Motorku terparkir bertepatan dengan sebuah mobil hitam yang terparkir tepat disampingku. Aku yakin mobil itu adalah mobil Mas Gibran. Dan benar saja, laki-laki itu yang keluar dari mobil itu. Bersamaan dengan seorang wanita dan gadis kecil yang tampak tertidur digendongan Ibunya.
"Nai," sapa Hanum dengan senyum sumringahnya. Mas Gibran mengambil alih Rara dan membawanya kedalam tanpa melirikku sedikit pun. Apa ia tidak akan menanyakan keadaanku?Hatiku sedikit tersentil, Hanum mengandeng tanganku untuk mengikuti Mas Gibran masuk kerumah Ibu. Didalam sudah ada Mbak Fatimah dan suaminya, dan juga Ibu.
Ketika melihat kedatanganku, Mbak Fatimah segera berdiri dan memelukku erat.
"Mbak kangen banget sama kamu, kamu gak papa kan?" bisik Mbak Fatimah ditelingaku. Aku dapat menangkap maksud dari bisikan Mbak Fatimah, ia tidak menanyakan keadaanku melainkan hatiku.
"Nai gak papa kok Mbak," jawabku. Dapat kudengar Mbak Fatimah menghembuskan nafas lega. Aku segera beranjak menemui Ibu dan menyalami tangan Ibu mertuaku itu.
"Ibu dengar kamu sakit, sudah tidak apa-apa?" tanya Ibu khawatir, bahkan beliau sempat menempelkan punggung tangannya untuk mengecek suhu tubuhku.
"Alhamdulillah Sudah lebih mendingan Bu, ya cuma masih sedikit pusing aja sih," jawabku. Ibu tampak tersenyum lega mendengarnya.
"Rara gimana Bran?" Mas Gibran yang tengah asik berbincang dengan Mas Farhan, suaminya Mbak Fatimah terlihat terkejut dengan pertanyaan Ibu.
"Masih sakit gitu sih Bu, tapi udah lebih mendingan dari kemarin," jawab Mas Gibran. Disudut ruangan Hanum tengah menemani Rara yang tengah tertidur pulas.
Azan maghrib membuat kami tersadar dan segera bergerak untuk melaksanakan sholat maghrib. Shalat kali ini diimami oleh Mas Gibran sendiri.
Ya Allah, ini pertama kalinya sejak menikah dengan Mas Gibran, sholatku diimami oleh suamiku sendiri. Dengan susah payah kutahan air mata untuk tidak mengalir, sungguh aku merasakan senang sekaligus sakit diwaktu yang bersamaan.
Disaat semua wanita dapat diimami suaminya ketika baru saja menikah, sedangkan aku harus menunggu hampir satu bulan dulu baru merasakan diimami olehnya. Itu pun sholat dengan keluarganya.
Rasanya sholatku kali ini tidak khusuk, sejak tadi aku berusaha menahan air mata dan isakan yang bisa lolos kapan saja dari bibirku. Suara baritonnya yang bergetar makin mengundang air mataku untuk keluar.
Ketika salam, setetes air mata akhirnya mengalir dari mataku. Dengan segera kuusap wajahku untuk menghilangkan jejak air mata. Untung aku bisa mengendalikannya agar tidak berlarut.
🎬
Seusai shalat maghrib berjamaah, kami melanjutkan dengan makan malam. Beberapa hidangan sudah terhidang di atas meja makan bundar berukuran sedang itu.
Aku terpaksa duduk diantara Ibu dan Mas Gibran, karna hanya kursi itu yang tersisa. Sedangkan disamping Mas Gibran ada Hanum yang baru kusadari terdiam sejak tadi.
Kulihat tatapan Mbak Fatimah yang mengodeku untuk mengambilkan makanan untuk Mas Gibran. Kuraih piring yang ada didepan Mas Gibran dan mengambilkan nasi untuk Mas Gibran.
"Kebanyakan," protes Mas Gibran, ku kembalikan sedikit nasi. Tanganku mulai bergetar, aku tak pernah tau apa kesukaan Mas Gibran. Walau sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya, tapi kami aku tidak pernah tau apa makanan kesukaannya.
Kuraih sepotong ikan bakar dan menaruhnya diatas piring yang sudah terisi nasi. Namun sebuah tangan kekar merampasnya dengan kasar.
"Sudahlah," marah Mas Gibran dan memindah alihkan piring itu kehadapan Hanum. Sekarang bukan hanya tanganku yang bergetar namun juga kakiku.
Aku dapat menyadari tiga orang lainnya yang ada diruangan itu menatapku dengan tatapan heran. Aku tidak sanggup untuk menggerakkan tubuhku sedikit saja, bahkan untuk mendudukkan kembali tubuhku.
Lagi-lagi aku mendapat kode dari Mbak Fatimah untuk mengambilkan air minum. Baru saja tanganku hendak meraih gelas berukuran sedang itu, lagi-lagi tangan kekar itu sudah menariknya dan menyodorkannya kehadapan Hanum.
"Sudah! Mbak gak bisa diam aja. Gibran, apa yang kamu lakukan? Nai juga istrimu, biarkan ia melakukan tugasnya juga," teriak Mbak Fatimah, bahkan ia sempat-sempatnya mengebrak meja saking geramnya."Tapi dia tidak tau apa-apa," balas Mas Gibran santai, tidak ada rasa bersalah pada dirinya. Sedangkan aku hanya dapat mematung disini.
"Fatimah!" tegur Ibu. Kulihat beliau menatapku dengan pandangan bertanya. Sungguh, saat ini aku ingin menangis dan berteriak. Hatiku sakit, aku malu. Seorang istri tidak bisa melayani suaminya, istri apa aku ini.
Astagfirullah.
"Duduklah Nai!" perintah Ibu. Berusaha kududukkan tubuhku dan mulai larut dalam makanku. Aku hanya memakan makananku sebanyak tiga suap, aku sama sekali tak memiliki nafsu lagi untuk makan.
Mbak Fatimah pun sudah terdiam ditempatnya. Sesekali ia melirikku dan menanyakan keadaanku lewat sorot matanya.
🎬
Selesai makan, semua berkumpul diruang keluarga. Aku dan Hanum sama-sama terdiam. Aku terdiam karna hal tadi sedangkan Hanum aku tidak tahu.
"Naima? Gibran? Hanum? Ada apa ini?" tanya Ibu. Aku tergagap, aku tidak tau akan menjawab apa. Kulirik sedikit kearah mereka yang duduk dihadapanku, Hanum juga tertunduk sama sepertiku sedangkan Mas Gibran terlihat santai.
"Gibran?" tegur Mbak Fatimah. Lagi-lagi Ibu memperingati Mbak Fatimah agar tetap diam.
"Bu, maaf tadi salah Nai, kepala Nai sedikit pusing jadi kurang fokus." aku berusaha menjawab sebisaku. Karna kulihat Mas Gibran tak berniat untuk menjawabnya.
"Aduh, Ibu minta maaf ya Nai, pasti kamu masih sakit ya?" tanya Ibu khawatir.
"Eh gak kok Bu, tadi cuma sedikit pusing aja, sekarang udah gak papa," jawabku. Ibu tersenyum mendapat jawabanku.
"Bu, Nai izin pulang ya."
"Loh kamu tidak ikut menginap? Kan Gibran dan Hanum menginap disini," ucap Ibu. Aku sedikit terkejut, aku tidak tau bahwa mereka akan menginap. Sedangkan aku tidak membawa perserapan apa-apa.
"Gak usah Bu, lagian besok Umi mau kerumah, kasihan Umi," jawabku. Memang benar kalau besok Umi berniat untuk datang kerumah.
"Ya sudah Gak papa," mendengar itu aku menyalimi Ibu dan hendak berlalu ketika suara Ibu kembali terdengar.
"Loh, Gibran tidak mengantarkan Nai?" tanya Ibu lagi.
"Nai bawa motor Bu," jawabku.
"Kamu bawa motor kesini? Astagfirullah Gibran, dari apa hatimu itu terbuat, istrimu lagi sakit kamu biarkan mengendarakan motor sendirian malam hari! Kamu! Tidakkah kamu mengingatkan suamimu," bentak Mbak Fatimah, ia benar-benar marah bahkan wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya terulur dan menunjuk tepat diwajah Hanum.
"Apa-apaan kamu Mbak, kenapa kamu malah membentak istriku," bentak balik Mas Gibran. Dapat kulihat beberapa urat muncul didahinya menandakan kalau ia benar benar marah.
"Sudah cukup kalian menghancurkan pernikahanku dengan Hanum, jangan buat aku menyakiti Hanum lagi."
"Gib.. " kali ini aku yang mengehentikan Mbak Fatimah dengan tanganku yang terangkat keatas. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku berlalu meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur sehancur-hancurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Novela JuvenilRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...