Jadwal ku hari benar-benar padat, setelah tadi pagi menjalani operasi yang berjalan kurang lebih dua jam dan dilanjutkan dengan pemeriksaan pasien rawat jalan. Akhirnya aku bisa beristrahat sejenak sebelum mem-follow up pasien-pasien ku.
Jam makan siang sudah masuk, rencana selesai sholat zhuhur nanti aku makan di tempat sekitar rumah sakit saja. Namun pesan yang masuk merubah segala rencanaku. Pesan itu dari Robby, lama rasanya tidak bertemu Robby terakhir kali saat aku dirawat beberapa minggu lalu.
Assalamualaikum Nai, sibuk gak? Bisa bertemu sebentar gak? Kalau bisa ketemu di restoran biasa ya!!!
Wa'alaikumussalam Rob, oke bentar lagi aku sampai ya...
Mau aku jemput?
Gak usah, makasih, aku bawa motor saja.
Setelah membalas pesan Robby, tak lupa kukirimkan pesan kepada Mas Gibran bahwa aku akan bertemu dengan Robby.
🎬
Hanya butuh waktu beberapa menit untukku sampai di kafe tempat aku dan Robby janjian. Itu senangnya menggunakan motor, aku tak perlu capek-capek nunggu macet yang parah.
Kulihat mobil Robby sudah terparkir di area parkir restoran. Ternyata laki-laki itu sudah sampai, jadi dengan cepat kulangkahkan kakiku masuk kedalam kafe.
Benar saja, Robby sudah duduk dengan secangkir kofi di kursi dekat jendela. Robby tidak menyadari kedatanganku karna duduknya yang membelakangiku.
"Assalamualaikum Rob," salamku. Robby memutar kepalanya dan senyumnya mengembang ketika mendapatiku di belakangnya.
"Wa'alaikumussalam, akhirnya datang juga kamu." apa Robby menungguku lama?
"Maaf," seruku.
"Bercanda Nai, aku baru saja sampai, bahkan kofiku belum sempat aku minum," candanya. Aku ikut terkekeh dan mengambil tempat duduk tepat dihadapannya.
"Aku sudah pesankan makanan kesukaanmu, mungkin sebentar lagi sampai," ucap Robby.
"Terima kasih, jadi ada apa ini? Mau kasih undangan?" tanyaku bercanda. Robby mengerucutkan bibirnya merajuk. Lucu sekali wajahnya.
"Itu dia masalahnya Nai." aku sedikit bingung. Ada apa?
"Mama minta aku segera mengkhitbah seseorang, nah masalahnya aku gak punya calon, kamu tau sendiri aku gak pacaran kan? Uh... Umur ku kenapa tambahnya cepet banget ya," keluh Robby. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa, tapi aku juga kasihan dengan raut wajah Robby.
Sebenarnya Robby lelaki yang tampan, hampir sama dengan Mas Gibran. Usahanya juga sudah sukses, mapan, imannya juga kuat banget. Akhir bulan ini umurnya genap 29 tahun, pantas saja Mamanya meminta ia segera mengkhitbah seseorang.
"Masa kamu gak punya calon? Aku yakin banyak yang suka padamu," ucapku. Aku ingat, ketika kuliah dulu banyak dari teman seangkatan sampai adik angkatan yang tergila-gila dengan Robby.
"Emang, tapi kan aku hanya mencintai satu orang." aku bertambah bingung, tadi katanya tidak punya calon, sekarang hanya mencintai satu orang. Siapa? Tampaknya Robby tau dengan kebingunganku.
"Aku mencintai seorang gadis, dia baik, cantik, masalahnya aku gak berani mengkhitbahnya, imannya terlalu kuat nai, aku takut aku tak bisa mendampinginya, mengimaminya," keluh Robby lagi.
"Aduh Rob, jangan berfikir seperti itu, gak baik. Kamu baik kok, dan aku lihat imanmu juga kuat, apa salahnya mencoba," saranku. Robby tampak berfikir, aku ingin tahu siapa wanita beruntung itu, yang mendapat Cinta dari lelaki seperti Robby.
Andai dulu hatiku bisa memilih, mungkin pilihan itu akan aku jatuhkan pada Robby. Namun sayang, hatiku malah jatuh pada pesona Mas Gibran yang ternyata malah menghancurkanku. Dan anehnya setelah aku berhasil melupakannya, ia malah kembali ke hidupku dan masuk lebih jauh lagi dengan status sebagai suamiku.
"Aku ragu Nai." suara Robby lagi terdengar setelah cukup lama teridiam.
"Hanya ada satu jawaban Rob," ucapku. Robby nampak menantikan kelanjutan dari ucapanku. "Istikharah".
Ya, hanya itu jawabannya. Meminta jawaban langsung dari Allah Swt. Tak ada jawaban yang lebih baik dari jawaban-Nya.
"Makasih Nai." kuanggukan kepalaku. Semoga Robby mendapatkan jawaban terbaik Ya Rabb, amiiiinnn.
"Ya udah, tuh dimakan, biar aku traktir." aku tertawa sebelum memakan makananku yang sudah datang beberapa menit lalu.
🎬
Setelah pulang dari rumah sakit Umi memintaku untuk mampir sejenak, katanya ia memasakkan makanan kesukaanku. Jadi ia memintaku untuk mampir mengambil masakan yang sudah ia buatkan khusus untukku.
Gerimis kecil menemaniku dalam perjalanan menuju rumah Umi. Walau tak begitu lebat, namun mampu membasahi khimarku yang tidak tertutup helm.
Jam menunjukkan pukul lima ketika motorku sampai di rumah Umi, rasanya begitu kangen dengan rumah yang 28 tahun aku tinggali.
Nampaknya Umi begitu antusias dengan kedatanganku, bahkan beliau sudah duduk diteras menunggu kedatanganku. Padahal baru semalam kita bertemu di Bandung, tapi beliau sudah kangen saja.
"Assalamualaikum Umi, duh kangen banget ya sama Nai?"
"Wa'alaikumussalam Nai, ia Umi kangen sekali dengan mu, padahal baru semalam kita ketemu. Yuk masuk!" aku dan Umi berjalan menuju dalam rumah. Rumah tampak sepi, nampaknya Abi belum pulang. Jika kalian bertanya apa pekerjaan Abiku, beliau adalah seorang polisis, mungkin beberapa tahun lagi beliau akan pensiun dari pekerjaannya.
"Gak tau kenapa Umi pengen banget buat lotek kesukaanmu, jadi Umi bikin. Kamu gak makan disini aja?" tanya Umi.
"Gak usah Umi, kasihan Mak Jah sendirian di rumah. Kalau Nai libur nanti Nai nginap ya," balasku.
"Bawa Gibran sekali ya!" aku terdiam, hanya menganggukkan kepala.
"Nai, Umi rasa kamu perlu beli mobil deh, susah kalau bawa motor, kamu jadi kehujanan gini, nanti sakit lagi gimana?"
"Tapi Umi, Nai sayang motor Nai, itu kan Nai beli dari tabungan Nai sendiri," balasku.
"Ya kan bisa kamu gunakan sekali-kali," balas Umi lagi. Umi memang benar, aku harus membeli mobil, karna akan susah bagiku untuk pergi kerja jika sedang musim hujan. Biasanya aku akan menggunakan taksi jika hujan.
"Nanti Nai pikirkan ya, oh ya Umi, Nai pulang dulu ya, takutnya keburu Maghrib lagi."
Setelah menyalami tangan Umi kukendarai motorku membelah jalanan yang mulai macet. Untung saja motorku bisa menyelip diantara mobil-mobil. Gerimis sudah mulai berhenti.
Tak butuh waktu lama aku sudah sampai dirumah. Setelah bersih-bersih dan sholat maghrib aku turun untuk makan malam. Disana sudah ada Mak Jah yang tengah menyiapkan lotek yang kubawa dari rumah Umi.
"Aduh Nai, wanginya saja udah buat Mak ileran." Mak Jah ini ada-ada saja.
"Ya sudah, ayo kita makan!"
🎬
"Nai besok libur tidak?" tanya Mak Jah yang menghampiriku di ruang keluarga.
"Besok Nai shift pagi Mak, kenapa?"
"Malam Nai udah ada dirumah gak? Besok malam ada pengajian di mesjid pesantren disana, yang isi Ustadz Farid yang pernah Mak ceritain waktu itu, maunya Mak ajak Nai sekalian kalau Nai gak sibuk." sudah lama rasanya aku tidak ikut pengajian.
"Jam berapa Mak?" tanyaku.
"Habis Isya."
"Oke, nanti sekalian kita jama'ah disana ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Teen FictionRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...