🍁4.

3.9K 256 9
                                    

Suasana siang kali ini tidak begitu panas, anginnya juga berhembus tenang. Beberapa orang berlalu lalang, juga beberapa siswa siswi yang tampaknya baru pulang sekolah.
Aroma kopi yang khas menemaniku siang ini, ditemani sepotong cheesecake dan sebuah novel spiritual yang kubeli beberapa hari lalu.

"Naima, aduh ketemu lagi sama calon makmumku ini." suara itu mengalihkan perhatianku dari novel yang sedari tadi kubaca. Ternyata Robby tengah berdiri dengan senyum mengembang dibibirnya.

"Hai Rob," sapaku. Robby mengambil tempat duduk disampingku dan memanggil waiters dan memesan makanan.

"Aduh Nai, ngapain disini sendirian? Nanti diculik loh," canda Robby.

"Aduh Rob, siapa yang akan menculikku," jawabku menirukan nada bicara Robby. Aku dan Robby tertawa menyadari kekonyolan kami.

Semasa kuliah dulu memang banyak yang bilang kalau Robby suka padaku, tapi lelaki itu tidak pernah memberi tahuku secara langsung. Bahkan ia tak pernah menyinggung masalah perasaan, hanya ia memang sering bercanda dengan perkataannya.

"Kamu seriusan sahabatnya Gibran sama Hanum?" entah kenapa aku mendengar nada serius di omongan Robby. Jarang sekali aku mendengar Robby segitu seriusnya.

"Dulu kita sahabat, sekarang ya gak sedekat dulu, emang kenapa?" tanyaku heran.

"Gak, gak papa. Cuma heran aja, aku gak pernah lihat kamu sebelumnya, bahkan ketika pernikahan Hanum dan Gibran dulu aku tidak melihatmu."

Aku akan hancur jika berada disana Rob, bahkan aku tidak diundang di pesta pernikahan mereka. Ingin aku memberi tahu Robby, namun hanya senyuman yang aku berikan sebagai jawabannya.

"Ada masalah?" tanya Robby. Kugelengkan kepalaku dan mulai beralih fokus dengan kopi yang sudah mulai dingin.

"Nai, kita kenal bukan sehari dua hari, aku tau kalau kamu hanya menjawab dengan senyuman berarti ada masalah besar yang kamu sembunyikan." ah aku melupakan itu, bahwa aku tidak pernah bisa berbohong pada Robby. Tapi aku juga gak sanggup membongkar rahasia ini, bisa saja Mas Gibran mengamuk jika aku membongkar rahasia ini.

"Kamu menyukai Gibran?" tanya Robby yang membuat pergerakanku yang ingin menyuap sesendok kue terhenti.

"Dulu," jawabku. Biarlah Gibran mengetahui hal itu, memang benar bukan kalau dulu aku mencintainya, mungkin masih sampai sekarang.

"Bagaimana sekarang, tidak bukan?" kali ini aku hanya mampu menggelengkan kepalaku, dan Robby menghembuskan nafas panjang mendengarnya.

🎬

Aku terbangun ketika jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku baru tertidur sekitar jam setengah tujuh pagi, setelah sampai rumah jam enam tadi pagi.

Kulangkahkan kakiku menuju lantai bawah, tampaknya Mak Jah tengah berada ditaman belakang sedang berkebun. Kuhampiri Mak Jah yang sedang bersenandung ria sambil menyirami tanaman bunga yang terdapat di taman belakang.

"Aduh, duh. Mak Jah, bahagia banget sih," ucapku dan mengambil tempat duduk di pondok.

"Eh ada Nai, baru bangun?" tanya Mak Jah, ia meletakkan selang yang tadi ia gunakan dan ikut duduk disampingku.

"Ia Mak, nampaknya Mak lagi bahagia, kenapa?"

"Nai bisa saja, Mak cuma bersenandung doang kok," jawab Mak Jah. "Eh, Nai sudah makan belum? Mau makan?"

"Boleh deh Mak, lagi lapar juga," jawabku. Mak Jah pamit untuk kedapur, sedangkan aku memilih untuk memberi makan ikan yang ada dikolam samping pondok.

Tak berapa lama, Mak Jah datang memberi tahukan kalau makanan sudah siap. Semangkuk nasi dengan asap mengepul, ikan goreng dan sambal terasi serta semangkuk sayur asem sudah terhidang dimeja makan. Duh, cacing-cacing diperutku langsung demo minta untuk diisi.

Sungguh nikmat masakan Mak Jah, rasanya hampir mirip dengan masakan Umi. Duh, aku jadi rindu dengan Umi. Mumpung hari ini aku libur jadi kuputuskan untuk datang kerumah umi.

Sekitar pukul satu siang, kembali ku kemudikan si putih untuk menuju rumah Umi. Tak lupa sebelumnya aku meminta izin Mas Gibran untuk berkunjung kerumah Umi, dan ia hanya membalas dengan 'ok'.

Rasanya baru seminggu aku meninggalkan rumah ini, tapi aku begitu merindukan rumah yang sudah kutempati sekitar 28 tahun itu.  Umi datang menyambutku dengan senyuman lebar dibibirnya. Tampaknya Umi begitu merindukanku.

"Loh Nai, datang sendiri? Suamimu mana?" tanya Umi seraya menatap hilir mudik mencari keberadaan Mas Gibran.

"Mas Gibran lagi kerja Umi, jadi Nai datang sendiri," balasku. Umi mengangguk dan menarikku memasuki rumah. Aroma sedap menyambut kedatanganku, kulihat beberapa masakan sudah terhidang dimeja makan, uhh perutku mulai keroncongan lagi padahal baru beberapa jam lalu aku makan.

"Tadi Umi cuma iseng buat makanan kesukaanmu, eh ternyata kamu beneran datang," ucap Umi dengan senyum sumringahnya, ternyata naluri seorang Ibu.

Kusantap makanan kesukaanku dengan lahap, Umi nampak begitu bahagia dengan kedatangan ku. Terbukti dari senyumnya yang tak pernah luntur sejak kedatanganku tadi.

"Nai, Umi boleh tanya sesuatu?" tanya Umi ketika baru saja aku menyelesaikan makananku. Kuanggukkan kepalaku sebagai jawabannya.

"Suamimu memperlakukan kamu sewajarnya, kan nak?" pertanyaan Umi benar-benar membuatku mati kutu. Apa yang harus kujawab, tidak mungkin aku memberi tahu yang sebenarnya, Umi bakalan sedih jika tahu yang sebenarnya.

"Iya Umi," jawabku akhirnya memilih untuk berbohong. Umi tampak lega mendengarnya. Umi maafkan Nai ya, udah bohongin Umi.

🎬

Suasana makan malam disebuah rumah bergaya minimalis itu tampak sunyi, ketiga orang itu tampak kusyuk dengan makanannya. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar dari ruang makan itu.

"Mas, aku lihat semenjak menikah dengan Nai, baru satu malam Mas menginap dirumah kalian, Mas gak kesana malam ini?" tanya seorang wanita yang tampak sibuk menyuapi anaknya.

Lelaki yang dipanggil Mas itu menoleh dengan pandangan tidak suka, ia menaruh dengan keras sendok dan garpu yang ia pegang sehingga menyebabkan suara dentingan yang keras.

"Stop Hanum, udah cukup kamu minta Mas menikahi Naima, jangan minta yang lain lagi," bentaknya dengan suara tinggi. Bukan hanya Hanum, Rara pun ikut tersentak mendengar suara Gibran yang begitu tinggi. Bahkan anak itu mulai menangis ketakutan melihat wajah ayahnya.

"Mas," Hanum hanya mampu bersuara lirih, diangkatnya Rara kegendongannya dan berusaha menenangkan anak itu.

"Hanum, Mas hanya mencintai kamu, please jangan buat Mas merasa bersalah telah menduakan mu," ucap Gibran lirih, ia bangkit dan mendekati Hanum yang tengah berusaha menenangkan Rara.

"Tapi Nai juga istri Mas kan, Mas harus memperlakukannya seperti Mas memperlakukan Hanum," balas Hanum. Ia menidurkan Rara yang sudah terlelap di sebuah sofa tak jauh dari ruang makan.

"Tapi Mas tidak mencintainya Han, Mas menikahinya karna permintaanmu." Gibran menyentuh kedua bahu Hanum dan memutar tubuh wanitanya agar menatap matanya.

"Hanum, please jangan paksa Mas lagi, Mas sudah tersiksa dengan permintaanmu untuk menikahi Naima, jangan buat Mas merasa lebih dari ini."

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang