Selepas maghrib aku sudah sampai dirumah, esok Mak Jah akan berangkat pulang jadi aku akan menghabiskan malam ini dengan Mak Jah. Sekantong oleh-oleh sudah ada ditanganku saat ini. Aku yakin Mak Jah tidak sempat untuk membeli oleh-oleh untuk keluarganya.
Aku tak melihat kehadiran Mak Jah diruang makan atau pun dapur, tapi makan malam sudah terhidang diatas meja. Sepertinya Mak Jah sedang sibuk dikamarnya.
Benar saja, Mak Jah sedang sibuk dengan tas besarnya. Beberapa barang masih berserakan dikasur singlenya.
Kupeluk tubuh Mak Jah erat, aku tau Mak Jah terkejut terbukti dengan tubuh Mak Jah yang terlonjak kaget.
"Aduh Nai, untung Mak gak punya riwayat penyakit jantung," omel Mak Jah sembari menyubit kedua pipiku.
"Aduh, sakit Mak." kuusap pipiku yang memerah akibat dicubit Mak Jah.
"Mak, kalau Mak udah sampai di Padang nanti jangan lupa kasih tau Nai ya, jangan lupain Nai juga," ucapku sedih. Walau aku baru mengenal Mak Jah enam bulan ini, namun aku sudah terlalu sayang sama Mak Jah, ia sudah seperti Ibu bagiku.
"Tentu Mak gak akan lupain Nai, nanti kalau Nai liburan datanglah kekampung Mak," ucap Mak Jah membelai kepalaku. "Nai hati-hati disini ya, Mak yakin Nai akan menemukan kebahagiaan Nai nantinya, teruslah berdoa, Mak akan selalu mendoakan Nai," lanjut Mak Jah membuatku terharu.
Kembali kupeluk tubuh Mak Jah erat, jika inginnya hatiku, aku tidak ingin Mak Jah pergi. Tapi, anak Mak Jah pun pasti ingin hidup dengan orang tuanya. Lagian kasihan kalau Mak Jah masih bekerja diumurnya yang sudah terbilang tua.
"Nai sayang Mak."
"Mak juga sayang sama Nai."
Malam ini aku benar-benar menghabiskan waktu dengan Mak Jah, bahkan kami tertidur dikarpet yang ada dikamar Mak Jah.
🎬
"Hijrah itu bukan hanya mengubah penampilan namun juga merubah hati. Contohnya, banyak anak muda saat ini yang menggunakan hijab namun masih berpacaran. Atau mereka berhijab namun belum menutup dadanya."
"Namun, islam juga tidak menyukai kata terlalu, seperti terlalu terbuka ataupun terlalu tertutup. Maksudnya terlalu tertutup disini adalah menggunakan baju yang melebihi mata kaki."
"Jadilah muslimah dengan syariat islam, jangan mengurangi namun jangan pula melebihi."
"Ustazah, saya pernah melihat seorang wanita, ia menggunakan hijab, namun ia tetap berpacaran, itu bagaimana ustazah?" tanya seorang jamaah pengajian kali ini.
"Saya ingin bertanya, sebenarnya apa tujuanmu dari pacaran? Takut kehilangan jodohmu? Bukankah Allah telah mengatakan, kalau Beliau menciptakan hambanya berpasang-pasangan, lalu apa yang sebenarnya kalian takutkan."
"Dan Allah telah mengatakan, seorang wanita yang belum mendapatkan jodohnya maka lakukanlah puasa sunnah. Sesungguhnya, hijrah itu bukan hanya mengubah penampilan, namun juga mengubah hati dan tujuan dari hidup." jelas ustazah Saida yang mengisi pengajian sore ini.
"Lalu ustazah, ada beberapa orang yang berhijrah karna mengikuti trend ustazah," sambung jamaah yang lain.
"Bukankah sudah dikatakan, apa yang kalian niatkan maka itu yang kalian dapatkan. Jika kalian berniat mengikuti trend, maka hanya itu yang kalain dapatkan, berbeda dengan mereka yang berhijrah karna menginginkan surga Allah, maka insyaallah ia akan mendapatkannya."
Subhanallah, ternyata tidak salah aku mengambil waktu istirahat ku untuk mendengarkan tausiah ini. Hatiku menjadi tenang.
Siang tadi Uda Farid memberi tahuku bahwa sore ini akan diadakan tausiah khusus akhwat di pesantren. Ustazah Saida adalah sahabat Uda Farid yang ia kenalkan padaku sebelum acara dimulai tadi.
"Assalamualaikum Ustazah," salamku pada Ustazah Saida yang kujumpai di pelantaran mesjid.
"Wa'alaikumussalam Nai," balas ustazah Saida.
"Subhanallah Ustazah, Nai suka sekali dengan cara penyampaian ustazah tadi," pujiku.
"Ah biasa saja Nai, materi yang kusampaikan tadi materi dasar untuk para santri," balas ustazah Saida malu-malu.
Setelah bercengkrama sedikit dengan ustazah Saida barulah aku pamit untuk pulang.
🎬
Sejak kepulangan Mak Jah kekampungnya, rumah terasa sepi. Tak ada lagi tawa Mak Jah di waktu sarapan ataupun makan malam. Tak ada lagi senandung riang dengan bermusikan percikan air kolam ditaman belakang.
Apalagi sejak kejadian di rumah Mas Gibran beberapa hari lalu, Mas Gibran tak lagi datang kerumah atau sekedar mampir. Sekarang aku merasa sendiri, jauh dari orang tua dan tak ada sandaran disini.
Rumah dan rumah sakit tak jauh berbeda, jika dirumah aku sendirian dan dirumah sakit aku juga sendirian karna semua orang tengah menjauh dariku. Tentu saja kecuali Zahra.
Beberapa hari setelah pertemuanku dan Robby, aku tidak lagi mendengar kabarnya. Apa ia sudah pulang atau belum. Sungguh, aku masih merasa bersalah terhadap Robby.
Nai kamu dimana,
jangan bilang kamu lupa
kalau hari ini kamu jadwal operasi.
Suster Anna dari tadi nyariin.Pesan yang dikirimkan Zahra menyadarkanku. Astagfirullah, bagaimana aku bisa lupa kalau aku ada jadwal operasi. Dan itu akan berlangsung satu jam lagi. Dengan terburu-buru aku bersiap dan berangkat kerumah sakit dengan taksi yang kebetulan lewat sehabis mengantar penumpang.
Sejak kejadian malam itu aku tak lagi mengendarakan motorku, benar kata Umi, aku sebaiknya membeli mobil agar memudahkanku pergi bekerja.
🎬
Operasi yang berjalan hampir tiga jam itu akhirnya dapat aku selesaikan dengan baik. Alhamdulillah aku sudah menyelamatkan satu nyawa.
Beberapa perawat yang ikut dalam operasi tadi berjalan beberapa langkah didepanku. Mereka jelas sekali menjauh dariku. Apa segitu buruknya menjadi istri kedua hingga seperti ini.
"Aduh," keluh sebuah suara kecil dibawahku, aku yang melamun ternyata menabrak sesuatu.
"Bunda!" aku terkejut karna lagi-lagi mendapati Rar berada dirumah sakit ini. Kali ini siapa lagi yang sakit?
"Rara, kenapa disini? Siapa yang sakit?" tanyaku sembari membungkukkan tubuhku menyamai tinggi Rara.
"Mama," jawabnya.
"Sekarang Mama dimana?" tanyaku lagi. Rara menunjuk sebuah ruangan rawat inap tak jauh dari tempatku berdiri.
"Mama kenapa?"
"Papa bilang Mama hanya kecapean, Rara ngak ngerti maksudnya apaan," jawab gadis itu polos.
Entah kenapa satu pertanyaan mampir diotakku. Apa semua ini karena kejadian malam itu, malam dimana Ibu Hanum memarahiku. Apa mungkin setelah kepergianku mereka bertengkar?
Astagfirullah Naima, mengucaplah. Apa yang kau pikirkan. Pendek sekali pikiranmu hingga berfikir yang tidak-tidak seperti itu. Mungkin benar Hanum hanya kecapean.
"Bunda, ayo kita ketempat Mama." Rara berusaha menarik tanganku. Sedangkan aku hanya diam mematung, aku tidak ingin masuk kedalam sana. Pasti didalam sana juga ada Mas Gibran, dan aku tidak ingin bertemu dengan mereka, setidaknya untuk beberapa waktu.
"Rara, Bunda harus kerja sayang, nanti kalau Bunda sudah selesai kerja Bunda kesana. Sekarang Rara masuklah, nanti Mama sana Papa nyariin," ucapku. Anak itu awalnya merenggut namun tetap mengikuti perintahku memasuki ruang rawat Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
JugendliteraturRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...