Pengajian yang berlangsung satu setengah jam itu akhirnya selesai. Benar kata Mak Jah, agamanya Bagus, jelas ia kan lulusan kairo. Dulu aku juga berkeinginan kuliah disana, tapi Umi tak mengizinkan karna terlalu jauh.
Ceramah yang ia berikan begitu menohok hatiku, seorang istri yang saleha. Apa aku termasuk dalam kelompok istri yang saleha? Yang pantas mendapat surga-Nya?
"Nai, ayo Mak kenalin sama ustadz Farid," ucap Mak Jah sambil menarik tanganku ketempat ustadz Farid berada. Lelaki itu tampak sedang sibuk mengobrol dengan jama'ah laki-laki.
"Farid!"
"Eh Mak, kirain Farid Mak gak jadi datang." lelaki bernama Farid itu menyalami tangan Mak Jah, tampaknya mereka sudah lama kenal.
"Oh ya, kenalin Naima," ucap Mak Jah mengenalkanku. Ia tersenyum dan menangkupkan tangannya di depan dada."Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam Ustadz," balasku mengikutinya menangkupkan tanganku didepan dada.
"Jangan panggil ustadz, panggil namaku saja seperti Mak Jah."
"Jangan dong, gak sopan, gimana kalau aku panggil Uda Farid saja, orang Minang manggil Uda kan untuk kakak laki-laki?" tanyaku. Sedikit aku memang mengetahui tentang Minang, seperti panggilang 'Uda' untuk kakak laki-laki dan 'Uni' untuk kakak perempuan.
"Boleh juga," ucapnya dengan senyum mengembang. Uda Farid ternyata orang yang mudah bergaul, wajahnya tampan, senyumnya manis, dan tatapannya yang teduh. Astagfirullah Nai, jaga pandanganmu.
"Mak dan Naima mau pulang?" tanya Uda Farid.
"Iya."
"Saya antar ya, sudah malam tidak baik wanita jalan di malam seperti ini." benar kata Uda Farid. Akhirnya aku dan Mak Jah diantar pulang oleh Uda Farid walau hanya dengan berjalan kaki.
Selama perjalanan hanya obrolan Mak Jah dan Uda Farid yang terdengar, aku hanya mendengarkan dan sesekali tersenyum menimpali. Mereka menceritakan tentang kampung halaman mereka, jadi aku kurang mengerti dengan apa yang mereka ceritakan.
"Itu suami Nai?" pertanyaan Uda Farid menyadarkanku. Ternyata aku sudah sampai didepan rumah, dan disana sudah berdiri Mas Gibran dengan wajah datarnya.
"Oh, iya. Makasih ya Uda sudah mengantarkan kami, mau mampir dulu?" tanyaku menawarkan, mumpung ada Mas Gibran rasanya tak salah jika Uda Farid mampir kerumah.
"Makasih, lain kali saja ya, sudah malam soalnya, saya permisi dulu." setelah kepergian Uda Farid baru aku dan Mak Jah menghampiri Mas Gibran yang duduk dibangku teras rumah.
Hanya aku yang menghampiri Mas Gibran sedangkan Mak Jah izin untuk masuk kedalam.
"Assalamualaikum Mas, sudah lama?" tanyaku dan ikut duduk di kursi samping Mas Gibran yang dibatasi sebuah meja bundar kecil.
"Wa'alaikumussalam, baru," jawabnya datar. Sifatnya kembali dalam mode datar, hmmm kukira setelah pulang dari rumah Bunda, Mas Gibran akan sedikit berubah ternyata aku salah.
"Hmmm, Mas mau menginap?" tanyaku ragu-ragu. Jarang sekali Mas Gibran mau singgah dirumah, apalagi sampai menginap. Aku jadi tidak yakin dia akan menginap, mungkin ia hanya mengambil sesuatu yang tertinggal ketika ia menginap dulu.
"Salah kalau aku menginap dirumah istriku sendiri?" aku terkejut dengan pertanyaan Mas Gibran. Bukan nadanya yang datat dan tegas, namun kata 'istriku' yang menarik perhatianku. Apa Mas Gibran sudah mau menerimaku sebagai istrinya?
"Bu...bukan begitu, biasanya kan Mas jarang nginap." aduh apa yang aku katakan.
"Terserah, aku mau istirahat." setelahnya Mas Gibran berlalu meninggalkanku yang masih bingung.
🎬
Gibran POV
Niatku yang semula hanya mengambil berkas yang tertinggal berubah menjadi menginap disini. Entahlah, apa yang aku pikirkan sehingga bisa berkata seperti itu.
'Istriku' apa aku sudah gila? Atau mungkin hatiku sudah mulai menerima kehadirannya sebagai istriku.
Entahlah, ketika melihat ia pulang diantar lelaki yang tidak aku kenali itu, pikiranku seketika berubah. Walau ia bersama Mak Jah tapi kenapa mampu mengubah jalan pikiranku.
Setelah bersih-bersih, kurebahkan tubuhku di kasur bewarna hitam itu. Sebenarnya, sebelum kesini aku sama sekali belum makan malam karna pekerjaan yang begitu sibuk. Rencana ingin memakan masakan Hanum pun tak jadi hanya karna lelaki itu.
Perutku kembali berbunyi, namun aku malas untuk turun kebawah. Entah kenapa aku seperti malu untuk bertemu dengan Naima. Perlahan kututup mataku, dan berusaha melupakan rasa lapar diperutku dengan berusaha untuk tertidur.
🎬
Naima POV
Dipertengahan malam aku terbangun, rasa haus seketika menggerogoti kerongkonganku. Ku raih gelas yang ada dinakas samping tempat tidur, dan sayangnya aku lupa kalau semalam aku tidak membawa minum kedalam kamar. Jadinya terpaksa aku turun untuk mengambil air minum.
Dengan sedikit sempoyongan akibat mengantuk aku terus berjalan menuju dapur tanpa menyadari kalau seseorang juga tengah berada didapur. Ketika hendak mengambil gelas aku terkejut mendapati Mas Gibran yang tengah menatapku tanpa berkedip.
Aku lupa kalau Mas Gibran semalam memutuskan untuk menginap, tapi kenapa ia malah menatapku seperti itu. Kugerakkan tanganku hendak menggaruk tengkuknya, saat itulah aku sadar bahwa aku tidak menggunakan khimarku untuk pertama kalinya di depan Mas Gibran.
Dengan gelagapan ku mundurkan langkahku dan berlalu dari hadapannya. Aku berlari kekamarku dengan nafas ngos-ngosan. Ah,, aku belum sempat minum tadi, tenggorokan ku masih terasa kering. Dengan berat hati, dan jantung yang berdetak cepat kuraih khimar yang tersedia ditempatnya dan kembali kedapur untuk mengambil air minum.
Suasana canggung dan hening melingkupi ruang dapur ini, mudah-mudahan Mas Gibran tidak mendengar detak jantungku yang berdebar kuat. Dengan gerakan cepat aku mengambil air minum dan hendak berlali sebelum aku melihat Mas Gibran yang tengah menghidupkan kompor.
Aku bingung apa yang ia kerjakan, apa ia lapar? Aku ingin berlalu saja namun perkataan hatiku menghalangi langkahku. Bukankah tadi aku mengatakan ingin menjadi istri yang shalehah dan mendapatkan surga seorang istri? Hal ini lah salah satu yang harus aku lakukan untuk mendapatkannya.
"Mas mau apa?" tanyaku gugup, sungguh aku masih malu dengan kejadian tadi. Bagaimana aku bisa seceroboh itu.
"Masak," jawabnya sambil menatapku, aku gugup. Walau hanya tatapan datar tapi mampu membuat jantungku kembali berdetak cepat, apalagi dengan posisi kami yang berdekatan dan hanya berdua diruangan dengan penyinaran yang temaram.
Kutundukkan kepalaku menghindari tatapannya.
"Mau masak apa?" tanyaku lagi-lagi gugup."Mie."
"Mie?" tanpa sadar aku mengangkat wajahku dan lagi mataku bertemu dengan mata tajam miliknya. Lagi kutundukkan kepalaku.
"Sini biar Nai yang masak, Mas duduk aja," ucapku dan mengambil alih semua. Mas Gibran berlalu dan mengambil tempat duduk di kursi meja makan. Walau aku membelakanginya tapi aku bisa merasakan tatapan yang ia berikan kepadaku.
Tanganku gemetar, dengan hati yang masih berdegup kencang, kuletakkan semangkuk mie yang sudah jadi tepat dihadapannya. Aku hendak berlalu ketika tangannya menghentikan pergerakanku.
"Tugas istri bukan hanya memasaknya suaminya, namun juga menemani suaminya makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Teen FictionRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...