He Knows

24 2 0
                                    

Pagi ini, Carmen sukses menyelesaikan seluruh pekerjaannya di apartemen Davian. Pagi-pagi buta, sekitar pukul 4 pagi, ia sudah terbangun. Melakukan rutinitas pagi harinya, lalu memulai pekerjaannya.

"Lo mau berangkat? bareng aja." ajak Davian begitu Carmen menyelesaikan kegiatan cuci piringnya.

Carmen menoleh, menatap Davian dengan kaus oblong serta jaket kulit berwarna hitam, lengkap dengan jeans belel-nya.

"Lo mau shooting?"

Davian menggeleng. "Ada meeting. Gue mau jadi Brand Ambassador alat olahraga." Davian tersenyum angkuh.

"Naikin gaji gue." ucap Carmen. "Eh? emang gaji gue berapa?"

Davian mengedikkan bahu. "Kita belum bahas itu kemarin," ucap Davian sambil memakai sepatunya.

"Dan juga ... lo kan tinggal disini, makan disini. Jadi gaji lo gak boleh tinggi-tinggi amat." sambung Davian.

"Tapi gue butuh uang." rengek Carmen.

"Tapi biaya hidup lo kan udah cukup. Uang jajan aja yang gak ada, kan?"

"Tapi..."

"1 juta. Cukup." putus Davian.

"Per-bulan?"

"Yaiyalah! lo mau per-tahun?"

Carmen menggeleng cepat. "Tapi tadi lo bilang bakal jadi BA alat olahraga. Naikin gaji gue dikit gitu..." bujuk Carmen.

Davian menghela nafas. "Yaudah, 1,3?"

Carmen sepertinya akan mengajukan protes lagi namun, Davian segera menyeretnya keluar apartemen.

"Lo udah hampir telat. Cepet!"

"Ya ... sabar! jangan nyeret gitu, dong. Kalau gue jatuh, gimana?"

"Makanya cepet!" Davian akhirnya melepas lengan Carmen yang ditariknya. Lalu berjalan cepat mendahului gadis itu.

••••

"Mobil baru, mbak?"

Carmen mendengus malas. "Pikir aja lah sendiri. Gue males jawab."

"Enak yaa punya bokap kaya." seru Tata.

"Apa bedanya ama bokap lo?"

"Beda lah. Dari namanya aja beda."

Carmen menatap datar Tata yang tertawa. Tatapannya seakan ingin menghunus sebuah pedang pada mulut tata.

Sungguh, punya teman seperti Tata dan Coki bisa menaikkan darahmu secepat kilat tanpa perlu memakan garam.

"Wahh masih pagi, kalian udah gosip." seru si ketua osis yang baru saja datang.

"Yoi, bro." jawab Carmen. "Kita lagi latihan jadi ibu-ibu komplek buat masa depan."

Tawa Tata terhenti sambil menatap suram Carmen, "lo aja. Gue enggak."

"Gak bisa gitu dong, Ta. Teman sejati itu har--"

"Gue cowok, setan! Ngapain jadi ibu-ibu komplek."

Si ketua OSIS -yang Carmen lupa namanya- menggeleng-geleng. "Gue cabut, yak. Lanjutin." ia berlalu setelah menepuk bahu Tata 3 kali.

"Gue temenan ama lo, kayak temenan ama buto ijo." ujar Tata.

"Kenapa?"

"Terlalu berat."

"Lah terus? gue kan gak minta lo gendong,"

"Bukan itu," Tata terdiam sejenak. Menatap tali sepatunya apa terpasang dengan baik atau tidak. Oh syukurlah, aman. "Karena .... lo bau. Kayak buto ijo yang gak pernah mandi."

Setelah mengatakan itu Tata kabur. Berlari secepat mungkin sambil tertawa keras membuat semua orang yang melihatnya berpikir, Tata sungguh alumni rumah sakit jiwa. Seperti yang pernah dia katakan saat mengisi formulir pendaftaran dulu.

Dulu saat mendaftar sekolah setiap siswa harus mengisi biodata, yang dimana termasuk sekolah asal. Tata dengan bangganya menulis sekolah asalnya adalah rumah sakit jiwa. Bahkan menambahkan, 'pak, banyak cecan di Rs.J. kalau bapak mau, saya kenalin. Tapi saya harus masuk sini dulu yah.'

Sungguh berfaedah sekali. Karena anak itu sama sekali tidak bohong. Coki pernah bertanya apa betul cecan di rumah sakit jiwa itu ada? dan Tata dengan senang hati menunjukkan foto selfie-nya dengan cecan tersebut. Hanya saja...

Cecan itu agak mirip dengan Stella.

Sehingga satu kelas beranggapan kalau Stella lah cecan gila yang dimaksud Tata.

••••

Sebuah kantong plastik hitam terulur kearahnya. Ia menatap bimbang kantongan itu.

Hayden tak pernah sama sekali mengonsumsi benda itu. Benda menyesatkan.

Ia tak ingin merusak masa depannya meskipun memang, sering tergoda. Tapi ia akan kembali ingat pada ibunya yang susah payah membesarkannya. Ia tak ingin ibunya kecewa hanya untuk bubuk tak berguna yang kini disodorkan Revandy Naufal.

"Wahh cupu! gini aja lo udah takut." sorak salah satu temannya yang duduk dibelakang Revan. Bimo namanya.

"Udahlah Van. Ngerokok aja, Hayden gak pernah. Apalagi nge-sabu." ujar teman baik Hayden, Aldino. "Lagian kalau dalam satu perkumpulan gak ada satu pun yang baik. Juga bencana."

"Tapi kan cuma sekali. Gue gak suruh lo setiap hari. Enak loh, Den. Serasa terbang melayang-layang. Ibarat layangan gak pake tali." Revan tetap bersikukuh menyodorkan kresek berisi benda laknat itu.

"Gue gak bisa " jawab Hayden final.

"Apa alasan lo? gini aja gak bisa. Hidup lo bosenin amat."

"Nyokap," jawan Hayden lugas. Membuat Revan terdiam beberapa saat. "Gue masih sayang nyokap gue."

Aldi menatap kresek disampingnya. Jika punya Hayden hanya ada sabu. Maka di kresek Aldi ada sabu, ganja, beserta beberapa obat-obatan lainnya.

Ia lalu mengalihkan pandangannya pada Hayden yang menatap tajam Revan. Hayden benar. Ibunya sudah membesarkannya, berharap ia akan jadi orang sukses dimasa depan. Tapi isi kresek yang dibagikan Revan ini, termasuk salah satu hal yang berpeluang besar merusak harapan ibunya.

Karena itu, Aldi menyodorkan kresek itu kembali pada Revan.

"Sorry, gue juga masih sayang nyokap. Rasa kecewanya nanti gak sebanding sama kenikmatan sesaat ini." setelah itu Aldi berjalan pergi.

Hayden melihat itu sambil terdiam. "Jangan kecewain nyokap lo." Hayden ikut berjalan meninggalkan gudang belakang sekolah. Tempat perkumpulannya.

Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara lirih seorang gadis. Ia bukan orang KEPO. Tapi suara gadis itu terasa familiar.

Dan ya, gadis itu Carmen.

"Mau gimana lagi dong. Gue juga udah gak tahan sama bokap gue." Carmen bercerita tanpa air mata pada Stella. Tapi suaranya yang sarat akan kesedihan terdengar jelas ditelinga Hayden.

"Jadi sekarang lo tinggal dimana?" tanya Stella. Menjawab pertanyaan dikepala Hayden. Ada apa dengan Carmen dan ayahnya.

Ternyata si lebah sedang kabur dari rumah.

Hayden baru akan beranjak dari sana jika ia tak mendengar jawaban Carmen,

"Apartemennya artis yang kita ketemu di kedai es om lo. Si Davian itu."

"Sumpah?!" pekik Stella dibalas anggukan Carmen.

"Cuman berdua aja?" tanya Stella lagi.

Carmen melirik sinis kearahnya. "Kita gak ngapa-ngapain. Singkirin otak kotor lo itu."

"Tapi kan ... tetep aja. Kalian beda gender tinggal seatap."

"Sumpah Stel, dari semua cerita gue, lo cuma nangkep yang itu aja?" protes Carmen.

Hayden melihat perdebatan tidak bermanfaat itu mulai terjadi lagi. Ia segera beranjak pergi.

••••



Vomment jangan lupa, ya ;)

Cool Boy & Weird GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang