Kidnapped

29 2 4
                                    

Hujan lebat disertai angin kencang bergemuruh membuat pohon-pohon bergoyang hebat.

Carmen mengibaratkan pohon itu bergoyang karena takut daunnya dilepas. Bagi Carmen, daun dipohon sama dengan rambut. Pohon bergoyang agar rambutnya tak terbang, jika tidak ia akan gundul dan jelek.

Carmen mendengus. Sudah hampir 2 minggu ia dikenakan skors, dan sudah selama itu juga ia tak bertemu teman-temannya. Semakin hari pikirannya semakin tak jelas karena kesepian.

Hanya Dokter Nadine yang setia mengajaknya bicara selain ibu tirinya yang selalu mengajak debat.

"Carmen jangan duduk disana, nanti kamu sakit." seru Dokter Nadine dari dalam kamar.

Saat ini mereka berada di kamar Carmen dengan si empunya kamar berada di balkon menatap hujan.

"Davi enggak pernah hubungin aku, Dok. Dia kayaknya emang marah." gumam Carmen lesu.

Dokter Nadine tersenyum simpul. "Dia mungkin sibuk. Kamu tau, kan, akhir-akhir ini namanya jadi semakin sering disebut media."

"Sejak kasus aku muncul." balas Carmen datar.

"Selain itu, film terbarunya rilis minggu lalu. Banyak yang apresiasi aktingnya di film itu." ucap Dokter Nadine semangat.

"Terus hubungannya?"

"Mungkin aja sekarang banyak yang ngajak kerja sama, makanya dia sibuk."

Sebelah alis Carmen naik. "Ditengah berita buruk kayak gini?" tanya Carmen tak yakin.

"Saya dengar sebelum filmnya rilis Davian sempat tes narkoba dan hasilnya negatif. Jadi ya, aman-aman aja." jelas Dokter Nadine.

Carmen menghela nafas. Mengenai tes narkoba, dia telah menjalaninya secara diam-diam juga minggu lalu. Dan hasilnya, positif.

Dokter Nadine berpendapat mungkin itu karena saat menemukan bubuk sabu, Carmen yang penasaran sempat mengendus aromanya sehingga bubuknya terhirup dan hasilnya jadi seperti itu.

Maka mereka memutuskan menunggu sampai diminggu ketiga lalu melakukan tes ulang.

"Jangan putus asa. Kamu bakal balik sekolah, kok." seru Dokter Nadine penuh senyuman.

"Makasih ya, Dok." Carmen tersenyum tipis. "Saya kangen Hayden, Dok."

Senyum Dokter Nadine meluntur sedikit. "Saya dengar dia sudah tunangan, ya? dengan siapa namanya? sesama anak kolongmerat juga, kan?" Dokter Nadine mencoba mengingat-ingat nama gadis itu.

"Viana Archer, musuh bebuyutan aku." jawab Carmen datar.

Dokter Nadine terkejut sejenak, tapi setelah itu ia tersenyum. "Gak susah dong, kalau mau direbut."

"Jadi Dokter dukung aksi pelakoran?" tanya Carmen.

Dokter Nadine menggeleng. "Gak boleh, dong."

"Tapi kalau terpaksa, kenapa enggak?"

••••

Hayden mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan yang hampir penuh. Ditengah hujan yang lebat seperti ini, jelas itu berbahaya. Namun tak ada yang lebih berbahaya lagi selain kabar bukti Carmen tidak bersalah yang selama ini ia dan Davian kumpulkan, berpindah tangan pada Revan.

Ya, selama hampir seminggu ini, lebih tepatnya sejak pembicaraan mereka di cafe malam itu, mereka telah menjalankan sebuah rencana. Tidak rumit namun perlu perhatian yang banyak.

Jika tidak berhati-hati, maka hal seperti inilah yang akan terjadi.

Tangkapan layar yang berisi private chat antara Revan dan sang bandar, kini berada dalam genggaman pemilik aslinya.

Baru saja Aldi, salah satu mantan temannya memberitahukan hal itu. Bahwa, ia dan Bimo sedang menculik Davian saat jam makan siang. Dibantu dengan anak buah sang bandar, saat ini mereka menyekap Davian dimarkas sang bandar dengan ponsel Davian yang sedang diotak-atik Revan.

Hayden tak menyalahkan Davian. Tidak, Davian tidak salah. Yang salah adalah dirinya. 2 hari yang lalu ia sempat mengatakan akan membongkar semuanya pada Revan, sehingga cowok itu curiga dan menjalankan aksi nekat seperti ini.

"Shit!" umpat cowok itu kesal sambil sesekali memukul stir mobilnya.

"Gak mungkin polisi." gumamnya pada diri sendiri. "Terus siapa?"

Jelas. Cowok itu tak bisa pergi seorang diri kesana. Sama saja dengan menyerahkan diri hidup-hidup.

Tangannya meraih ponselnya dikursi penumpang lalu menelpon seseorang,

"Bantu gue! Gue janji gak batalin pertunagan kita.

••••

Davian menatap datar para preman dihadapannya. Sejak tadi ia terus diolok-olok oleh mereka semua.

"Katanya artis, jadi BA alat olahraga, tapi kok lemes gini?" ucap salah satu dari mereka yang dibalas gelak tawa dari yang lain.

"Dilayar keker banget, eh aslinya ... ck!"

"Pake filter kali."

Ruangan itu kembali dipenuhi tawa. Membuat telinga Davian berdengung.

Ingin rasanya cowok itu membalas, jika mereka tak melakukan keroyokan, pasti cowok itu tak akan disekap seperti ini. Bahkan bisa membalas serangan mereka.

"Kira-kira yang bebasin dia siapa, ya? pacarnya yang dituduh narkoba itu?" tanya seseorang setelah hening beberapa detik.

"Malu lah, dibebasin cewek."

"Emang kenapa? dia juga cewek kok." sahut yang lain.

Davian mengepalkan kedua tangannya yang terikat. Emosi cowok itu menandakan ia sudah muak mendengar kalimat tak berguna orang-orang ini.

"Oh! Lihat ini, dia marah! Princess Disney ini sedang marah." ejek pria yang jaraknya terdekat dari Davian.

"Kenapa?" tanya pria itu pada Davian yang membalas dengan tatapan tajam.

"Sepertinya buka penutup mulut tak masalah, kan?" tanyanya pada teman-temannya yang langsung disetujui.

Tak butuh waktu lama lakban yang menutupi mulut Davian terlepas kasar. Membuat cowok itu terpekik pelan.

"Ouch! Princess kita kesakitan." ejek pria itu lagi sambil menatap wajah Davian dengan pandangan menilai.

"Kira-kira bos bakal apain incess ini?"

"Jual mungkin, organ-organnya atau langsung sepaket orangnya." jawab yang lain acuh tak acuh.

"Tapi lebih bagus disewain, gak sih? pasti banyak yang suka si incess. Bisa jadi uang banyak." seru yang lain membuat Davian melotot.

Baru cowok itu akan bersuara sebelum bunyi tapakan sepatu berat bergema.

"Saran yang bagus. Sepertinya menyewakan orang seperti dia lebih menguntungkan untuk jangka panjang. Fansnya dari berbagai kalangan, pasti banyak yang berminat." ucap seorang pria dengan tato tengkorak didahinya.

Pria itu, Davian yakin pria itulah yang ia lihat setiap hari bersama Revan. Sang bandar narkoba yang membuat Revan bekerja padanya sebagai pengedar di sekolah.

"Bacot!"

"Hm? kita cuma spoiler masa depanmu,"

"Masa depan gue, gue ngeliat kalian semua dipenjara bahkan dihukum mati."

"Itu baru yang dinamakan 'bacot'." ujar sang bandar. Pria itu maju menghampiri Davian dengan tenang. "Coba liat sekelilingmu!" telunjuknya berputar keseluruh ruangan. "Kamu sendirian." pria itu mengeluarkan seringainya, menampakkan gigi taring yang entah mengapa lebih panjang dibanding gigi yang lain.

Davian sempat mengira pria itu vampir.

"Bos! ada tamu." teriakan itu membuat seringai pria dihadapan Davian semakin melebar.

••••

Vota & commenta, ya gengs 😘😘







Cool Boy & Weird GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang