🍁8.

3.4K 224 3
                                    

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Ibu, air mataku tak kunjung mau berhenti. Hatiku serasa dihentakkan dan dihimpit batu besar, rasanya ngilu. Bahkan Mak Jah yang menyambut kedatanganku sampai kaget melihatku yang bersimbah air mata.

"Astaghfirullah Nai, ada apa?" aku hanya dapat diam sambil terus berjalan menuju kamarku. Aku tau Mak Jah mengikutiku dari belakang, tapi aku benar-benar ingin berdiam diri saat ini.

Kuhempaskan tubuhku dan menutup wajahku dengan bantal agar tak ada yang mendengar isak tangisku. Aku benar-benar hancur, lebih hancur dari ketika Mas Gibran menolakku dulu.

Sejak pulang tadi, sudah berpuluh-puluh kali ponselku berbunyi. Aku tau itu pasti dari Mbak Fatimah, tapi lagi, aku hanya ingin sendiri.

Aku menangis sampai tertidur, mungkin esok mataku akan bengkak, namun aku perlu menangis untuk malam ini.

🎬

Kembali aku terbangun dalam keadaan kepala berat dan terasa pusing. Tanganku terulur meraba keningku, sesuatu yang dingin tertempel disana. Sedangkan disampingku duduk Mak Jah yang sedang tertidur, sepertinya wanita itu menjagaku semalaman.

"Mak?" panggilku. Dapat kulihat Beliau menggeliat, tak berapa lama matanya perlahan terbuka.

"Astagfirullah, maaf Nai, Mak ketiduran, Nai tidak apa apa?" tanya Mak Jah panik, tangannya terulur memeriksa suhu tubuhku.

"Nai gak papa kok Mak, Mak tidur aja lagi, Nai cuma kasihan liat Mak tidur sambil duduk gitu," ucapku. Mak Jah yang memang mengantuk mohon izin untuk kembali kekamarnya.

Kulirik jam yang menggantung didinding, jam menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan susah payah dan menahan rasa sakit sekaligus pusing, kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Aku terpaksa sholat sambil tiduran, karna rasa pusing yang kurasakan ketika dibawa berdiri. Seperti biasa sholat malam ini akan aku tutup dengan witir tiga rakaat. Dan setelahnya mulailah aku berkeluh kesah pada Rabb-ku.

"Ya Allah, kenapa begitu berat cobaan untuk hamba, apakah hamba akan sanggup menjalaninya? Hamba tau dibalik cobaan akan ada kebahagiaan, tapi lagi, apa sanggup hamba? Ya Rabb, tolong bimbing hamba dalam menghadapi cobaan ini, agar hamba selalu berada di jalanmu, amiinnn."

🎬

Mak Jah memasuki kamar Naima dengan nampan yang berisi makan siang untuk Nai. Wanita tua itu panik ketika mendapati Nai dengan tubuh panas, bahkan lebih panas dari kemaren.

Dengan rasa panik, diambilnya ponsel Nai dan berusaha menelfon Gibran. Namun sudah berapa kali ia mencoba, Gibran belum juga mengangkat panggilannya.

Hingga telfon kelima kalinya, akhirnya telfon itu diangkat juga. Namun lagi, bukan Gibran yang mengangkatnya. Melainkan seorang wanita yang mengaku sebagai sekretaris Gibran.

"Maaf, Pak Gibrannya lagi ada meeting, ada perlu apa ya? Nanti saya sampaikan."

"Itu Mbak Nai sakit lagi, tolong kasih tau Pak Gibran cepet datang ya," pesan Mak Jah akhirnya.

"Baiklah, sebentar lagi rapatnya juga selesai, nanti saya sampaikan."

Ia panik, ia tak tau berbuat apa lagi. Diambilnya alat kompres dan menempelkannya didahi Nai, berharap panas gadis itu segera turun.

Lima jam, sudah lima jam sejak Mak Jah menelfon Gibran. Namun pria itu tak kunjung datang, sedangkan panas Nai tak kunjung turun. Lagi Mak Jah menelfon Gibran, tapi kali ini ponsel pria itu tidak aktif.

Dengan perasaan khawatir, ditelusurinya satu persatu kontak yang ada di ponsel Nai. Matanya berbinar tak kala menemukan kontak dengan nama 'Umi' tertera dilayar persegi panjang itu.

Deru mesin yang berhenti didepan rumah membuat Mak Jah menghembuskan nafas lega. Beliau yakin pasti itu Gibran. Beliau sudah begitu khawatir, sejak tadi panas Naima tidak turun-turun.

Namun Mak Jah harus menghembuskan nafas kecewa karna yang datang bukan Gibran melainkan kedua orang tua Naima. Walau kecewa beliau tetap bersyukur dengan kehadiran kedua orang tua Nai.

"Aduh, Ibu, Bapak, itu badan Nai panas lagi, tadi saya sudah telfon Pak Gibran namun kata sekretarisnya Bapak akan segera sampai, namun saya tunggu sejak pagi Pak Gibran belum datang juga, tadi sudah saya telfon ulang kekantor tapi kata sekretarisnya bapak sudah pulang, " jelas Mak Jah dengan nada panik. Mendengar itu Umi ikutan panik, beliau segera berlari menuju lantai atas untuk melihat keadaan putrinya.

"Astagfirullah Nai, badannya panas sekali Abi," adu Umi setelah mengecek suhu tubuh Nai. Abi ikutan panik, beliau memutuskan untuk membawa Nai kerumah sakit.

🎬

Aku terbangun disebuah ruangan yang tak asing bagiku, ruangan berbau khas obat-obatan tempatku bekerja. Bedanya disini aku bukan bekerja, melainkan terbaring lemah dikasur yang biasanya ditempati para pasienku.

Rasa pusing kembali menyerangku, kutegakkan tubuhku dan mencari posisi ternyaman dengan bersandarkan kepala ranjang.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatianku, kulihat kehadiran Abi dan Umi yang tampak marah sehingga tak menyadari kalau aku sudah terbangun.

"Udah Umi coba Bi, tapi ponselnya mati, jadi Umi telfon saja Hanum." dapat kudengar gerutuan Umi. Aku dapat menangkap maksud dari perkataan Umi, aku yakin beliau tengah membicarakan Mas Gibran.

"Umi?" panggiku. Mendengar suaraku Umi segera berjalan mendekat kearahku. Beliau membelai kepalaku yang tertutup khimar instan.

"Gimana Nak? Sudah baikan?" tanya Abi yang berdiri disamping ranjangku. Kuanggukkan kepalaku sebagai jawabannya. Rasanya masih sulit untukku menggerakkan tubuhku, rasanya sakit dan aku hanya ingin tidur saat ini.

"Assalamualaikum," salam seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan. Aku tak terlalu terkejut ketika mendapati kedatangan Mas Gibran dan Hanum di kamar rawatku. Pasti Umi dan Abi yang memberi tahu mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab kami serentak, walau suaraku hampir tidak terdengar. Kulihat Abi berjalan menghampiri Mas Gibran dan berhenti tepat didepan suamiku itu.

"Abi tau Nai bukan istri pilihanmu, Nai hanya istri keduamu, Abi tak pernah berharap kamu memperlakukan Nai seperti kamu memperlakukan Hanum, tapi bagaimanapun anak Abi itu istrimu, tolong jaga dia, dia sakit kamu kemana?" hardik Abi. Aku tak menyangka Abi bisa semarah itu, beberapa urat tampak menonjol didahinya menandakan beliau marah.
Kulihat Hanum dan Mas Gibran tertunduk, aku ingin berbicara namun aku tak memeliki kekuatan untuk itu, tubuhku rasanya lemah sekali.

"Abi kecewa Gibran." setelah mengucapkan itu Abi berlalu dan menghilang dibalik pintu, tak berapa lama Umi pun ikut menyusul kepergian Abi.

Diam, keadaan cangung seketika memenuhi ruangan ini. Hanum dan Mas Gibran masih tertunduk, dengan segala kekuatan ku buka mulutku untuk bersuara.

"Maaf," lirihku. "Maaf karna sakit Nai kalian seperti ini, Maaf karna kehadiran Nai rumah tangga kalian seperti ini. Nai ingin istirahat, asalamualaikum," salamku dan kembali berbaring. Hatiku kembali tergores, aku tau ini juga kesalahanku. Aku penyebab ini semua terjadi. Setetes air mata yang jatuh dipipiku mengantarkanku pada kehancuranku.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang