Lagi-lagi aku terbangun pukul tiga dini hari, bedanya kali ini aku kembali terbangun dikamar yang sudah hampir dua minggu ini tidak kutempati. Semalam aku memang memutuskan untuk menginap di rumah Umi, lagian Mas Gibran juga tidak ada dirumah.
Kuusap wajahku dan berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kukerjakan shalat tahajjud dan seperti biasa akan kututup dengan sholat witir tiga rakaat. Setelahnya kusambung dengan bacaan al-qur'an dan istigfar sebanyak seratus kali. Saat kumandang azan terdengar barulah aku beranjak melaksanakan sholat shubuh.
Pagi ini aku membantu Umi untuk membuat sarapan. Ketika aku baru menginjakkan kaki di tangga terakhir, aku bertemu Abi yang baru saja kembali dari masjid. Kusalami tangan Abi sebelum berlalu kedapur untuk membantu Umi.
Sarapan kali ini terasa berbeda, biasanya aku hanya ditemani Mak Jah. Namun kali ini aku kembali sarapan bersama kedua malaikatku. Hanya ada nasi goreng sarapan kami kali ini, tapi begitu nikmat karna kehadiran kedua orang tuaku.
"Nai, kamu menginap disini suami mu tahu, kan?" tanya Abi di sela sarapan kami. Kemaren aku memang sempat meminta izin untuk kerumah Umi, tapi aku tidak memberi tahukan kalau aku menginap disini.
"Nai izin kok Bi, lagian Mas Gibran lagi dirumah Hanum." dan selalu disana. Sambungku dalam hati.
"Syukurlah, ingatlah surgamu ada dibawah telapak kakinya, tanpa izinnya kau tidak akan diridhai," pesan Abi yang kutanggapi dengan senyuman. Biarlah masalah ini kupendam sendiri, aku tak ingin kedua orang tuaku khawatir dengan keadaan rumah tangga ku yang hancur ini.
"Abi, Umi, Nai pamit kerja dulu ya," pamitku seraya menciumi tangan kedua orang tuaku. Pagi ini aku ada jadwal operasi, jadi dengan sedikit tergesa kukendarai motor vespa metikku membelah jalanan kota Jakarta yang begitu padat.
🎬
Operasi yang berjalan hampir tiga jam itu akhirnya selesai, ku regangkan sedikit ototku yang terasa kaku setelah bekerja tanpa henti sejak tiga jam lalu. Operasi selesai tepat ketika jam menunjukkan istirahat makan siang.
Kulangkahkan kakiku menuju ruangan Zahra karna kita memang sudah janji untuk makan bersama. Namun belum sampai kakiku melangkah menuju ruangan Zahra, seorang anak kecil yang memeluk kakiku menghentikan langkahku.
"Bunda," teriaknya dan memeluk erat kakiku. Rupanya dia Rara, anak Hanum dan Mas Gibran.
"Loh Rara, sama siapa kesini?" tanyaku. Anak itu menunjuk kearah koridor tempatku datang tadi. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada Hanum dan Mas Gibran yang juga tengah menatapku.
Mengapa mereka ada dirumah sakit? Ah, mungkin Hanum tengah hamil, wajar toh mereka itu kan suami istri. Dapat kurasakan sedikit sentakan yang kurasakan dihatiku, bagaimana aku bisa merasakan perasaan ini.
"Assalamualaikum, ngapain kalian disini, ada yang sakit?" tanyaku gugup. Hanum tampak tersenyum dan berjalan kearahku, berbeda dengan Mas Gibran yang memilih diam dengan wajah datarnya.
"Walaikumussalam, tidak ada kok Nai," jawab Hanum. "Eh kita makan siang bareng yuk!" ajaknya.
"Ehmm..."
"Nai, kamu dicariin dari tadi, eh malah nyangkut disini. Katanya mau bareng, yuk!" potong Zahra tanpa tau kehadiran tiga orang disekelilingku. "Eh ada sahabat Nai toh."
"Hmm, Han aku sudah ada janji dengan Zahra, maaf ya," kulihat ia tersenyum memaklumi. Setelah pamit kulangkahkan kakiku dengan Zahra meninggalkan tiga orang yang menatap kepergianku.
🎬
Baru saja aku menutup shalat ku dengan salam, dering telfon mengalihkan pandanganku. Nama Mas Gibran terpampang di layar persegi panjang itu. Tanpa menunggu lebih lama, kuangkat telfon itu dan mendekatkan ponsel itu ke telinga.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, Nai, Rara jatuh kakinya keseleo, bisa kamu obatin?" bukan suara bariton yang menjawab, melainkan suara Hanum yang kudengar.
"Oh, oke. Kirimkan alamatnya ya." setelah menutup telfon. Tanpa menunggu lagi, kukendarakan motor ku membelah kota Jakarta yang mulai diguyur gerimis-gerimis kecil.
Aku sampai di rumah Hanum dengan keadaan setengah basah. Kulihat Hanum sudah menunggu didepan rumah dengan wajah paniknya.
"Nai, akhirnya kamu sampai juga, dari tadi Rara nangis terus," panik Hanum ketika kakiku menginjak rumahnya. Benar saja, aku dapar mendengar suara tangis Rara dari dalam rumah.
Hanum menarikku untuk menemui Rara yang ada diruang keluarga, kulihat Rara tengah berada dipelukan Mas Gibran.
"Bunda!" teriak Rara ketika melihatku berdiri diambang pintu pemisah ruang tamu dan ruang keluarga. "Kaki Rara sakit Bunda," adunya dengan air mata yang terus mengalir dimata bulatnya.
Benar saja, kulihat kakinya membengkak dan sedikit membiru. Pantas saja anak ini menangis seperti itu, rupanya kakinya memang sedikit parah.
"Dah, Bunda udah obatin kakinya Rara, nanti pasti sembuh. Rara jangan nangis lagi ya," ucapku selesai mengobati kaki gadis kecil itu. Kulihat perlahan-lahan Rara menghentikan tangisnya.
"Patah?" tanya suara bariton yang sudah lama tidak kudengar itu. Bahkan ia hanya mengatakan sepetah kata saja.
"Tidak kok Mas, di urut sedikit mungkin akan sembuh," jawabku. Kulihat Mas Gibran dan Hanum mengangguk, kemudian mengajak Rara bercanda.
"Ya ampun udah jam segini, kamu pasti belum makan, kan? Kamu makan disini dulu ya Nai!" ajak Hanum. Kulirik sedikit kearah mas Gibran, tampaknya ia tidak memperdulikannya. Jadi kuputuskan untuk ikut makan malam bersama mereka.
Tertanya jalan yang kupilih kali ini salah, seharusnya tadi aku tidak menerima ajakan Hanum dan langsung pulang saja. Selama makan malam ini, yang kulihat hanya kemesraan dan kehangatan sebuah keluarga.
Bahkan aku sempat berfikir apa aku bisa memiliki keluarga yang hangat seperti itu sedangkan suamiku saja tak pernah menganggapku. Astaghfirullah, apa yang aku fikirkan.
Lagi-lagi aku mendengar tawa dari keluarga kecil itu, mereka terlihat begitu bahagia. Aku hanya dapat menundukkan kepala, tak ingin melihatnya. Hatiku sakit, mataku mulai memanas namun sekuat tenaga kutahan untuk tidak menangis disini."Bunda!" suara Rara menarik perhatianku, kuangkat kepalaku dan kudapati ketiga orang yang ada di meja makan menatapku.
"Ya Rara," ucapku berusaha menahan getar di suaraku.
"Mama tadi nanya Bunda, Bunda mau nginep gak?" tanya Rara. Tidak! Tidak lagi! Aku tidak ingin lagi melihat kemesraan ini, sudah cukup mereka menghancurkan hatiku saat ini. Tidak untuk sepanjang malam ini.
"Maaf, tapi Nai shift pagi besok," jawabku tak sepenuhnya berbohong, memang benar besok aku shift pagi.
"Yah, padahal Rara pengen bobok sama Bunda," jawab gadis kecil itu sedih.
"Maaf ya sayang, kalau Rara pengen ketemu Bunda, Rara mampir aja kerumah Bunda," jawabku. Rara tampaknya begitu bersemangat, bahkan ia berteriak bahagia mendengar ajakan ku untuk berkunjung ke rumahku.
"Kenapa gak kamu aja yang main kesini?" tanya Hanum. Kulihat Mas Gibran kurang suka dengan ajakan Hanum.
"Insyaallah kalau aku ada waktu."
🎬
Setelah berpamitan, kukendarakan motorku untuk kembali kerumah. Namun sayang, dipertengahan jalan. Gerimis yang dari tadi turun berubah menjadi hujan deras.
Dengan suasana hujan begini, hatiku ikut bersedih. Kejadian di rumah Mas Gibran tadi kembali berputar dikepalu. Memberi goresan yang menoreh hatiku, air mataku perlahan turun seiring air hujan yang ikut turun mengguyur tubuhku.
"Ya ampun, Nai," teriak Mak Jah ketika membukakan pintu untukku. Tubuhku basah kuyup, wajahku pucat. Dan dapat kurasakan kepalaku yang berdenyut dan berputar. Namun belum sempat aku melangkah menuju dalam rumah, tiba-tiba duniaku menjadi gelap dan aku tak ingat apa-apa. Hanya satu yang kudengar, teriakan Mak Jah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Novela JuvenilRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...