Lorong putih itu rasanya begitu panjang aku lewati, kakiku terus berlari tapi aku tak kunjung sampai ditempat yang kutuju. Abi, hanya nama itu yang selalu terucap didalam hatiku.
Aku merasa begitu bersalah, aku menyesal. Andai aku tidak pergi hari itu, bisa saja semua ini tidak akan terjadi. Abi maafkan Nai.
Kakiku berhenti melangkah, namun air mata itu masih mengalir deras dari pelupuk mataku. Kuusap mataku kasar dan menarik nafas panjang sebelum membuka pintu ruang rawat Abi.
Didalam sana sudah hadir Umi, Ibu, Mbak Fatimah, Hanum, dan Mas Gibran. Aku tidak memperdulikan siapapun saat ini. Aku hanya ingin memeluk Abi, hanya itu.
"Abi, maafkan Nai Abi," ucapku terisak sambil memeluk tubuh Abi yang masih terbaring diatas ranjang rumah sakit.
Umi dan Ibu berusaha menenangkanku, walau bisa mengendalikan emosiku, tapi aku masih belum berhasil menghentikan air mataku.
"Nai," panngil Umi sedih. Suara Umi itulah yang menyadarkanku, bahwa bukan hanya aku yang ada disini. Kubalikkan tubuhku dan memeluk tubuh Umi erat sambil terisak dibahu Umi.
"Sabar sayang, ini semua takdir Allah," ucap Umi mengelus punggungku. Umi memang tidak menangis tapi suara bergetar menandakan ia tidak baik-baik saja.
"Apa kata dokter Umi, Abi baik-baik saja kan?" tanyaku memastikan keadaan Abi.
Aku tercekat ketika Umi menggelengkan kepalanya. Apa maksud Umi, apa Abi tidak apa-apa atau Abi tidak baik-baik saja?
"Dokter mengatakan jantung Abi sudah terlalu parah Nai, kecil harapan untuk Abi bisa selamat."
Hancur, duniaku hancur berantakan. Tak ada lagi yang lebih menyakitkan dari pada berita ini. Kakiku luruh kelantai bersamaan isak tangis yang tak dapat lagi kutahan.
Aku sudah tidak memiliki kekuatan lagi, bahkan aku tidak memberontak ketika Mas Gibran menuntunku duduk disofa. Ia meraih tubuhku kedalam pelukannya dan membiarkanku menangis didada bidangnya.
"Aku dan Hanum mengerti apa yang kamu rasakan saat ini Nai, menangislah jika itu yang membuatmu tenang saat ini," kata Mas Gibran menenangkanku. Bukannya tenang, isakanku makin tak bisa aku kendalikan.
"Nai.. Ma." suara lemah itu mengangetkan aku dan yang lainnya. Itu suara Abi. Kulepaskan pelukan Mas Gibran dan segera berlalu kesamping Abi.
Mata Abi yang tajam kini menatap dengan sendu, tak ada lagi kharisma yang terpancar dari mata Abi. Lagi aku hanya bisa menangis melihat keadaan Abi yang seperti ini.
"Ma..af.kan Abi..Nai, A..bi har..ap ka..mu dan Gib..ran bisa.. menye..lesai..kan... masalah kalian... sece..patnya..." ucap Abi terbata.
"Ing..ngat sayang.. per..cer..raian.. di.. ben..ci Allah," lanjut Abi.
Aku hanya bisa mengangguk dan terus menangis. Tanganku terus menggenggam tangan Abi yang terasa dingin. Apa ini sudah saatnya Abi pergi.
Tuhan aku tidak sanggup jika harus kehilangan Abi saat ini. Tolong selamatkan Abi hamba ya Allah.
"Gib...ran.. Abi ti...tip Nai..ma ya." setelah mengucapkan itu Abi tampak menarik nafasnya dalam. Tidak, Abi tidak akan pergi.
Mas Gibran segera menunduk dan menuntun Abi untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Diam, aku terdiam. Air mataku tak lagi mengalir. Semua duniaku terhenti, semua ini seperti mimpi. Abi telah pergi. Kalimat innalilahi wainnailaihi roji'un telah terucapkan dari beberap orang yang ada di kamar rawat Abi, sedangkan aku hanya terdiam dan diam.
🎬
Lantunan yasin mengalun lembut di sudut-sudut rumah. Sejak berita kepergian Abi, semua sanak saudara telah berkumpul di rumah Umi. Abi telah disemayamkan sejak setengah jam yang lalu. Namun keadaan rumah duka masih ramai dengan keluarga dan tetangga yang melantunkan yasin.
Aku berusaha fokus dan membaca yasin yang ada didepanku. Namun air mata itu memburamkan penglihatanku. Walau tak lagi mengalir, tapi ia masih setia berada dipelupuk mataku.
Tak lagi kuat menahan semuanya, aku berdiri dan segera berlalu menuju kamarku. Aku hanya ingin sendiri dan menangis dalam diam hingga aku puas.
Namun ternyata Mas Gibran mengikutiku, ia datang dan menghampiriku yang sedang menangis memeluk foto Abi.
"Nai," panggilnya namun aku tidak menghiraukannya. Aku masih berusaha menata emosiku. Ia mendekat dan kembali mendekapku dalam pelukannya. Aku hanya diam, air mataku terus mengalir tanpa henti.
"Maafkan Mas." aku tidak memperdulikan apa maksud mas Gibran, aku hanya ingin menangis dan menangis.
"Abi telah tenang, kita boleh menangis tapi jangan sampai berlarut-larut. Abi pasti akan sedih melihatmu seperti ini."
Ia terus membujukku, dan berhasil membuatku menghentikan air mata yang tadinya mengalir deras dari pelupuk mataku.
Namun begitu, isakan sesekali masih terdengar dari bibirku. Entah perintah dari mana, tanganku terangkat dan memeluk tubuh Mas Gibran erat. Aku membutuhkannya saat ini, aku membutuhkan pelukan itu saat ini.
"Mas juga pernah kehilangan Ayah Naima, Mas tau apa yang kamu rasakan saat ini, tapi tak ada gunanya berlarut-larut. Abi sudah tenang disana," ucap Mas Gibran lagi. Aku makin memperat pelukanku ditubuhnya.
"Umi membutuhkanmu saat ini, jadilah anak yang kuat Nai, untuk Umi." benar apa yang dikatakan Mas Gibran, saat ini hanya aku kekuatan Umi. Aku harus kuat suapaya Umi juga bisa kuat.
Tanpa kusadari, dibalik pintu yang sedikit bercelah. Hanum menatapku dengan tatapan sedihnya.
🎬
"Naima dimana Gibran." suara wanuta paruh baya itu mengejutkan Gibran yang tengah meminum segelas air dingin.
"Dikamar Mi, sehabis menangis tadi dia langsung tertidur," jawab Gibran setelah menandaskan minumannya.
"Pasti Nai sedih sekali, maafkan Nai ya Gibran, dia memang sedikit kekanakan." Gibran menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Ia paham mengapa Naima bisa berbuat seperti itu. Jika ia diposisi Naima pun pasti ia juga melakukan hal yang sama.
"Maaf jika Umi lancang, apa benar semuanya yang dikatakan Naima kalau kamu akan menceraikannya?" Gibran tercekat mendengar pertanyaan Umi.
Dulu ia memang begitu ingin menceraikan Naima, tapi entah kenapa ia begitu ketakutan mendengar kalimat itu sekarang.
"Maafkan Gibran Umi, maaf jika Gibran telah menyakiti hati Anak Umi, dulu memang Gibran berniat seperti itu, tapi setelah waktu berlalu Gibran takut untuk kehilangan Naima, tapi Gibran juga takut kehilangan Hanum, Gibran bingung Umi," curahnya dengan wajah yang ditekuk.
"Kamu bisa saja tidak kehilangan keduanya asal kamu bisa adil," nasihat Umi. Gibran menggelengkan kepalanya yang tertunduk.
"Tidak Umi, lambat laun satu diantaranya harus Gibran lepas." jawaban Gibran membuat Umi syok. Wajar beliau merasakan itu, Ibu mana yang ingin putrinya disakiti.
"Umi tidak bisa memaksamu Gibran, jika hubungan ini malah menyakiti hati anak Umi, lebih baik kamu lepaskan Naima, biarlah ia sakit sejenak dari pada ia menanggung sakit selamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Ficção AdolescenteRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...