🍁37

4K 208 13
                                    

"Hai Nai, ngapain disini?" suara itu begitu mengagetkan ku. Kubalikkan tubuhku dan mendapati Robby berdiri tak jauh dariku. Lama rasanya tak melihat pria itu.

"Hai Rob, apa kabar?" tanyaku dengan senyuman yang mengembang dari bibirku.

"Alhamdulillah baik, kamu gimana?" tanya Robby balik.

"Alhamdulillah baik juga, gimana hubunganmu dengan calon istrimu itu?" tanyaku. Kulihat Robby agak tersipu dengan pertanyaanku.

"Namanya Salsabilla, kamu bisa panggil dia Billa, alhamdulillah kami sudah melakukan pertunangan sebulan yang lalu, aku hendak mengundangmu tapi kata Zahra kamu lagi sibuk diluar kota, jadi maaf tidak mengundangmu waktu itu."

Sepertinya Zahra tidak memberitahukan tentang 'kabur' ku saat itu. Biarlah Robby tidak mengetahuinya, lagian tak baik mengumbar masalah rumah tangga pada orang lain.

"Tidak apa Rob, lalu kapan pernikahannya?" lagi-lagi Robby tersipu mendengarnya, aku bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu telah memiliki rasa dengan wanita bernama Billa itu.

"Insyaallah bulan depan, kamu doakan yang terbaik ya Nai," jawab Robby.

"Pasti ku doakan Rob, semoga kamu bahagia dengannya ya." dan bisa melupakanku agar wanita itu tidak tersakiti, sambungku dalam hati.

Robby tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih.

🎬

Umi tersenyum hangat menyambut kedatanganku, beliau segera memelukku erat dan mencium kedua pipiku sayang. Aku balas memeluk Umi sayang dan mencium punggung tangannya.

"Umi, ini Nai bawakan martabak manis untuk Umi." kusodorkan kantong plastik berisi sekotak martabak manis kesukaan Umi.

Umi tampak tertegun sejenak, aku bisa melihat sebuah senyuman sendu mampir dibibir Umi. Sebenarnya aku kasihan melihat Umi seperti ini, sedikit rasanya menyesal mampir dihatiku karna telah mengingatkan Umi pada kenangan Abi.

"Umi," panggilku ketika Umi masih membeku ditempatnya. Umi tempak terkejut dan menampilkan senyum terpaksanya.

"Makasih ya sayang, ayo masuk diluar dingin bentar lagi hujan," ucap Umi menarik tanganku.

Kami bedua duduk disebuah sofa didepan televisi. Mbak Yati yang menjadi asisten rumah tangga dirumah Umi datang menghampiri kami dan mengambil alih kantung plastik yang ada ditangan Umi.

"Gimana Umi, Mbak Hatinya?" tanyaku mengalihkan perhatian Umi yang tampak melamun sejak kejadian martabak tadi.

"Alhamdulillah baik anaknya."

Mbak Yati adalah seorang wanita berumur 30 tahun. Ia seorang janda yang tak memiliki anak. Suaminya tewas dalam sebuah kecelakan bus dikampungnya. Sungguh malang nasib Mbak Yati.

Tak berapa lama Mbak Yati kembali dengan membawa sepiring martabak dan dua gelas minuman untuk kami. Martabak itu lebih banyak dihabiskan olehku dan Mbak Yati, sedangkan Umi hanya memakan satu potong saja, aku benar-benar menyesal telah membeli martabak itu.

🎬

Malam itu cuaca begitu tidak bersahabat, diluar sana hujan turun dengan derasnya dan angin yang berhembus dengan kencang. Sesekali kilatan petir dan suara bergemuruh terdengar dipenjuru langit.

Jendela kaca yang ada disudut kamarku memperlihatkan apa yang terjadi diluar sana, sedangkan disini aku tengah duduk diatas sajadahku dan menengadahkan kedua telapak tanganku.

"Ya Allah, dirahmat yang Engkau turunkan ini, hamba ingin meminta kepada-Mu. Ya Rabb, jadikanlah hujan yang engkau turunkan malam ini Rahmat bagi kami, dan janganlah engkau datangkan musibah padaku ataupun pada orang lain diluar sana, biarkan kami selalu bersyukur dengan Rahmat yang Engkau turunkan."

"Ya Allah, setelah hampir sebulan kepergian Abi, hamba masih belum bisa melupakan segalanya, hamba masih merindukan Abi ada disamping hamba Ya Allah. Ya Allah, terimalah segala amal ibadah Abi, agar beliau tenang dialam sana. Tabahkan hati hamba juga hati Ibu hamba Ya Allah."

"Ya Allah, Ya Rahman, terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau curahkan pada hamba, terima kasih juga atas ujian yang Engkau berikan sehingga hamba lebih bisa bersyukur dan lebih dekat dengan Engkau Ya Rabb."

"Ya Allah, jika Engkau memang mentakdirkan hamba dengan Mas Gibran, tolong berikan rasa ikhlas pada hati hamba dan juga pada Hanum Ya Allah, semoga kami ikhlas berbagi kasih sayang suami kami Ya Allah."

"Ya Allah, biarkan hati ini bergetar karena-Mu. Jika semua ini hanya nafsu hamba, maka peringatkanlah hamba Ya Allah."

Tepat ketika aku mengusap wajahku, sebuah petir besar membelah hitamnya langit malam dan diiringi dengan padamnya listrik disekitar. Suasana gelap bertambah gelap, penerangan hanya berasal dari sambaran petir yang masih terlihat membelah langit malam.

Kuraba nakas yang berada tepat disampingku untuk mencari ponselku. Dengan berbekal lampu temaram yang berasal dari ponsel, kulangkahkan kakiku menuju luar untuk melihat keadaan Umi. Baru saja aku ingin melangkah menuju tangga, aku melihat kehadiran Umi disebuah sofa yang terletak tak jauh dari kamarku.

Sofa itu berhadapan langsung dengan kaca lebar yang memperlihatkan suasana diluar sana. Sofa single yang biasa kami gunakan untuk berkumpul ketika aku dan Abi libur bekerja.

"Umi," panggilku. Umi yang semula memunggungiku berbalik dan tersenyum kearahku. Kulangkahkan kakiku dan duduk tepat disebelah Umi. Kupeluk tubuh Umi erat, dan menghirup aroma Melati yang menguar dari tubuh Umi. Aroma yang begitu menenangkan.

"Anak Umi ini manja sekali," ucap Umi mengelus rambutku yang terurai, sesekali dapat aku rasakan Umi mengecup puncak kepalaku.

Aku nyaris saja tertidur ketika Umi mengeluarkan kalimat sendunya.

"Saat-saat seperti inilah Umi begitu merindukan Abi." mendegar itu sontak kepalaku yang semua menyandari dibahu Umi terangkat menatap mata Umi. Walau pencahayaan disekitar temaram, namun aku bisa melihat mata Umi yang berkaca-kaca.

Lagi kupeluh tubuh Umi erat. Aku memang tak lagi pernah melihat Umi menangis sejak kepergian Abi. Namun aku tau Umi begitu sedih kehilangan Abi.

Ingatan tentang Abi kembali berputar dikepalaku. Dulu ketika Abi masih ada, disaat-saat ini lah Abi selalu meminta kami berkumpul ditempat ini. Menceritakan segala keluh kesah, masa kecil Abi maupun Umi, masa perjuangan Abi mengejar cita-citanya menjadi seorang polisi.

Abi bukanlah keturunan dari orang yang berada, berbeda dengan Umi yang terlahir dari keturunan yang memang berada. Namun aku salut dengan kedua orang tuaku.

"Nai," panggil Umi. Kudongkakkan kepalaku, dan aku tak lagi melihat ada sirat kesedihan dimata Umi, sungguh Umi wanita yang luar biasa. Beliau dengan mudah menutupi kesedihannya didepan orang lain. Aku sangat ingin menjadi seperti Umi, menjadi wanita tegar.

"Ya Umi," jawabku.

"Boleh Umi meminta sesuatu?" tanya Umi lembut. Kuanggukan kepalaku sebagai jawabannya.

"Umi ingin kamu mempertahankan rumah tanggamu dengan Gibran, Umi sudah melihat kesungguhan itu dimatanya, pertengkaran pasti ada sayang dan pasti ada yang akan tersakiti, namun kita harus bisa menanganinya, ingat perceraian itu dibenci Allah dan syetan sangat ingin kita melakukan itu," nasihat Umi panjang.

Aku terdiam mencerna setiap kata yang diucapkan Umi. Sungguh dihati paling kecilku, memang sudah tersirat tekad untuk mempertahankan rumah tanggaku dengan Mas Gibran, dan semoga Allah meridhoinya.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang