Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat dengan perlengkapan dapurku, sejak tadi senyuman bahagia dan semu merah dipipiku tak kunjung hilang. Mengingat hal semalam membuatku tak percaya bahwa semua ini memang nyata.
Bahkan rasanya aku malu untuk bertemu dengan Mas Gibran pagi ini. Sejak subuh tadi Mas Gibran pamit menunaikan sholat subuh berjamaah di mesjid.
"Assalamualaikum." suara bariton yang tengah mengucapkan salam itu mengagetkanku yang tengah meletakkan hasil masakanku dimeja makan. Rasa gugup seketika menghampiriku, pipiku rasanya memanas dan kupu-kupu berterbangan dalam perutku.
"Wa'alaikumussalam," jawabku kecil sambil menundukkan kepalaku. Ku dengar langkah kaki yang mendekat kerahaku, sedangkan kepalaku masih Setia kutundukkan.
"Hmm, baunya harum sekali," puji Mas Gibran yang sudah ada didepanku.
"Terima kasih," balasku dengan nada yang kecil.
"Kenapa? Ada yang salah sampai kamu menunduk seperti itu?" tanya Mas Gibran yang sudah duduk dikursinya.
"Tidak," balasku dan ikut duduk dikursi disamping Mas Gibran. Kuambil piring yang berada tepat didepan Mas Gibran dan mengambilkan makanan untuknya.
"Hei, ada apa? Tatap Mas!" dengan memberanikan diri kuangkat kepalaku dan menatap Mas Gibran beberapa detik sebelum mengalihkannya kearah lain.
"Nai, kalau Mas buat sesuatu yang salah tolong katakan, jangan buat Mas merasa khawatir seperti ini?" tanya Mas Gibran yang sudah menatapku intens.
Mau tak mau aku menatap mata Mas Gibran yang kembali membuat jantungku berdegup dengan kencang. Pipiku kembali memanas dan aku yakin saat ini sudah sangat memerah.
Mas Gibran yang semula menatapku khawatir mulai terkekeh geli, aku mengkerutkan keningku menatap Mas Gibran bingung.
"Ya ampun, jangan bilang kalau kamu lagi malu sama Mas," ucap Mas Gibran diikuti kekehan lembutnya. Dan sekarang aku benar-benar malu dibuatnya.
"Eng..gak kok," jawabku gugup, mataku yang semula menatap Mas Gibran kulaihkan dari tatapannya.
"Hei tatap Mas!" pintanya dan menangkupkan kedua tangannya dipipiku. "Kenapa harus malu sayang, Mas kan suamimu."
"Nai gak malu kok," jawabku masih belum mampu menatap mata Mas Gibran.
"Kalau bener coba ngomongnya sambil natap mata Mas."
Dengan penuh keberanian kutatap mata Mas Gibran, namun ketika melihat mata hitamnya yang teduh semua kata yang telah tersusun didalam benakku hilang seketika.
Sepertinya Mas Gibran tak bisa lagi menahan tawanya, ia terbahak melihat wajahku yang sudah sempurna memerah, aku begitu malu.
"Jangan tertawakan Nai," rajukku dan melepaskan kedua tangannya dari pipiku. Kuambil piringku dan mengisinya dengan makanan dan mulai melahap makananku tanpa menghiraukan Mas Gibran yang masih berusaha mehilangkan tawanya.
"Duh jangan ngambek dong, Mas kan cuma bercanda, lagian kenapa harus malu sama Mas?"
"Nai gak lagi malu!" tegasku lagi.
"Oke, iya in aja deh untuk tuan Putri ini, biar gak ngambek lagi."
🎬
Untuk yang kedua kalinya aku berada disini, bangunan berlantai sembilan tempat Mas Gibran bekerja. Ketika selesai mengerjakan sholat dhuha tadi pagi, aku mendapat panggilan dari Mas Gibran yang memintaku untuk mengantarkannya makan siang.
Entah angin dari mana yang membuat Mas Gibran bersikap seperti ini. Namun aku tetap menjalankan tugas ku sebagai seorang istri. Jadi disinilah aku sekarang.
"Bu Naima, mau ketemu Pak Gibran ya?" sapa seorang wanita yang kuketahui sebagai sekretaris Mas Gibran.
"Iya, Pak Gibrannya ada?" tanyaku lagi.
"Kalau disini gak ada, tapi kalau diruangannya ada, ayo!" wanita yang kuketahui bernama Kinara itu tanpa enggan menarik tanganku halus menuju lift yang mengantar kami keruangan Mas Gibran.
Tepat didepan pintu ruangan Mas Gibran, Kirana menghentikan langkahnya dan mempersilahkan aku untuk masuk.
"Pak Gibran udah nunggu Ibu dari tadi, masuklah!" dengan hati sedikit berdesir, kuputar kenop pintu dan mendorongnya dengan pelan. Didalam sana, Mas Gibran tengah berkutat dengan setumpuk kertas yang berada tepat diatas mejanya.
"Assalamualaikum," salamku dengan nada kecil. Mas Gibran mengangkat kepalanya dan langsung tersenyum melihat kedatanganku.
"Wa'alaikumussalam, hmm sepertinya masakanmu enak sekali, baunya saja sudah tercium," ucap Mas Gibran beralih duduk kesofa yang ada disudut ruangan. Kuikuti langkah Mas Gibran dan ikut duduk disebelahnya.
Rantang hijau yang kubawa, kuletakkan diatas meja bundar didepan Mas Gibran. Lalu makanan itu kupindahkan kesebuah wadah kecil yang lebih kecil.
Tepat ketika Mas Gibran akan menyuapkan sesendok makanannya, bunyi pintu terbuka disertai sebuah salam menghentikan gerakannya.
"Hmm, ma..af ganggu ya, aku pamit dulu, assalamualaikum," ucap Hanum tergugup dan segera berlalu dari pintu. Namun sebelum Hanum, aku sempat melirik paper bag yang kuyakin berisi makanan.
Aku tersadar ketika Mas Gibran berlalu dari hadapanku, dan entah perintah dari mana kakiku ikut melangkah mengikuti kedua insan kesebuah lorong panjang yang terlihat sepi.
Kakiku ikut berhenti tak kala dua orang didepan sana juga menghentikan langkahnya. Samar-samar kudengar percakapan yang terjadi diantara keduanya dibalik sebuah dinding yang mampu menutupi tubuhku.
"Han, tunggu dulu."
"Aduh, Mas ngapain kesini sih, kasihan Naima nungguin kamu." walau aku tak bisa mendengar ataupun melihat dengan jelas, namun naluri wanitaku mengatakan kalau Hanum tak baik-baik saja.
"Kamu ngapain, ini apa? Makanan?" benar apa yang kuduga, paper bag yang dibawa Hanum tadi berisi makanan yang pastinya untuk Mas Gibran.
"Mas lupa ya, kalau semalam Mas yang minta aku untuk antar makanan ini."
Degh..
Mas Gibran meminta Hanum mengantarkannya makanan tadi malam, dan ia juga memintaku mengantarkan makanan padanya pagi ini. Entah mengapa aku merasakan sedikit sentakan dihatiku.
Tubuhku refleks berbalik dan berjalan kembali keruangan Mas Gibran. Kubereskan tempat makanan yang sama sekali belum tersentuh oleh Mas Gibran, dan kembali menyimpan.
Tak berapa lama, Hanum dan Mas Gibran kembali ke ruangannya. Dengan sedikit terpaksa, kukembangkan bibirku membentuk sebuah senyuman.
"Hai Han, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi.
"Alhamdulillah baik."
"Hmm, Mas maaf ya, Nai gak sengaja numpahin minuman kemakanannya, jadi makanannya gak bisa dimakan lagi," ucapku berbohong. Aku tidak tau apa yang menghasutku untuk melakukan perbuatan keji ini.
"Tidak apa," jawab Mas Gibran dengan senyum yang seperti tidak terjadi apa-apa.
"Aku bawa sedikit makanan, mungkin cukup untuk kita bertiga," ucap Hanum yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya.
"Untuk kalian berdua saja, barusan Umi telfon minta Nai kesana, jadi Nai mau pamit, makan siangnya dirumah Umi saja." lagi aku berbohong.
"Ya sudah hati-hati ya."
Setelah mengucapkan salam aku bangkit dan kembali membawa rantang yang berisi makanan yang kumasak untuk Mas Gibran. Tidak mungkin aku membuang makanan ini, tidak mungkin pula aku menghabiskannya sendirian, mungkin aku harus menyumbangkannya ke orang-orang yang membutuhkannya.
Kali ini aku tidak ingin berprasangka lagi, terakhir aku berprasangka aku mendapatkan pelajaran yang tak terlupakan. Ini resikoku menjadi istri kedua, aku hanya perlu bersabar dan selalu bersyukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Teen FictionRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...