Aku menatap ponsel dengan pandangan kosong, Mas Gibran memang mengangkat telfonku tapi ia tidak memberikan respon apapun. Sedangkan di ujung sana kedua lelaki berwajah sangar itu mulai meneriakiku. Kutatap langit yang masih menumpahkan air hujan. Hanya satu diotakku saat ini, yaitu lari.
Baru saja kakiku ingin melangkah, kedua lelaki itu sudah menghadang tepat didepanku. Aku tidak tau sejak kapan mereka berada didekatku. Hatiku berdetak kencang, pikiranku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Mau kemana? Hujan. Nanti kamu kedinginan loh," ucapnya dengan suara lembut yang mampu menaikkan bulu kudukku. Kugeser sedikit tubuhku kearah samping mencari celah untuk lari, namun mereka juga mengikuti pergerakanku.
"Permisi, saya mau pulang," cicitku. Mereka tertawa mendengar nada bicaraku yang ketakutan.
"Loh jangan takut, kita baik kok."
Tidak! Otak ku memberi sinyal kalau mereka bukan orang baik. Lampu peringatan itu sudah menyala sejak aku melihat mereka masih berdiri diujung jalan.
Nai, kamu harus pergi. Bisik hatiku. Kutatap sekeliling mencari pertolongan, tapi naas. Jalanan begitu lengang karna sudah hampir larut malam dan dalam keadaan hujan lebat. Menyerah akhirnya aku mencari jalan untuk lari. Jika aku lari dari sini sampai rumah akan memakan waktu sekitar dua puluh menit, tapi biarlah.
Tanpa aba-aba aku gerakkan kakiku untuk berlari menjauh, tapi lagi, mereka menghalangiku. Kali ini salah satu diantara mereka menggenggam pergelangan tanganku dan mencengkramnya kuat.
Aku terkejut sekaligus ketakutan. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tanganku, dan berusaha berteriak meminta pertolongan.
"Gak akan ada yang dengar sayang, disini sepi." aku benar-benar ketakutan. Air mataku meleleh, hatiku terus memanggil Abi dan Mas Gibran berharap terkirim sinyal bahwa aku meminta pertolongan. Dan tak henti pula aku meminta kepada-nya agar Beliau kirimkan pertolongan untukku.
Aku tak henti memberontak agar tanganku terlepas, wajah mereka yang sangar makin membuatku ketakutan. Kututup mataku dan berharap kalau semua ini hanya mimpi.
Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba tanganku rasanya terlepas. Namun aku tak sanggup untuk membuka mataku. Suara baku hantam mengejutkanku, kubuka mataku perlahan dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati Mas Gibran yang tengah baku hantam dengan kedua lelaki itu.
Rasa takut tadi berubah menjadi rasa takut yang lain. Takut kalau salah satu diantaranya membawa benda tajam dan melukai Mas Gibran. Mulutku terus melafalkan doa agar diberi keselamatan untuk Mas Gibran.
Tak butuh waktu lama, kedua lelaki itu sudah babak belur dan melarikan diri. Aku tak tau apa yang aku lakukan, aku hanya butuh ketenangan. Tanpa aba-aba kepeluk tubuh Mas Gibran dan menangis tersedu disana. Dapat kurasakan Mas Gibran balik memelukku dan mengelus kepalaku memberi ketenangan.
🎬
Gibran POV
Sepanjang perjalanan pulang Naima hanya terdiam dibangkunya, aku tau ia begitu ketakutan terlihat dari bahu dan bibirnya yang bergetar serta tangannya yang saling menggenggam.
Aku menyesal tidak langsung pergi ketika mendapat telfon darinya, seharusnya kejadian tadi tidak terjadi. Sedari dulu Naima begitu menjaga dirinya, perlakuan seperti tadi tentu membuatnya benar-benar ketakutan.Tanganku terulur mengelus kepalanya, ia menatapku dengan tatapan kosong. Aku makin merasa bersalah melihatnya seperti ini.
"Maaf seharusnya Mas datang lebih cepat," ucapku lirih. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menatap kearah depan.
🎬
Sesampainya dirumah, kuantarkan ia menuju kamarnya. Ku putuskan untuk menunggunya hingga terlelap baru aku pulang. Aku bingung kenapa ia bisa pulang kemalaman, seharusnya shift nya sudah berakhir sore tadi, lalu kemana ia pergi kenapa baru seperti ini terjadi ia baru menelfonku.
Tapi melihatnya seperti ini aku jadi tidak tega memarahinya. Ketika nafasnya mulai teratur baru aku beranjak untuk pulang. Baru tanganku ingin memutar kenop pintu, kuputar lagi kepalaku untuk meyakinkan keadaannya. Awalnya ia biasa saja, tapi setelahnya ia nampak gelisah dan kerutan mulai terlihat didahinya.
Akhirnya kuhampiri dan kuulurkan tanganku untuk mengusap dahinya menghilangkan kerutan itu. Namun aku terkejut ketika tanganku merasakan panas. Kuperiksa perlahan, dan benar tubuh Naima terasa panas.
Dengan sedikit tergesa kuambil baskom berisi air dan sebuah handuk kecil untuk menggompresnya. Ketika aku kembali, lagi aku terkejut mendapati ia menangis dalam tidurnya. Sebenarnya apa yang ia mimpikan sehingga ia sampai menangis seperti itu.
"Nai. Naima!" berusaha kubangunkan ia, ketika ia terbangun ia langsung memelukku dan terisak. Aku makin bingung. Aku sedikit ragu untuk membalas pelukannya, tapi aku tau ia butuh itu sekarang.
"Tenanglah Nai, Mas ada disini," ucapku menenangkannya. Setelah cukup tenang, kubaringkan tubuhnya yang sudah terlelap. Tak tega untuk meninggalkannya, aku pun ikut berbaring disebelahnya dan terlelap.
🎬
Naima POV
Mataku mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk kemataku. Aku terkejut dan hatiku bergetar hebat ketika wajah Mas Gibran yang pertama kali kulihat.
Aku ingat kejadian semalam ketika ada dua orang lelaki yang datang menggangguku dan Mas Gibran datang untuk membantuku. Lalu ia mengantarkan ku pulang dan menemaniku hingga terlelap di pelukannya. Wajahku memerah ketika mengingat kejadian itu. Tapi aku tidak tau kalau Mas Gibran menginap dikamarku. Ya dikamarku, tepat disampingku.
Kupandangi wajah Mas Gibran yang tertidur tenang didepanku, wajahnya begitu tenang tidak datar seperti biasnya. Aku yakin pasti pipiku memerah saat ini. Wajah Mas Gibran ketika tertidur terlihat lebih tampan, aku merasa bahagia dapat menikmati pemandangan ini.
Kulihat bulu mata Mas Gibran yang lentik perlahan bergerak, tubuhnya menggeliat dan matanya sempurna terbuka. Aku yang terkejut sekaligus malu segera menundukkan kepalaku.
"Ehm.. Maaf Mas ketiduran," ucapnya parau khas orang bangun tidur. Apa aku tidak salah dengar kalau Mas Gibran memanggil dirinya dengan sebutan Mas?
"Gak papa," jawabku malu-malu. Suasana canggung melingkupi kami. Mas Gibran beranjak turun dan menghilang dibalik pintu kamar mandi. Setelah itu lah aku bisa bernafas lega.
Akupun beranjak kekamar mandi yang ada diluar kamar untuk mengambil wudhu. Ketika kembali kekamar Mas Gibran sudah duduk rapi diatas sajadahnya, tepat dibelakang Mas Gibran terbentang satu sajadah lagi yang diatasnya terletak mukenahku.
"Kita sholat berjamaah ya." aku mengucapkan kata syukur mendengarnya. Sudah lama aku menantikan momen ini, diimami suamiku sendiri.
Setelah sholat dan berdoa, Mas Gibran berbalik dan menatapku dalam. Kutundukkan kepalaku karna tak sangup menatap matanya.
"Maafkan Nai, tidak seharusnya mereka memegang tangan Nai, maaf Nai tidak bisa menjaga diri Nai untuk Mas," ucapku lirih dengan suara bergetar, sungguh aku merasa bersalah.
"Bukan kesalahanmu Nai, hanya saja lain kali kamu harus berhati-hati, lagian bukankah Mas orang pertama yang menggenggam tanganmu ketika dirumah Bunda dulu." sekarang aku benar-benar malu, pipiku menghangat dapat kupastika pipiku memerah sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Fiksi RemajaRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...