Childhood Friend

23 3 5
                                    

Davian terbahak-bahak mendengar cerita Carmen. Seakan-akan bukan ia tokoh yang marah tadi.

Iya. Davian marah lagi. Karena saat ia pulang shooting Carmen tak ada lagi. Dan terutama tak ada makanan rumahan yang ia inginkan.

Tapi begitu dijelaskan alasannya, cowok itu langsung berubah mood. Tertawa terpingkal-pingkal hingga berguling-guling dilantai.

Carmen menatapnya aneh lalu meninggalkannya. Cewek itu memilih segera mengganti seragamnya yang lepek penuh keringat dengan kimono handuk. Ia ingin mandi air hangat sebentar. Persetan dengan Davian dan perutnya. Toh kalau Carmen tak mandi, langsung memasak untuk cowok itu lalu keringatnya tak sengaja menetes ke makanan bagaimana?

Ih gue jorok banget, gumam Carmen dalam hati.

Begitu cewek itu keluar kamar hendak menuju kamar mandi, langkahnya terhenti karena Davian tiba-tiba berhenti tertawa dan menatapnya serius.

"Lo cewek! lo tau lagi tinggal berdua ama cowok."

"Terus?" Carmen menaikkan sebelah alisnya.

"Jangan pake handuk doang, goblok."

"Oh.." Carmen melanjutkan perjalanannya menuju kamar mandi tak acuh pada tatapan tajam yang terarah padanya.

Sekitar 15 menit menyelesaikan kegiatan mandinya, Carmen bergegas kembali ke kamarnya. Tak terlihat lagi Davian di ruang tengah. Carmen menaikkan bahunya tak acuh.

"Lo gak perlu se-khawatir itu. Gue gak kayak elo, kok."

Suara Davian terdengar meremehkan. Entah siapa yang diteleponnya. Itu bukan urusan Carmen. Yang jadi urusan Carmen adalah keberadaan cowok itu di kamarnya.

"Heh, Davi. Lo ngapain disini?" tanya Carmen bersidekap diambang pintu.

Davian menoleh lalu tersenyum miring, "gue pastiin lo pasti lagi penasarankan?" ucapnya pada seseorang diseberang sana.

"Davi keluar! gue mau pakean." usir Carmen lagi.

Davian mengangguk sebentar lalu menyuruh Carmen mundur dari ambang pintu agar mereka tak bersentuhan, karena kondisi Carmen yang masih memakai handuknya.

"Hahaha .... lo gak bisa ngancem gue." samar-samar suara Davian berucap untuk sosok diseberang sana terdengar.

••••

"Masakan elo enak." puji Davian sambil mengunyah sayur kangkung dengan lahap. "Dari awal gue perhatiin tangan lo di kedai es, gue udah tau. Tangan-tangan lo itu tipe..."

"Tangan chef? emang." tebak Carmen percaya diri.

Davian menggeleng, "tangan babu." cowok itu menyuap dirinya kangkung lagi. "Agak keriput, mengilap, dekil."

"Sialan lo."

Davian tersenyum lebar, "gue muji loh, Car."

"Pujian macem apa itu?" Carmen cemberut namun beberapa detik kemudian ia teringat hal yang tadi. "Lo ngapain di kamar gue tadi?"

"Gak ngapa-ngapain" jawab Davian tanpa susah-susah menatap Carmen.

"Gak mungkin gak ada apa-apa." ucap Carmen penuh selidik.

"Ini kan apartemen gue. Gue bebas dong kesudut mana aja."

"Tapi yang lo masukin itu kamar gue. Area privasi, tau gak. Gue aja kalau mau masuk kamar lo izin dulu. Itu pun cuma buat bersihin aja." seru Carmen tidak terima.

"Ya udah terlanjur juga. Maaf." Davian mengangkat bahunya tak acuh.

Carmen menatap cowok itu dengan kening berkerut. Masih penasaran apa yang dilakukan majikan jadi-jadiannya ini di kamarnya? lama-lama Carmen merinding sendiri saat membayangkan hal negatif, seperti Davian menyimpan kamera pengintai atau semacam pelet. Atau lebih parahnya lagi menyimpan narkoba ke kamarnya. Agar saat digrebek polisi bukan cowok itu yang ketangkep tapi Carmen, pikir ngawur cewek itu.

"Gue curiga elo punya niat buruk." gumam Carmen dengan mata memicing kearah Davian yang masih asik makan.

Mendapat tatapan seperti itu, sontak Davian tertawa. "Lo gak cocok jadi detektif. Gak usah pasang muka kayak gitu." Davian menunjuk wajah Carmen sambil tersenyum mengejek. "Gue gak ngapa-ngapain kok, sumpah. Tadi itu gue lagi nyari barang yang ilang. Lo kan baru tinggal disini beberapa hari. Sebelumnya kamar lo itu gue pake nyimpen alat-alat fotografi gue." jelas Davian.

"Barang apa?" tanya Carmen, masih dalam mode curiga.

"Kotak yang isinya lensa-lensa kamera. Gue gak ambil kotaknya tadi. Cuma lensa yang gue butuhin aja yang gue ambil."

Carmen mengangguk mengerti. Ia memang pernah melihat kotak yang dimaksud Davian disamping lemarinya. "Gue kira lo nyelundupin narkoba." jujur cewek itu membuat Davian tertawa lagi.

"Udah ah. Gue mau nyupir." Carmen lalu bangkit dari kursinya, membawa piring dan gelas kotor ke dapur untuk dicuci.

"Nyupir? lo kerja sampingan? malem gini?" tanya Davian kaget.

"Enggaklah. Nyupir, nyuci piring." sahut Carmen dari dapur.

Davian mengangguk-angguk sambil beranjak juga. Membersihkan sisa tumpahan makanan yang ada dimeja sambil berpikir lagi, betapa hebatnya dirinya dalam berakting. Tak salah jika ia dijuluki 'aktor termuda paling berbakat'.

••••

Dua pemuda dengan hobi yang sama dan selera yang sama. Bagi semua orang mungkin hal itu dapat mempererat tali persahabatan antar mereka. Namun nyatanya tidak.

Jika salah satu dari mereka lebih, maka yang lainnya akan merasa iri. Begitu pula sebaliknya.

Jika anak perempuan yang seperti itu, mereka akan bersikap seperti musuh dibalik selimut. Beda dengan anak laki-laki yang langsung menunjukkan permusuhan dan ketidaksukaan satu sama lain. Tapi beda lagi dengan lingkup pertemanan Hayden dan temannya ini.

Hayden sangat merasakannya. Bagaimana ia dan teman masa kecilnya tumbuh bersama. Umur mereka yang seumuran serta kebersamaan mereka dimana-mana, membuat semua orang berspekulasi mereka anak kembar. Nyatanya tidak. Orang tua mereka saja berbeda.

Itu anggapan mereka. Awalnya.

Namun nyatanya anggapan mereka selalu salah.

Dimulai sejak sahabat masa kecil Hayden mengikuti jalur akselerasi saat SMP. Awalnya Hayden tak begitu iri, meskipun kadang sempat terbesit rasa itu. Namun perkataan banyak orang tentang betapa hebatnya temannya itu, dan betapa dirinya menjadi bayang-bayang temannya selalu berputar di kepalanya.

Membuat Hayden menjadi sedikit lebih agresif. Berusaha semaksimal mungkin. Tak apa jika ia tak masuk jalur akselerasi, asal ia mampu menyapu bersih piagam-piagam lomba olimpiade.

Yang mana mestinya lomba itu lebih dioptimalkan untuk anak akselerasi. Terutama sahabat masa kecilnya itu.

Sahabatnya itu berakhir dicerca banyak orang. Katanya percuma saja jadi anak akselerasi jika tak berguna untuk menang olimpiade. Mestinya Hayden saja yang masuk jalur itu.

Sejak itu persaingan keduanya sangat ketat. Mereka kadang berkumpul bersama seperti dulu namun dengan suasana yang agak mencekam. Saling mengandalkan peribahasa 'keep your friends close, but your enemy closer.' dan memang itulah mereka. Seperti anak perempuan.

Hayden mengerjapkan matanya pelan. Ia tak bisa tenang setelah menerima telepon tadi. Padahal sudah berjam-jam rentang waktunya. Namun tetap saja, rasanya ada yang mengganjal.

"Ini gak beres." Hayden menggeleng-geleng sambil berusaha memikirkan sesuatu. Seseorang tak boleh diseret sebagai korban dalam lingkup pertemanan rumit mereka.

Tidak boleh, apalagi orang itu sangat berpengaruh dalam banyak hal.

••••

Vota & commenta, ya gengs 😘😘



Cool Boy & Weird GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang