Selepas ashar barulah aku dan Mas Gibran beranjak menuju Bandung dengan mobil yang dikendarai Mas Gibran. Sepanjang perjalanan tak ada satu pun diantara kami yang ingin memulai pembicaraan, suasana hening melingkupi ruang mobil ini.
"Mas." dengan berani akhirnya kupecahkan suasana diam ini.
"Hmm," dehem Mas Gibran namun pandangannya masih fokus kearah depan. Aku mulai ragu, namun lagi kuberanikan diri.
"Boleh Nai minta satu permintaan?" tanyaku. Lagi-lagi ia hanya berdehem menanggapi. Kuhembuskan nafasku, sabar Nai.
"Di acara nanti, bisa tidak kita bersikap seperti pasangan suami istri pada umumnya, ya mungkin Mas tidak berkata datar contohnya," ucapku dengan satu tarikan nafas, aku benar benar gugup.
"Maksudnya?" ia mengalihkan pandangannya padaku, tepat saat itu lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. Mata elangnya langsung bertatapan dengan mataku dalam jarak yang cukup dekat. Ku tundukkan kepalaku menghindari tatapannya, dapat kurasakan pipiku memanas hanya karena tatapan Mas Gibran.
"Maksud Nai... " aduh bagaimana ini? Aku benar-benar gugup dibuatnya, bakan kata-kata yang sudah kususun dari tadi hilang begitu saja dari ingatanku.
"Aku tau apa yang harus aku lakukan, kamu tenang saja." huft.. Akhirnya aku dapat bernafas lega, setidaknya keluargaku tidak akan berfikir yang bukan-bukan terhadap pernikahanku.
🎬
"Nai, ya ampun makin cantik saja keponakan Bunda ini." Bunda yang melihat kedatanganku langsung berlari dan memeluk tubuhku erat.
"Assalamualaikum Bunda," salamku. Bund tampak malu dan terkekeh pelan.
"Maaf Nai, Wa'alaikumussalam, Gibran." Mas Gibran memberikan senyuman dan menyalami punggung tangan Bunda.
"Ayo masuk, Umi dan Abi udah ada didalam." Bunda mengajak kami masuk, aku ingin beranjak ketika jemari Mas Gibran menyelinap di antara jari-jari tanganku. Aku membeku, tubuhku serasa diberi sengatan listrik. Genggaman tangan Mas Gibran yang besar terasa begitu pas di jemariku. Rasa hangatnya terus menjalar sampai kehatiku.
"Seperti suami istri selayaknya, kan?" bisik Mas Gibran didekat telingaku, aku terkesiap dan menatap genggaman tangan kami. Bluhsss, pipiku pasti memerah saat ini. Sepanjang perjalanan menuju dalam aku hanya dapat menundukkan kepalaku menyimpan rona merah yang ada dipipiku. Untuk pertama kalinya seorang laki-laki selain Abi yang menggenggam tanganku.
"Assalamualaikum Abi, Umi." tanpa melepaskan genggaman tangan kami, Mas Gibran menyalami kedua tangan Abi dan Umi. Umi memberikan senyum menggodanya melihat tangan kami yang bersatu. Ah, Umi membuatku makin malu saja.
"Wa'alaikumussalam Gibran, gimana kabar nya?" tanya Umi berbasa-basi.
"Alhamdulillah Baik Umi, Umi dan Abi bagaimana?"
"Alhamdulillah baik." setelah itu Abi, Umi dan Mas Gibran sudah terhanyut dengan obrolan mereka. Aku hanya dapat terdiam disini, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang mereka ceritakan.
Pembicaraan mereka terhenti ketika Bunda memanggil kami untuk makan malam. Lagi Mas Gibran menggenggam tanganku menuju meja makan. Beberapa sepupuku yang sudah duduk dimeja makan tampak menatapku dengan tatapan menggoda.
🎬
Selepas makan malam, keluarga kembali berkumpul diruang keluarga. Mulai dari Om Anhar kakak Umi, Umi, dan Bunda, sepupu ku yang berjumlah lima orang lengkap dengan suami/istrinya, dan tujuh orang keponakanku. Semuanya berkumpul di ruang keluarga yang dibuat khusus untuk menampung seluruh keluarga besar.
Ada yang berselonjor dilantai, ada yang duduk disofa, dan ada yang tidur tiduran di karpet dengan anak-anak. Aku dan Mas Gibran memilih untuk duduk diatas sofa. Tangan Mas Gibran kali ini melingkar dibahuku, aku hanya dapat menyembunyikan rona wajah dipipiku.
"Nai, kapan Bunda dapat denger kamu mau kasih Bunda sama Umi cucu?" Blush, pipiku mungkin sudah benar-benar merah saat ini. Kenapa Bunda menanyakan hal itu, aku belum siap untuk mendapat pertanyaan itu.
Usia pernikahanku hampir memasuki empat bulan, bagi pengantin sewajarnya mungkin pertanyaan itu tak lagi mereka takuti. Tapi bagiku? Aku benar-benar tak menginginkan pertanyaan itu.
"Doakan saja secepatnya ya Bunda." mulutku kali ini benar-benar menganga mendengar jawaban Mas Gibran. Apa maksud dari ucapan Mas Gibran?
"Jangan nunda-nunda lah Nai, umurmu itu udah 28 tahun loh, gak malu sama umur, Zahra saja anaknya udah besar, lah kamu perut aja belum besar-besar," sindir Umi yang begitu mengena kehatiku. Mulutku membisu.
"Gak kok Umi, belum dikasih rezeki aja sama Allah, mungkin ini waktu untuk kami berduaan dulu, ya gak sayang?" aku hanya dapat mengangkat bibirku, aku tak tau harus mengatakan apa.
"Gimana ngomongnya ya? Umi takut kamu..." ucapan Umi terhenti ketika Abi menyenggol perlahan tangan Umi. Aku tau maksud pertanyaan Umi.
Mas Gibran hanya tersenyum menanggapi. Tangannya yang tadi merangkul bahuku perlahan mulai terurai, aku yakin ia juga mengerti maksud pertanyaan Umi.
🎬
Aku hanya diam sepanjang perjalan pulang, dipikiranku hanya perlakuan Mas Gibran tadi yang terus terngiang. Berusaha aku memberi tahu hatiku kalau semua itu hanya sandiwara, alasan. Bukankah tadi aku yang meminta Mas Gibran untuk berlakon seperti pasangan suami istri yang sesungguhnya. Dan seperti ini lah pasangan suami istri yang sesungguhnya. Tapi kenapa sekarang aku malah kebawa perasaan seperti ini.
Nai, sadar. Jangan sampai perasaan ini malah menghempaskanmu suatu saat nanti. Ingat, Mas Gibran hanya mencintai Hanum, dan tak akan pernah mencintaimu. Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah.
Kupejamkan mataku dan berusaha mengusir segala kejadian yang terus berputar di otakku. Bukannya menghilang, bayangan itu semakin berputar-putar diotakku, seperti kepingan film yang diputar berulang-ulang.
Kenapa Mas Gibran terlihat begitu santai, seperti tak terjadi apa-apa. Apa hal yang terjadi tadi hanya seperti angin lalu baginya. Sedangkan bagiku seperti badai yang mengguncangkan hatiku.
Keheningan tetap tercipta hingga mobil yang dikendarai Mas Gibran kembali terparkir dihalaman rumah.
"Mas mau menginap?" tanyaku berbasa basi. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, pasti Mas Gibran capek dan ingin segera istirahat jadi kupikir ia akan menginap.
"Tidak usah, aku pulang saja. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Benar dugaanmu Nai, sudah dari tadi ku katakan, jangan kebawa perasaan. Lihat baru beberapa jam saja ia mampu membuatmu terhempas, lalu bagaimana nanti jika perasaanmu benar-benar kembali seutuhnya seperti dulu. Apa yang akan kau lakukan?
Mobil Mas Gibran perlahan-lahan mulai menjauh, tapi aku masih berdiri disini meyakinkan bahwa hatiku tidak ikut dengan orang yang mengendarai mobil itu. Entah berapa lama aku berdiri disini, ketika tersadar baru aku beranjak masuk. Keadaan rumah sudah hening, tentu saja Mak Jah sudah tertidur lelap. Untung aku membawa kunci serap jadi aku tidak perlu membangunkan wanita paruh baya itu.
Setelah bersih-bersih, kurebahkan tubuhku ke tempat tidur. Berusaha memejamkan mata dan melupakan segala hal yang terjadi hari ini. Semoga setelah terbangun esok pagi, hatiku kembali membaik seperti semula. Tak berapa lama setelah membaca doa, akhirnya aku dapat terlelap dan tenggelam dalam mimpi Indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Teen FictionRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...