🍁20.

3.6K 202 2
                                    

"Kok bisa sih dokter Naima sama Pak Gibran, bukannya Pak Gibran udah punya istri ya?"

"Gak malu jadi istri kedua."

"Denger-denger dulu mereka sahabat loh semasa sma."

"Kok tega ya, rebut suami sahabat sendiri."

"Kalau aku jadi istri pertamanya Pak Gibran, udah aku bunuh orang ini."

Kalimat demi kalimat itu lah yang setiap hari aku dengar. Apa seburuk itu menjadi istri kedua. Bukankah dulu pun Nabi memiliki istri lebih dari satu, tapi istri Nabi tak pernah dicaci sepertiku.

Aku pun tak ingin dijadikan istri kedua, tapi kenapa aku seolah-olah yang bersalah seutuhnya disini. Mereka tak tau masalah apa sebenarnya yang terjadi, tapi kenapa dengan mudahnya mereka mengambil kesimpulan seperti ini.

Rasanya aku malas untuk pergi bekerja, aku malas untuk mendengar semua cacian yang mereka lontarkan untukku. Namun, aku juga tidak bisa melepas tanggung jawabku.

Dering ponsel mengangetkanku, ku raih ponsel yang terletak diatas meja dan mengangkat telfon dari Hanum.

"Hallo! Assalamualaikum Naima!"

"Wa'alaikumussalam Hanum, ada apa?"

"Gimana keadaanmu? Baik-baik saja bukan?"

"Alhamdulillah aku baik baik saja."

"Alhamdulillah, oh ya Nai, Rara memintamu datang, kamu ada waktu?"

"Oh, ada sejam lagi aku sampai ya."

"Maaf merepotkan, ya sudah Assalamualaikum Nai."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah telfon tertutup baru aku menyesal dengan apa yang baru aku katakan. Jika aku pergi menemui Rara, otomatis aku akan bertemu Mas Gibran dan Hanum, lalu bagaimana aku akan bersikap?

Tapi janji tetaplah janji, maka aku harus menepatinya.

Jadi setelah berakhirnya shift aku langsung menuju rumah Hanum menggunakan taksi. Sejak kejadian hari itu aku takut untuk menggunakan motor lagi.

Tak perlu menunggu lama, taksi yang membawaku menuju rumah Hanum sudah terparkir rapi didepan pagar bewarna coklat itu. Walau dengan perasaan yang ragu, tetap kulangkahkan kakiku menuju rumah yang terdapat dibalik pagar coklat itu.

"Assalamualaikum," salamku dan mengetuk pintu rumah Hanum yang sedikit terbuka.

"Wa'alaikumussalam, Nai masuk lah kebetulan Mas Gibran baru saja pulang," ucap Hanum yang membuatku bertambah gugup.

Bersama Hanum, aku terus melangkah menuju ruang keluarga dimana Rara dan Mas Gibran berada. Namun ternyata bukan hanya mereka, namun juga Ibu Hanum yang tengah bermain bersama Rara.

"Rara, lihat siapa yang datang." Rara yang mendengar namanya dipanggil segera memalingkan wajahnya. Ia segera bangkit dan berlari memelukku. Kuusap lembut rambutnya panjang dan bewarna hitam.

"Rara kangen banget sama Bunda," ucap Rara sambil memperkuat pelukannya.

"Bunda juga kang..."

"Siapa yang menyuruh wanita ini datang, wanita perusak kebahagian putriku," teriak Ibu Hanum yang membuat Rara terkejut, bukan hanya Rara, aku pun terkejut dengan perkataan Ibu Hanum.

"Ibu!" tegur Hanum yang dibalas dengusan Ibu Hanum.

"Memang betul bukan kalau dia wanita perusak rumah tangga orang, dengar sini wanita perusak, bukankah kau memiliki seorang ibu, jika ibumu diperlakukan seperti anakku, apa yang akan kau lakukan hah? Apa kamu sanggup melihat ibumu diperlakukan seperti ini."

"Setelah kau rebut Gibran dari anakku dan sekarang kau pun akan merebut cucuku Rara?"

"Ibu!" hardik Hanum marah.

"Diamlah Hanum! Apa yang Ibu lakukan ini sudah benar." balas hardik Ibu Hanum. "Aku tidak tau bagaimana cara orang tuamu mendidikmu hingga menjadi seperti ini."

Cukup! Cukup sudah, sejak tadi aku diam karna aku tau disini aku juga salah, tapi aku tak bisa jika itu disangkut pautkan dengan Umi dan Abi.

"Anda boleh mengatakan apapun tentang saya, saya perusak lah, saya orang ketiga lah, terserah anda, tapi tak pantas rasanya anda menyinggung kedua orang tua saya, anda pun seorang anak, saya yakin anda akan melakukan hal yang sama jika ada yang mengolok-olok orang tua anda," ucapku mengembalikan kata-kata yang sempat Ibu Hanum katakan tadi. Aku tidak perduli lagi dengan kata-kata yang aku gunakan tidak sopan.

"Lagian disini pun saya tidak ingin menjadi istri kedua, saya pun tidak ingin menjadi perusak diantara anak anda dan suaminya, namun menantu anda lah yang datang kerumah saya dan mengkhitbah saya pada orang tua saya," tambahku.

Kulihat Mas Gibran dan Hanum hanya menatapku tanpa mau membelaku. Padahal aku kira setelah semua yang terjadi beberapa minggu belakangan hubunganku dan Mas Gibran sudah membaik, tetapi aku salah.

"Jadi sebenarnya kalian mengundang saya datang kesini hanya untuk ini? Untuk caci maki kalian? Kalau begitu terima kasih banyak, saya rasa kalian sudah berhasil menyudutkan saya, saya pamit, Assalamualaikum." setelah mengucapkan itu aku berlalu tanpa melihat kebelakang. Hatiku hancur, namun setetes pun air mata tak jatuh dari mataku.

Aku masih bingung dengan semua ini. Pantaskah aku dikatakan 'orang ketiga' sedangkan aku tak pernah menginginkan hal ini. Tak pernah sekalipun terniat dipikiranku dijadikan istri kedua.

Kakiku terus berjalan entah kemana. Kumandang azan maghrib lah yang menyadarkanku, kuhentikan langkahku didepan sebuah musholla dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Setelah menghadap Rabb-ku dan berkeluh kesah kepadanya, baru aku keluar untuk lanjut pulang kerumah.

Di pelataran musholla, kudengar sebuah suara yang memanggilku. Kubalikkan tubuhku dan mendapati Uda Farid yang berdiri tak jauh dariku.

"Assalamualaikum Nai, sendirian?"

"Wa'alaikumussalam Uda, iya," jawabku lesu.

"Ada masalah? Bisa aku bantu?" tanya Uda Farid berbasa basi.

"Tidak ada apa-apa Uda."

"Kamu berbohong. Mak Jah memberi tahuku beberapa hari ini kamu tampak murung, ada apa Nai? Siapa tau aku bisa membantumu?"

"Hanya masalah kecil dengan suamiku." mendengar itu Uda Farid terdiam.

"Hmm, kalau itu aku tidak bisa ikut campur, tapi Nai, ingatlah apapun yang terjadi ia tetap suamimu, hormati dia," pesan Uda Farid yang kutanggapi dengan senyuman.

"Uda ngapain disini?" tanyaku. Bukankah Uda Farid tinggal di asrama pesantren, lalu kenapa sejauh ini Uda Farid pergi sholat berjamaah.

"Selain ngajar di pesantren Uda juga ngajar ngaji disini, hitung-hitung bagi ilmu Nai," ucap Uda Farid. "Oh ya, kamu mau pulang, kita bisa bareng!" ajak Uda Farid.

"Hmmm, boleh Uda."

"Tapi Uda bawa motor tidak apa-apa bukan?" tanya Uda Farid yang kuangguki dengan senyum yang mengembang dibibir.

"Tentu saja."

Malam itu aku diantar Uda Farid hingga depan rumah, setelah kepergian Uda Farid hal yang sempat terlupakan tadi kembali menyeruak dipikiranku. Mak Jah yang membukakan pintu terkejut dengan keadaanku.

"Ya ampun Nai, kamu kenapa?" tanpa menjawab pertanyaan Mak Jah aku segera menghambur memeluk tubuhnya yang tambun. Menangis dibahunya, mengeluarkan rasa sesak yang kutahan dari tadi. Bahkan aku tak bisa menahan isakanku. Mak Jah membelai kepalaku sayang, dan memberikan kata-kata yang hampir sama yang selalu Umi katakan ketika aku menangis dulu. Aku rindu Umi.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang