Suasana duka masih menyelimuti sebuah rumah minimalis disebuah perumahan dipinggir kota. Bahkan bendera kuning masih berkibar dipagar rumah yang tak terlalu tinggi.
Kakiku melangkah dengan tergesa-gesa tanpa menghiraukan rintikan hujan yang mulai membasahi khimar kuning gading yang kukenakan. Seharusnya aku berada disini sejak kemarin, namun aku tak bisa. Status Dokter koas membuatku tak leluasa untuk bepergian.
"Tidak akan!" bentakan itu menghentikan langkahku, tubuhku sedikit tertutup bunga tinggi sehingga tak ada yang menyadari kedatanganku.
"Tidak akan pernah! Gibran tak akan pernah menikahi Naima, Gibran tidak mencintainya yang Gibran cintai hanya Hanum." seperti ada rantai besar yang melilit tubuhku, aku tak bisa bernafas dan tak bisa bergerak walau sesentipum. Kata itu seakan menghancurkan segala cinta yang tumbuh lama dihatiku.
Ya, aku mencintai laki-laki dengan suara bariton itu. Laki-laki yang merupakan sahabatku sejak aku masih duduk di SMA sampai aku menjadi dokter seperti ini. Jika kalian tanya bagaimana hancurnya hatiku, maka aku akan menjawab seperti kaca yang dijatuhkan batu dari ketinggian puluhan kilometer. Hancur berkeping.
Suara langkah kaki yang mendekat membuatku tergagap, belum sempat bersembunyi Gibran sudah terlebih dahulu melihat kehadiranku. Tunggu, bukankah disamping Gibran itu Hanum, sahabatku dan Gibran.
Hanum yang baru menyadari kedatanganku membelalakkan kedua matanya yang sembab, juga ada bekas air mata yang bertengger dipipi putih mulus milik Hanum.
"Nai.." belum selesai Hanum menyelesaikannya, Gibran sudah dulu menarik Hanum dan meninggalkanku sendirian disini dengan air mata yang mulai menetes dipipiku. Kakiku seakan lemas tanpa tenaga, setelah mendengar deru mesin mobil yang menjauh, tanpa kata tubuhku meluruh kelantai dengan isakan yang tak dapat kutahan.
"Naima?" kuangkat sedikit kepalaku dan kutemui Mbak Fatimah, Kakak Gibran tengah berdiri menatapku tak percaya. Kakinya melangkah mendekatiku dan membantuku untuk berdiri.
"Ya Tuhan Naima, Ib..." belum sempat Mbak Fatimah menjerit, kutahan tangannya agar tidak melanjutkan nya. Jangan sampai Tante Azizah mengetahui aku tahu akan hal ini, ia akan semakin merasa sakit jika tahu.
"Sejak kapan kamu disini?" tanya Mbak Fatimah dengan nada cemas, mungkin ia takut dan cemas.
"Tak apa, Nai tahu semua, Mbak jangan kasih tau Tante Azizah Nai disini ya," pintaku. Sejenak Mbak Fatimah ragu, tapi berusaha aku meyakinkannya bahwa sebaiknya Tante Azizah tidak mengetahui kedatanganku.
Setelah tangisku agak mereda, barulah aku pamit untuk pulang. Mbak Fatimah menatapku dengan pandangan meminta maaf dan kasihan dengan keadaanku. Sebenarnya Mbak Fatimah mengetahui perasaanku terhadap adiknya, ketika itu ia tidak sengaja mendengarku menggumam betapa aku mengagumi adiknya itu.
🎬
Enam tahun berlalu, hatiku perlahan-lahan mulai menerima keadaan ini. Jika Tuhan tak menjodohkan aku dengannya, berarti Tuhan telah menyiapkan seorang Imam yang pantas untukku, yang akan membimbingku menuju Surga-Nya.
Setelah menyelesaikan Sholat Maghrib dan membersihkan diri, kuputuskan untuk beristirahat sejenak sebelum turun untuk ikut makan malam bersama Umi dan Abi. Jadwal operasi memang tidak sebanyak biasanya, namun tetap saja mampu meremuk redamkan tulang tulangku.
"Naima, sayang, turun nak!" itu suara bidadariku, Umiku. Kuregangkan sedikit ototku sebelum berlalu menuju lantai bawah. Namun langkahku melambat ketika kutemui keluarga Gibran tengah berbincang dengan Abi dan Umi. Dan disitu juga terdapat Gibran yang terlebih dahulu menyadari kedatangannya.
"Nai, kemarilah!" itu Abi, ia menggeser sedikit duduknya agar aku bisa duduk disebelahnya, diantara Abi dan Umi.
"Nai, kamu tau bukan kalau Kakek dan Ayah Gibran telah menjodohkan kalian berdua?" tanya Abi padaku, dengan ragu kuanggukan kepalaku. Kenapa hatiku deg-degan, bukankah masalah ini sudah menghilang enam tahun lalu, bagaimana bisa diungkap kembali.
"Abi dan Umi memutuskan untuk melaksanakannya sayang, kamu maukan menikah dengan Gibran?" tanya Abi dengan perlahan. Tunggu! Tadi Abi bilang apa? Menikah dengan Gibran, lalu bagaimana..
"Bagaimana dengan Han.."
"Dia menyetujuinya," potong Gibran cepat. Lalu jika Hanum menyetujui, berarti mereka masih sah sebagai suami istri, lalu mengapa Gibran disini dan mengkhitbahku? Ya aku memang tau bahwa Gibran dan Hanum telah melangsungkan pernikahannya beberapa bulang setelah kejadian itu.
"Nai dijadikan istri kedua?" tanyaku tak terima, aku tau rasaku pada Gibran tak sepenuhnya menghilang. Tapi untuk dijadikan istri kedua aku sepertinya belum siap. Selain menyakiti kaumku, apa pandangan orang terhadapku dan keluargaku nantinya.
"Umi tau ini berat Nai, tapi ini keinginan terakhir kakekmu," ucap Umi dengan nada lemah. Aku tau, bahkan aku berada disamping kakek ketika ia menyampaikan pesan terakhirnya sebelum ajal menjemputnya sekitar tiga tahun lalu.
"Nai, Umi minta maaf sayang, umi tak dapat berbuat apa-apa," ucap Umi dengan suara yang mulai bergetar.Tak ada lagi alasanku untuk menolak, bukankah seorang laki-laki berhak untuk memiliki istri lebih dari satu asal ia mampu adil dan istrinya menyetujui. Bukankah Gibran jenis lelaki yang mampu untuk adil, dan bukankah tadi ia sudah mengatakan kalau istrinya menyetujui jika ia akan dimadu.
"Umi, Abi, Nai hanya bisa melakukan perintah Abi dan Umi, Nai yakin Abi dan Umi pasti telah memilihkan masa depan yang baik untuk Nai." hanya itu yang bisa aku ucapkan, ya aku ini hanya seorang anak yang harus menuruti permintaan kedua orang tuanya.
Sebenarnya perjanjian ini adalah perjanjian antara Kakek dan Ayah Gibran yang merupakan murid kesayangan kakek sewaktu menjadi santri dipondok dulu, Ayah Gibran juga merupakan sahabat Abi ketika mondok dulu.
Umi mengajakku untuk makan malam, tapi aku berkata akan menyusul mereka. Jadi disinilah aku sekarang, terduduk disofa yang sebelumnya penuh diduduki oleh keluarganya dan Gibran. Sebuah gerakan disampingku menyadarkanku, Mbak Fatimah menatapku dengan pandangan kasihan.
"Tidak apa-apa Mbak, Nai baik baik saja," ucapku menenangkannya. Tanpa kata-kata, Mbak Fatimah meraihku kedalam pelukannya, tangannya mengusap-usap punggungku untuk menyemangatiku. Setelah menenangkan diri, akhirnya aku dan Mbak Fatimah menuju meja makan yang sudah diisi oleh Abi dan Umi, Tante Azizah, dan Gibran yang tampak sibuk dengan makanannya.
Setelah makan malam, keluarga Gibran pamit untuk pulang. Namun Gibran sama sekali tak berniat sekedar mengucapkan salam padaku. Ia hanya menatapku beberapa detik dan melajukan mobilnya meninggalkan perkarangan rumahku, serta kembali membuat hatiku tersentil walau tak sebanding dengan yang dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Novela JuvenilRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...