Her Bag

18 2 0
                                    

Carmen mendecak sebal. Menyumpah serapah dengan nama-nama binatang pada Davian. Seenaknya saja ia menyuruh Carmen menolak rejeki.

Rejeki dari Hayden lagi.

Ini jarang terjadi. Mustahil. Keajaiban dunia. Tapi cowok yang sekarang berstatus sebagai majikannya itu menyuruhnya membuang semua keajaiban ini.

Masalahnya, Hayden sudah beli tiket. Beli itu pake uang. Dan gak murah. Sekaya-kayanya bokapnya, Carmen tak pernah berminat membuang uang secara cuma-cuma seperti ini.

Carmen menghela nafas gusar. Matanya terus menatap Hayden yang sibuk mengunyah makanannya tenang.

"Engg ... Den! gue disuruh balik." Carmen berkata kikuk.

Hayden menghentikan kunyahannya, "gue udah beli tiket."

"Duhh! sorry ..... banget. Gue disuruh pulang nih. Lain kali aja boleh?"

Hayden menaikkan sebelah alisnya. "Gak boleh."

"Tapi Den. Gu--"

"Nanti gue telepon bokap lo."

"Bukan itu. Masalahnya gue udah dilarang pulang malam. Iya ... itu," ucap Carmen dengan gelagat aneh.

Sebenarnya Hayden tahu, bukan bokapnya yang Carmen permasalahkan. Tapi cowok itu ... yang menampung Carmen, yang pasti menyuruhnya pulang.

"Kalau sama gue, bokap lo bakal ngerti." ujar Hayden. Ia sangat penasaran. Apa si sableng akan mengatakan yang sebenarnya padanya atau tidak.

"Tapikan..." wajah Carmen gelisah.

"Jadi lo mau pulang?" tanya Hayden sambil merogoh saku celananya. Mengambil dompet dan mengeluarkan kartu berwarna hitam.

"Mmm ... mungkin kalau makanannya udah gue habisin dulu." Carmen langsung menghabiskan makanannya dengan lahap.

Sedangkan Hayden menggeleng-geleng lalu melambaikan tangannya meminta bill.

Beberapa menit kemudian Carmen tersenyum senang. Setidaknya perutnya sudah kenyang dengan makanan enak.

"Balik sekarang?"

Carmen mengangguk sambil tersenyum tak enak. "Makasih ya. Sebenarnya hari ini gue lagi badmood. Tapi untung ada jin baik ngerasukin elo. Jadi gu--"

"Cerewet!"

Carmen melongo menatap Hayden yang berjalan mendahuluinya. Namun ditengah perjalanan menuju lobby tempat mereka datang tadi, Hayden berhenti sebentar. Menawarkan tiket nontonnya pada dua orang remaja dengan seragam rok biru khas anak SMP.

"Makasih kak." dua anak SMP itu tersenyum lebar lalu pamit pergi. Lumayan nonton gratis, kata mereka.

"Gue pikir lo masih mau nonton dulu." gumam Carmen pelan namun masih terdengar. Tapi Hayden lebih memilih tak acuh dan berjalan kearah lorong tempat mereka datang tadi untuk mengambil motornya di kantor polisi.

••••

"Thanks, ya. Tapi sorry banget, gue yang minta tapi gue sendiri yang ngebatalin." Carmen mengembalikan helm yang dipakainya ke sang empu. "Lo gak marahkan?"

"Buat apa?"

"Enggak sih. Gue kira lo marah karena gue ngabisin waktu lo dengan sia-sia." jawab Carmen kikuk. "Gue masuk ya, dadah." Carmen melambaikan tangannya sebentar lalu masuk ke pekarangan sekolah.

Ia memang minta diturunkan disekolah. Selain agar Hayden tak curiga mengenai tempat tinggalnya sekarang, ia juga ingin mengambil tasnya yang tertinggal karena bolos tadi.

"Lohh, Carmen? kamu belum pulang?" tanya bujang sekolah heran.

"Iya pak," jawab Carmen lalu melanjutkan langkahnya ke kelas. Namun sedetik kemudian terhenti. "Pak! kelas saya udah dikunci?"

Bujang sekolah tadi menoleh padanya sambil mengangguk, "mau ambil tas, ya?" tanya bujang itu yang dibalas anggukan oleh Carmen.

"Ada diruang BK. Tadi bu Rosa suruh bawa kesana tas kamu."

Carmen melongo. Gila, mati sudah ia. Tamat riwayatmu Carmen Aninlyvia!

"Tapi semua guru sudah pulang. Ruang BK-nya juga udah dikunci. Besok pagi baru bisa diambil." lanjut bujang sekolah itu. Ia menatap heran siswi didepannya yang kini berdiri mematung dengan wajah pucat, "kamu gak pa-pa? jangan melamun. Gak baik. Nanti kesambet setan."

Carmen tersadar dari lamunan berisi hukuman apa saja yang akan ia jalani. Ia menatap bujang itu lalu tersenyum, berterima kasih, pamit, lalu pulang dengan langkah lunglai.

Bagaimana jika guru BK meminta ayahnya datang. Atau bagaimana kalau bu Rosa mengeluarkannya dari kelas selama 3 bulan.

Jujur, sesering bagaimana pun Carmen bolos. Jika guru yang mengajar bu Rosa, guru kimia ter-killer, maka ia tak akan absen dari kelas.

Carmen berhenti melangkah. Mematung ditempat, menatap cowok kulkas yang masih duduk diatas motornya sambil memainkan ponselnya.

Duhh, serasa ditunggu ama cowok sendiri.

Carmen segera menggeleng. Mengusir pikiran itu. Mana mau Hayden dengan cewek absurd seperti dirinya. Carmen juga sadar diri kok.

"Emang gak tau diri!" seru Hayden sarkas saat Carmen melewatinya begitu saja.

Carmen yang mendengar umpatan itu menoleh, "gue?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Menurut lo?" tanya Hayden. Ia mendorong pelan motornya kedepan Carmen lalu menyodorkan helm-nya kembali. "Pake!"

Carmen mengerjap-ngerjapkan matanya. Serius? si kulkas mau mengantarnya pulang?

Wah, kalau kondisinya Carmen masih tinggal dirumah bokapnya sih, mungkin dia bakal langsung loncat ke motor cowok itu. Tapi masalahnya udah bukan. Kalaupun Carmen sekadar diturunkan didepan rumah ayahnya, cctv bisa menangkap jelas sosoknya. Bisa-bisa Cindy akan tersenyum kemenangan karena berpikir Carmen tak sanggup pergi dari rumah. Belum lagi perjalanan dari rumah ayahnya ke apartemen Davian cukup jauh.

Bisa-bisa Carmen sampai di apartemen Davian pukul 6 sore.

"Ngapain melamun?" seru Hayden dengan sorot mata tajamnya mengarah pada Carmen. Gadis itu semakin kikuk saja.

"Engg..., turunin gue di apartemen yang didepan sana ya, gue mau ambil tas disana. Katanya Stella udah bawa pulang." Carmen menunjuk kearah apartemen yang paling tinggi menjulang diantara gedung-gedung yang lain. Cukup jauh, tapi masih terlihat dari posisi mereka berdiri.

Ini yang disuka Carmen dari apartemen Davian, jaraknya dekat dengan sekolahnya.

"Ayo!" Hayden menyalakan motornya dan Carmen ikut naik dibelakang.

Sepanjang perjalanan mereka terdiam hingga sampai didepan lobby gedung apartemen itu mereka masih saling mengatupkan bibir.

Carmen mengembalikan helm yang dikenakannya pada Hayden sambil mengucapkan terima kasih disertai senyuman. Namun senyumnya pudar saat Hayden tak menerima uluran helm-nya. Kening Carmen berkerut melihat Hayden menatap lurus kearah belakangnya.

Karena penasaran, ia ikut menoleh. Dan disana, Davian berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Carmen.

••••

Vota & commenta, ya gengs 😘😘

Cool Boy & Weird GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang