Naima?"
Kuputar sedikit tubuhku, dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati Hanum, Rara, dan Mas Gibran tengah berdiri dihadapanku.
"Hai," sapaku kikuk.
"Kalian saling mengenal?" tanya Robby. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Robby.
"Kita sahabat," jawab Mas Gibran menyentil hatiku, apa seburuk itu aku hingga ia tidak ingin memberi tahu dunia bahwa aku juga istrinya. Tapi berusaha aku meyakinkan kalau ini lebih baik disimpan dari pada diumbar.
Namun Zahra sepertinya menyadari perubahanku, dia menyenggol sedikit bahuku dan menatapku dengan tatapan bertanya.
"Rob, kita duluan ya," ucapku izin untuk undur diri. Tanpa mendengar balasan Robby, kutarik tangan Zahra untuk menjauh dari kumpulan manusia itu.
"Kamu kenapa Nai?" tanya Zahra sambil menarik tanganku agar berhenti berjalan. Saat ini kami sudah berada disudut cafe yang tak banyak dilalui tamu undangan.
"Aku tidak apa-apa Ra," jawabku meyakinkan, tapi Zahra tak akan mudah berhenti sebelum mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
"Oke, kita dulu sahabat, tapi ada masalah yang buat kita jauh kayak sekarang," jelasku.
"Kamu suka sama laki-laki itu?" tanya Zahra. Apa yang Zahra katakan memang sedikit benar, memang benar bukan aku pernah mencintai mas Gibran. Kutatap mata Zahra untuk menjawabnya, dan sepertinya Zahra tau maksudku terbukti dari ia yang menarik tanganku untuk menuju stand makanan.
🎬
Malam sudah semakin larut, aku dan Zahra memutuskan untuk pulang terlebih dahulu sebelum acara selesai. Aku dan Zahra tengah berjalan menghampiri Robby untuk pamit pulang, namun langkah kakiku makin melambat ketika kutemui Robby masih bercengkrama dengan Mas Gibran dan Hanum.
"Rob?" panggilku. Robby melirik kearahku dan mengembangkan senyumnya ketika mendapatiku tengah berdiri disampingnya. "Rob, kita pamit duluan ya, kasian anaknya Zahra udah nelfonin dari tadi," ucapku tak sepenuhnya berbohong, memang benar dari tadi suami Zahra sudah menelfonnya memberi tahukan anaknya tengah rewel saat ini.
"Loh, biarin aja ni anak pulang duluan nanti aku yang antar kamu pulang, sekalian ketemu calon mertua," ucap Robby tak lepas dari candaannya seperti biasa.
"Gak usah Rob, lagian kasihan Zahra sendirian pulangnya," balasku.
"Kamu kasihan sama anak ini? Gak usah kali nai." kurasa Robby makin gincar menggoda Zahra yang sudah memajukan bibirnya.
Aku merasakan beberapa pasang mata tengah menatapku, dan ternyata benar. Hanum tengah menatapku dengan tatapan biasanya dan Mas Gibran yang tengah menatapku dengan tatapan tajamnya.
"Eh Rob, kita pamit ya." sungguh aku merasa tak nyaman ditatap seperti itu. Sebelum Robby menjawab aku sudah terlebih dahulu berlalu dan meninggalkan Zahra yang tengah mengomel karna kelakuanku.🎬
"Nai, kamu kenapa sih?"
"Gak papa, kamu tuh yang kenapa dari tadi nanya mulu," jawabku sewot. Pikiranku masih melayang membayangkan tatapan tajam Mas Gibran tadi. Apa dia marah? Tapi marah kenapa? Gak mungkin bukan kalau Mas Gibran marah karna candaan Robby tentang 'calon mertua' tadi. Berarti Mas Gibran marah karna aku ada diacara itu, tapi apa hubungannya dengan Mas Gibran, Robby kan temanku dan aku diundang untuk acara itu.
"Nai?" suara Zahra menyadarkanku, kutolehkan sedikit kepalaku kearahnya. "Duh dari tadi ngelamun toh?"
"Gak kok, emang ada apa?"
"Kamu gak mau ngenalin aku gitu sama 'suamimu' itu?" tanya Zahra dengan menekankan pada kata 'suamimu'
"Nanti deh Ra, kalau aku ada waktu," jawabku. Zahra hanya dapat mendengus mendapat jawabanku. Dapat aku dengar kalau Zahra mendumel karna jawaban yang kuberikan.
Tak terasa mobil mungil Zahra sudah terparkir rapi dihalaman depan rumahku. Setelah pamit, mobil Zahra mulai menghilang dibalik pagar rumah. Tapi tak berapa lama sebuah mobil hitam mengkilat masuk dan terparkir tepat didepan aku berdiri.
Seseorang turun dari balik kemudi, dan orang itu adalah orang yang selama seminggu ini tak pernah aku lihat. Dia adalah Mas Gibran, tapi tak kulihat kehadiran Hanum dan putrinya Rara ikut bersamanya dengan mobil tersebut.
Tanpa kata, Mas Gibran berlalu dan masuk kedalam rumah. Sedangkan aku hanya dapat mengikuti langkah lebarnya dari belakang. Mas Gibran menghentikan langkahnya ditengah ruang keluarga, rumah saat ini tampak sepi mungkin Mak Jah sudah tertidur dikamarnya.
"Bagus, keluar tanpa seizinku, kau pikir aku ini siapa," ucap suara bariton itu dingin. Mendengar itu aku ingin sekali berteriak 'Oh, Mas masih anggap saya sebagai istri Mas' tapi bibirku tak mampu untuk menyuarakannya.
"Maaf, Mas tidak pernah datang dan Nai gak punya nomor telfon Mas," jawabku akhirnya.
"Sini ponselmu!" kuserahkan benda persegi panjang pipih bewarna hitam itu kearahnya, dan dengan gerakan cepat ia sudah mengembalikan ponsel itu. Kutatap layar ponsel yang menunjukkan sederetan angka, tanpa menunggu perintah dari Mas Gibran kusimpan nomor itu kekontak telfon.
Kulihat Mas Gibran berlalu menuju lantai atas, tampaknya ia akan menginap disini malam ini. Kulangkahkan kakiku mengikutinya, tapi langkahku berhenti didepan pintu kamarku sedangkan ia berlanjut kekamarnya yang ada di ujung ruangan.
Di sepertiga malam, seperti biasa aku akan selalu terbangun untuk melakukan sholat tahajjud. Kuusap wajahku untuk mengembalikan kesadaranku yang belum sempurna.
Kuguyur air untuk membasuh wajahku, subhanallah sungguh segar rasanya. Walau airnya terasa dingin tapi tak memundurkan niatku untuk melaksanakan sholat malam.
Sholat tahajjud kali ini kututup dengan sholat tobat dan sholat witir. Seperti biasa, selepas melaksanakan sholat ku lanjutkan tadarus hingga beberapa halaman. Dan sambil menunggu sholat subuh, kembali kuputar tasbihku untuk beristighfar.
Namun samar-samar telingaku menangkap seseorang yang tengah bertadarus, suara baritonnya mampu menggetarkan hatiku. Ya Allah, apakah hatiku bergetar karna indahnya ayatmu atau indahnya suara yang melantunkannya.
🎬
Pagi-pagi sekali aku dan Mak Jah sudah sibuk didapur untuk membuat sarapan, terlebih malam tadi Mas Gibran menginap disini.
"Tumben Bapak menginap, dari kepindahanmu kesini Mak tidak pernah melihat Bapak berkunjung," cerita Mak Jah, ya aku yang meminta Mak Jah untuk tidak memanggilku Non, cukup dengan namaku.
Aku hanya mampu memperlihatkan senyumku didepan wanita paruh baya yang sudah kuanggap ibuku sendiri.
Derap langkah kaki menyadarkan kami, kulihat Mas Gibran sudah rapi lengkap dengan jas hitamnya. Sungguh, hatiku bergetar melihatnya. Sepertinya rasa yang berusaha kupendam perlahan lahan mulai bangkit lagi.
"Tidak bekerja?"
"Hari ini Nai shift malam," jawabku. Setelah itu tak lagi kudengar suara Mas Gibran. Hanya beberapa menit Mas Gibran sudah menyelesaikan sarapannya. Tampaknya Mas Gibran hanya memakan masakanku sedikit. Apa masakanku tak sedap? Atau ia hanya tidak ingin menyakiti hati Hanum karna memakan masakanku?
Astaghfirullah Nai, apa yang kau fikirkan. Bagaimana kau bisa berfikiran sebegitu buruknya, mungkin ia ada meeting jadi ia terburu-buru.
Kubersihkan semua makanan yang bersisa diatas meja. Dan semua makanan kuletakkan ditempat penyimpanan makanan. Mood makanku hilang seketika setelah melihat reaksi yang diberikan Mas Gibran.
🍃
Next??
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Fiksi RemajaRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...