sementara Yoongi berada di sampingnya.

“Bibi harap kau lapar karena Bibi sengaja masak banyak makanan untuk menyambutmu.”

“Terima kasih, Bi. Aku pasti akan menghabiskannya.”

---

“Kita makan di situ ya. Bibi suka sekali rumah makan yang itu.”

Chaeyoung menunjuk sebuah rumah makan Prancis di seberang jalan. Mereka perlu mengisi tenaga setelah seharian mengunjungi beberapa kampus dan mencari tahu program-program yang ditawarkan.

“Boleh, Bi. Kakiku juga mulai pegal.”

Chaeyoung memilih meja yang berada di dekat jendela dan mereka segera memilih makanan setelah seorang pelayan memberi buku menu.

“Mohon ditunggu, Nyonya. Terima kasih,” ujar pelayan tersebut.

“Bibi, apa tidak masalah kalau hari ini tidak ke toko?” tanya Yoongi.

Bibinya memiliki usaha perhiasan yang dirintis olehnya dan mendiang suaminya.

“Tidak apa-apa. Lagipula hanya sehari. Di toko sudah ada staf yang Bibi percaya. Mereka sudah tahu porsi masing-masing jadi tidak harus selalu diawasi.”

“Senang mendengarnya kalau begitu.”

“Permisi, ini café latté dan champagne pesanan Anda,” sela pelayan sambil meletakkan minuman di hadapan mereka. “Selamat menikmati.”

“Terima kasih.”

Yoongi baru saja mengangkat cangkir café latté-nya namun baunya tiba-tiba membuatnya mual.

“Bi, maaf aku ke kamar kecil dulu ya.”

“Tentu saja, Sayang.”

Yoongi mencoba untuk tidak berlari namun saat tulisan TOILET sudah di depan mata, ia mempercepat langkahnya. Yoongi memasuki salah satu bilik dan memuntahkan sarapannya.

“Aegi-ah, apa kau tidak suka Appa minum kopi?” gumamnya pada Sang Janin di dalam perut.

Yoongi pun berdiri setelahnya kemudian mencuci tangan serta berkumur sebelum keluar. Ia mengatur nafas untuk menekan rasa mual yang sepertinya kembali bergejolak.

“Oh makanannya sudah datang,” seru Yoongi saat duduk kembali.

“Baru saja. Ayo makan. Kau pasti lapar,” ujar Chaeyoung ceria. Ia mengiris daging steak di piringnya dan memasukkan potongan daging tersebut ke dalam mulut kemudian memuji rasa makanan kesukaannya itu. “Enak sekali.”

Yoongi tersenyum dan berniat mengikuti yang baru saja dilakukan bibinya namun perutnya berulah lagi. Bau daging steak di depannya terasa mengganggu. Bahkan parfum salah satu pengunjung rumah makan siang itu terasa menusuk hidungnya. Yoongi menutup mulut dan memberi tanda dengan telunjuk untuk Sang Bibi lalu berlari ke toilet.

“Aegi-ah, Appa harus makan apa? Kenapa kau selalu tidak suka makanan yang Appa pilih?”

Yoongi menghapus keringat di dahi dan lehernya. Ia merasa tak bertenaga setelah mengeluarkan isi perutnya dua kali dalam jeda yang singkat.

“Bibi Chaeyoung pasti akan curiga kalau aku di sini terlalu lama. Aku harus keluar sekarang.”

Yoongi membasuh wajahnya dan mengeringkannya dengan tisu sebelum meninggalkan toilet.

“Kau tidak apa-apa, Sayang? Apa kau masih kelelahan karena penerbanganmu kemarin?”

“Tidak apa-apa, Bi. Perutku hanya sedikit bermasalah.”

“Kalau begitu, kita bungkus saja makanannya ya lalu pulang. Kau harus istirahat.”

Yoongi mengangguk. Ia tak memiliki cukup tenaga untuk membantah.

---

“Yoongi-ah, boleh Bibi bicara sebentar?”

“Ada apa, Bi?”

Chaeyoung dan Yoongi tengah bersantai di apartemen Chaeyoung sambil menonton film.

“Maaf kalau Bibi menyinggung dan kau anggap terlalu mengurusi privasimu. Bibi tahu kau muntah-muntah lagi sejak kita pulang. Bibi tebak di rumah makan juga seperti itu. Bibi juga mendengarmu menyebut Aegi.” Chaeyoung menggenggam tangan keponakannya. “Katakan, Sayang, apa kau hamil?”

Air mata Yoongi tiba-tiba menetes. Ia tak mungkin membohongi bibinya setelah wanita tersebut melihatnya sendiri. Maka, ia hanya mengangguk pelan.

“Maaf, Bi. Hiks…kumohon jangan beri tahu Eomma dan Appa atau Hyung.”

Chaeyoung merengkuh Yoongi dalam dekapannya. Ia senang dan sedih mendengarnya.

“Cup cup sudah. Jangan bersedih lagi.” Ia melepaskan pelukan dan mengangkat dagu Yoongi agar menatapnya. “Bibi akan membawamu ke dokter kandungan. Bibi tidak akan mengatakan hal ini pada orang tua dan Hyung-mu. Tapi jika terjadi sesuatu, semoga saja tidak, yang membahayakanmu atau anakmu, Bibi akan memberi tahu mereka.”

Yoongi mengangguk.

“Terima kasih, Bi. Maaf aku menyembunyikannya.”

“Berjanjilah jangan melakukannya lagi, paham? Bibi tidak mau ada hal buruk terjadi pada kalian.”

Yoongi menyembunyikan wajahnya di leher Sang Bibi.

“Kau harus istirahat sekarang. Besok kita ke dokter. Bibi tidak sabar melihat cucu Bibi.”

---

Yoongi membagi cerita mengenai dirinya dan ayah bayinya tanpa sekalipun menyebut siapa namanya. Ia belum merasa cukup kuat dan tegar untuk menyebut nama pemuda tersebut.

“Bibi ikut sedih mendengarnya. Tapi Bibi senang kau memutuskan mempertahankan bayimu. Kau tahu, sebelum Pamanmu meninggal, kami berencana memiliki anak. Tapi, siapa yang bisa menduga apa yang terjadi dalam hidup? Pamanmu meninggal ketika kami belum berhasil mewujudkan mimpi itu. Tapi, Bibi merasa kau dan bayimu bisa mewakili apa yang kami harapkan.”

“Terima kasih, Bi. Aku harap aku akan bisa membalas kebaikan Bibi suatu hari nanti.”

“Cukup jaga kesehatan dan besarkan anakmu dengan baik dan penuh kasih sayang. Itu saja.”

Yoongi bahagia. Ia dan bayinya memiliki seorang malaikat seperti bibinya. Itu saja sudah cukup, batin Yoongi. Ia tak akan berani mengharapkan yang lebih.

- Bersambung -

Major Kim, Teacher MinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang