Ini lah serunya tinggal ditempat yang jauh dari perkotaan. Udara yang bersih dan sejuk serta ketenangan. Bahkan kita bisa dengan jelas mendengar suara layangan yang saling bersahutan diatas sana ketika senja menjelang.
Semburat jingga mulai menampakkan keindahannya di ufuk barat. Suara layangan masih sahut bersahutan menemani perjalanan pulang para burung yang hendak kesarangnya.
Suara alunan al-qur'an sayup-sayup mulai terdengar dari pengeras mesjid tak jauh dari rumah Mak Jah yang menandakan sebentar lagi akan masuk waktu sholat maghrib.
Beberapa rombongan pemuda sudah mulai berjalan menuju mesjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Tak hanya pemuda beberapa ibu-ibu ikut meramaikan jalanan sore itu lengkap dengan mukenah putihnya.
"Ni Nai, Ani mau sholat jamaah dimesjid, sekalian nanti setelah isya akan diadakan pengajian rutin tiap minggu Ni Nai mau ikut tidak," ucap Ani yang baru muncul dari kamarnya dengan menenteng mukenah dan sajadahnya.
"Boleh, Ani tunggu sebentar ya!"
Setelah bersiap aku menghampiri Ani yang menungguku didepan kedai yang sudah tertutup. Aku dan Ani berjalan bersama serombongan ibu-ibu yang juga hendak ke mesjid.
"Sia ko Ni, ndak pernah etek nampak doh?" tanya seorang ibu seumuran Mak Jah. Awalnya aku bingung, tapi aku akhirnya aku bisa mengerti kalau ibu itu menanyakan siapa aku yang tak pernah ia lihat.
"Namonyo Naima tek, tampek Amak karajo di Jakarta dulu," jawab Ani menjelaskan. Ibu itu tersenyum dan menjabat tanganku. Beberapa ibu lainnya juga ikut menjabat tanganku.
Tepat ketika azan maghrib dikumandangkan aku dan rombonganku akhirnya sampai di mesjid.
🎬
Aku masih merasa aneh, sepertinya aku mengenali suara yang mengimami sholat isya tadi. Suara serak basah yang begitu fasih melafazkan ayat demi ayat alquran.
Kulihat beberapa gadis seumuran Ani yang berkasak-kusuk tak jauh dari kami duduk. Mereka tampak menceritakan seseorang yang begitu dikagumi disini.
Tak sengaja aku menangkap pembicaraan mereka. Mereka sedang membicarakan seorang pemuda yang bernama Farid.
Tunggu! Farid? Ah ya, aku baru ingat sekarang, suara serak basah yang begitu familiar itu milik Uda Farid. Tapi kenapa Uda Farid bisa berada disini? Aku tau ini kampungnya Uda Fari, tapi kenapa kebetulan sekali Uda Farid ada disini ketika aku juga berada disini.
"Mereka berisik sekali, tidak taukah kalau ini mesjid," gerutu Ani kecil. Ia melirik tajam kearah gerombolan gadis yang masih saja berisik itu.
Tirai yang memisahkan antara shaf perempuan dan laki-laki mulai dibuka, sehingga kita bisa melihat mimbar yang akan digunakan sang ustadz ceramah malam ini.
Gadis-gadis yang meribut tadi mulai diam dan menatap mimbar dengan tatapan menunggu.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, terima kasih sebelumnya saya ucapkan karna telah memberikan kesempatan untuk saya mengisi pengajian malam ini." aku terkejut, sungguh terkejut dengan apa yang kulihat didepan sana. Benar, dia Uda Farid. Aku tidak menyangka kalau pemuda itu juga bisa berada disini.
Tak sengaja mata kami bertemu, aku yakin Uda Farid juga terkejut dengan kehadiranku disini. Namun, ia tetap mengembangkan senyumnya kearahku.
Beberapa gadis tadi tampak terpekik tertahan melihat Uda Farid yang tersenyum. Ani kembali kesal dan menatap para gadis itu garang hingga mereka tak dapat berkutip lagi.
Entah hanya aku yang merasa, tapi sejak tadi Uda Farid terus saja menatap kearahku. Hanya beberapa kali ia mengalihkan tatapannya.
Sungguh aku risih dengan tatapannya, aku takut jika ada yang berfikir tidak-tidak karna tatapan Uda Farid itu. Selain itu aku juga sadar diri, kalau aku ini seorang wanita bersuami yang harus menjaga diri dan hati suamiku.
"Ni Nai, kok Uda Farid dari tadi natap kesini ya?" tanya Ani bingung. Ternyata bukan cuma aku yang merasa. Ketakutan itu lagi melandaku, bagaimana jika yang lain juga menyadarinya.
Tampaknya Uda Farid menyadari kerisihanku, ia segera menunduk dan setelahnya menatap kearah lain.
Akhirnya aku bisa mendengar ceramah malam itu dengan damai tanpa perlu merasa risih lagi.
🎬
"Nai!" suara itu menghentikan langkahku dan Ani yang hendak meninggalkan pelantaran mesjid. Mesjid sudah sepi, hanya tinggal beberapa orang lagi, dan itu termasuk aku, Ani, dan Uda Farid.
"Loh Uda kenal Ni Nai, pantas dari tadi natap Ni Nai terus," ucap Ani.
"Maaf ya Nai, Uda hanya gak percaya aja kamu disini, tapi kok bisa kamu disini? Sejak kapan?" tanya Uda Farid.
"Hehehe, Nai liburan Uda, sejak empat hari yang lalu," jawabku.
"Hmmm. Sudah lama ternyata, kemana saja kamu selama empat hari?" sambil mengobrol kami melanjutkan perjalanan menuju rumah.
"Baru pantai Padang, pantai air manis, sama jembatan siti nurbaya, enaknya kemana lagi Uda?" tanyaku.
"Masih banyak yang belum kamu kunjungi, ada danau maninjau, danau singkarak, Bukittinggi, Solok, pantai carocok, kepulauan mandeh, Payakumbuh, Batusangkar," jelas uda Farid.
"Trus Ni Nai, di Bukittinggi, Solok, Payakumbuh, sama Batusangkar itu gak hanya ada satu tempat yang bisa Ni Nai kunjungi, banya tempat disana yang bisa kita kunjungi, Ni Nai mau kemana dulu?" aku dibuat takjub dengan penjelasan Uda Farid dan Ani.
Satu daerah berjuta tempat wisata. Aku tergiur ketika mendengar kata 'danau'. Seperti yang telah kukatakan, aku begitu menyukai danau karna tempanya yang sejuk.
"Nai suka danau," kataku.
"Hmm, kalau begitu kamu harus mengunjungi danau maninjau dan danau singkarak, danau itu begitu terkenal disini."
"Uda mau menemani kami!" pinta Ani memohon.
"Oke, kapan kalian akan pergi?"
"Besok."
🎬
"Papa, Rara pengen kerumah Bunda," rengek gadis kecil itu menghampiri sang Ayah yang tengah sibuk dimeja kerjanya.
Lelaki itu hanya diam, fokusnya sama sekali tak beranjak dari layar laptop jinjingnya.
"Papa!" gadis kecil itu mulai merengek dan menangis. Seorang wanita tergopoh-gopoh menghampiri putrinya yang tengah menangis.
"Loh Rara kenapa menangis?" lelaki yang tengah sibuk itu baru menyadari kalau putrinya tengah menangis disamping.
"Mama, Rara pengen kerumah Bunda, boleh ya!" pintanya.
"Rara, dengerin Papa ya, Bunda lagi gak ada dirumah, nanti kalau Bunda pulang baru kita kerumah Bunda ya," bujuk lelaki yang dipanggil Papa itu.
"Mas masih belum nemuin Naima," tanya Hanum.
"Belum, Mas tidak tau harus cari kemana?"
"Mas pernah diajak Nai kesuatu tempat gak?" tanya Hanum lagi sambil memenangi putrinya yang sudah mulai tenang.
Lelaki itu tampak berifikir, ia tak pernah sama sekali diajak Naima kesuatu tempat. Hanya ada satu tempat yang pernah ia kunjungi bersama Naima, dan itu rumah Bundanya di Bandung. Kampung halamannya.
Ia mengacak rambutnya frustasi, kenapa ia bisa lengah seperti ini. Pasti Naima dikampungnya. Kemana lagi ia pergi selain kerumah Umi atau kampungnya.
Ya Allah terima kasih telah memberiku petunjuk, mudah-mudahan Naima memang berada disana saat ini. Aamiinn.
°°°
Next???
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Teen FictionRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...