🍁24.

3.3K 191 2
                                    

"Bunda.... Hiks.."

Aku terkejut ketika mendapati Rara yang datang keruanganku dengan keadaan menangis. Wajahnya terlihat memerah dan sembab. Tapi aku bingung bagaimana bisa ia ada disini sedangkan ini masih jam sekolahnya.

"Rara, ada apa?" kuhampiri Rara yang masih berdiri didekat pintu dan berjongkok tepat didepannya. Kuusap pipi dan matanya yang masih berlinang air mata. Belum sempat ia mengatakan apapun, Rara sudah terlebih dahulu memelukku erat.

Lagi, ia menangis tersedu dibahuku. Kuusap rambut hitam panjangnya dan memberikan ketenangan untuk gadis manis itu.

Setelah sedikit tenang, kubawa Rara duduk dikursi yang biasa ku duduki. Sedangkan aku memilih untuk berjongkok didepan Rara.

"Ada apa Rara, cerita sama Bunda?" tanyaku lembut.

"Rara takut Bunda, Mama sama Papa berantem lagi, padahal Mama lagi sakit. Tadi pagi Papa sampai ngamuk dan gak balik sampai sekarang, Rara takut," adunya dengan isakan yang masih terdengar dari bibir kecilnya.

Hanum dan Mas Gibran bertengkar? Lagi? Ada apa sebenarnya? Selama ini aku melihat mereka akur-akur saja, bahkan terlalu akur malah. Aku tidak tau kenapa mereka bisa bertengkar, apa semua ini karna aku?

"Rara jangan takut ya, mungkin Mama sama Papa lagi ada masalah aja, nanti pasti baikan lagi. Rara jangan nangis lagi, kan ada Bunda," bujukku dengan lembut. Walau aku begitu penasaran dengan apa yang terjadi, tapi tidak mungkin aku bertanya pada Rara. Apalagi pergi keruang rawat Hanum.

Aku sadar diri, pasti ini terjadi karna pernikahanku dan Mas Gibran. Untuk itu aku tidak ingin lagi terlalu jauh masuk dalam kehidupan mereka.

"Rara kenapa bisa tau ruangan Bunda?" tanyaku. Gadis manis yang mulai tenang itu mengangkat wajahnya dan menatapku dengan matanya yang lembab.

"Tadi Rara tanya sama perawat yang jaga Mama, trus Rara dianterin kesini," jawabnya.

"Wah, hebat ternyata putrinya Bunda, udah pinter ya," pujiku agar menghilangkan sedikit rasa sedih dihatinya. Mata Rara yang semula redup mulai tampak bersinar mendengar pujianku.

"Iya Bunda?" tanyanya dengan nada sedikit bahagia.

"Iya dong, hmmm... Karna Putri Bunda ini pintar, Bunda bakalan beliin es krim deh, ayo!!" ajakku. Rara tampak bersemangat, ia segera meloncat dari tempat duduknya dan mengandeng tanganku menuju kantin rumah sakit.

🎬

Sudah tiga hari sejak aku tau Hanum dirawat dirumah sakit ini, rasanya tidak baik kalau aku tidak datang untuk melihatnya. Setelah jadwalku hari ini, kusempatkan datang untuk melihat keadaan Hanum.

Sejenak aku terdiam didepan pintu, ragu untuk mengetuknya. Setelah beberapa menit termangu didepan pintu, akhirnya kuketuk pintu coklat yang tertutup rapat.

"Bunda," teriakan Rara yang kudengar pertama kali menginjakkan kaki dikamar berbau obat ini.

Hanum yang sedang berbaring diatas ranjang tersenyum hangat menyambut kedatanganku. Disudut kamar aku melihat Mas Gibran yang tengah sibuk dengan laptopnya. Sepertinya mereka sudah berbaikan.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam Nai, masuklah!" dengan pasti kulangkahkan kakiku mendekati ranjang Hanum. Mas Gibran yang baru menyadari kedatanganku tetap diam menatapku dari sudut ruangan.

"Maaf ya, Nai baru bisa datang sekarang," ucapku dan memberikan sekantong buah yang sempat kubelikan tadi.

"Tidak apa Nai, makasih udah sempatin datang."

Mas Gibran datang dan mengambil alih buah yang ada ditangan Hanum dan menyimpannya diatas nakas. Tampaknya mereka benar-benar sudah baikan, sedangkan aku dan Mas Gibran sampai saat ini masih belum baikan setelah kejadian malam itu.

Tak banyak yang kami bicarakan, bahkan pembicaraan kami hanya terfokus pada Rara. Ketika jam menunjukkan pukul setengah enam barulah aku pamit untuk pulang, namun baru beberapa langkah Hanum sudah menghentikanku.

"Sudah hampir malam Nai, Mas Gibran anterin Nai ya!"

Mas Gibran hanya diam namun menuruti perkataan Hanum, ia mengambil kunci mobilnya dan berjalan mendahuluiku. Setelah pamit pada Hanum dan Rara akhirnya kuikuti langkah Mas Gibran.
"Mas!" panggilku. Mas Gibran yang tengah menyetir hanya berdehem menjawab panggilanku.

"Maaf soal malam itu, Nai gak bermaksud untuk melakukannya, tolong maafkan Nai," ucapku tulus. Mas Gibran menatapku sejenak dan kembali fokus dengan jalanan didepan.

"Hmm, saya juga minta maaf," jawabnya dengan nada kecil, jika saja aku tidak fokus mungkin aku tidak akan mendengarnya.

Sedikit hatiku menghangat menyadari Mas Gibran sudah mulai berubah. Tapi aku takut hatiku juga ikut berubah. Aku takut jika nanti perasaan yang enam tahun berusaha aku hilangkan kembali seutuhnya.

Kutatap wajah Mas Gibran dari samping, bahkan dari samping saja wajah Mas Gibran sudah memancarkan pesonanya. Aku ingat, semasa SMA dulu Mas Gibran termasuk dalam jajaran lelaki idaman para siswi.

Namun sayang, gadis yang pertama kali dekat dengan Mas Gibran itu Hanum, sekaligus gadis pertama yang mendapat cintanya Mas Gibran.

"Ada apa?" aku terkejut mendengar suara bariton Mas Gibran, aku tersadar dan segera mengalihkan tatapanku dari Mas Gibran.

"Gak, gak papa," jawabku gelagapan. Kudengar kekehan Mas Gibran dari arah samping. Aku malu, pasti saat ini pipiku memerah.

"Kita sholat dulu ya!" aku kembali tersadar dari lamunanku dan segera menganggukkan kepala. Tak lama, mobil yang dikendarai Mas Gibran sudah terparkir dihalaman sebuah mesjid.

🎬

"

Nai!" panggil Mas Gibran menghentikan langkahku yang hendak menuju dapur. Kubalikkan tubuhku dan menatap Mas Gibran dengan tatapan bertanya.

"Maaf!" lirihnya. "Aku sudah memikirkannya, aku salah, tidak seharusnya aku bersikap seperti ini, aku memutuskan untuk memperbaiki hubungan kita. Tapi maaf, mungkin bukan untuk hubungan suami istri, mungkin hubungan persahabatan seperti dulu."

Aku tersenyum, sungguh aku senang. Walau bukan seperti yang seharusnya, tapi persahabatan pun cukup untukku.

"Makasih kalau Mas berfikir seperti itu, Nai juga akan berusaha memperbaiki hubungan ini, menjadi sahabat seperti dulu."

Setelah itu aku pamit untuk mengambilkan minum untuk Mas Gibran didapur. Hatiku menghangat, senyumku bahkan masih Setia dibibirku. Bahkan tanganku rasanya gemeteran saat membawa minuman yang kubuat untuk Mas Gibran.

Kuletakkan segelas minuman yang kubuat diatas meja tepat dihadapan Mas Gibran. Entah kenapa aku takut kalau minuman yang kubuat tidak enak, padahal biasanya juga tidak seperti ini. Ada apa dengan ku?

"Nai, sepertinya Mas balik dulu, kasihan Rara sendirian jagain Hanum." bahkan hatiku ikut menghangat ketika mendengar Mas Gibran menyebut dirinya dengan sebutan 'Mas'.

Sebelum pergi, Mas Gibran menyodorkan tangan kanannya. Begitu sadar maksud Mas Gibran segera kucium punggung tangannya. Sedangkan tangan sebelah kirinya terulur mengusap kepalaku yang masih tertutup khimar.

Setelah mobil Mas Gibran menghilang dari pandanganku, aku tak bisa menahan teriakanku. Aku bahagia, tidak tau apa yang membuatku bisa sebahagia ini. Dengan hubungan seperti ini saja aku sudah bisa bahagia seperti ini, apalagi nanti jika kami benar-benar bisa berhubungan seperti seharusnya. Apa hatiku akan benar-benar terbang nantinya?

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang