Seminggu waktu berlalu tanpa kehadiran Abi disini. Tanpa ada tawa dan canda Abi. Tanpa ada usapan tangan Abi dikepalaku.
Semua masih terasa mimpi bagiku, kehilangan Abi tak pernah sekalipun terlintas dibenakku.
Selama seminggu ini aku hanya berdiam dirumah, aku hanya sibuk menemani Umi mengerjakan kegiatan sehari-hari. Tak ada lagi air mata yang mengalir dari mataku, Mas Gibran benar tak ada yang perlu ditangisi lagi.
Kepergian Abi telah menjadi ketentuan Allah. Mau aku menangis darah pun disini, Abi tak akan pernah kembali. Saat ini bukan hanya aku yang merasa kehilangan, tapi Umi pun merasakan hal yang sama.
Kini aku harus bangkit demi Umi, Umi akan sedih melihat aku seperti ini. Kutarik nafas panjang dan menuju taman belakang menemui Umi yang tengah menyibukkan diri dengan tanamannya.
"Umi," panggilku dan memeluk tubuh Umi dari belakang. Walau terkejut tapi Umi tetap menampilkan senyumnya dan mengelus kepalaku lembut.
"Loh Umi kira anak Umi lagi menemani Gibran didepan," ucap Umi membuatku bingung. Sejak kapan Mas Gibran ada disini, tapi kenapa aku tidak melihat kehadirannya.
"Mas Gibran kenapa ada disini Umi?" tanyaku heran. Umi yang sedang menyirami tanamannya berbalik dan menatapku.
"Ya mana Umi tau, sana tanya suamimu."
Walau sedikit ragu namun aku tetap berjalan menuju teras depan dimana Mas Gibran duduk sambil menatap lurus kedepan.
"Mas," panggilku. Mas Gibran memutar kepalanya dan tersenyum mendapatiku yang berdiri tepat dibelakangnya.
"Hai, Nai," sapa Mas Gibran yang kubalas senyuman selama dua detik. Aku bergerak dan mengambil tempat duduk disamping Mas Gibran.
"Kenapa disini? Masuklah!" bukannya apa, aku hanya takut tetangga berfikir yang tidak-tidak.
"Hanya ingin menghirup angin," jawab Mas Gibran kembali fokus dengan apa yang ia tatap sebelumnya.
Aku dan Mas Gibran sama-sama diam, bergelut dengan fikiran masing-masing. Entah kenapa perkataan Mas Gibran beberapa minggu lalu kembali terngiang dikepalaku, namun perkataan Uda Farid mampu mengenyahkan semuanya.
"Nai," panggil Mas Gibran. "Maafkan Mas ya, maafkan Mas atas ucapan yang kamu dengar waktu itu." aku diam.
"Tapi itu beberapa hari lalu, saat ini Mas tidak bisa untuk kehilangan kalian berdua, Mas mohon izinkan Mas mencoba untuk memperbaiki semuanya, bukan lagi sebagai sahabat, tapi sebagai suamimu."
Lagi aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan Mas Gibran. Ternyata benar apa yang Uda Farid katakan, Allah tidak akan mentakdirkan hambanya dengan takdir yang begitu ia benci.
Aku yakin semua ini hanya godaan syetan. Bukankah syetan tidak akan pernah berhenti menggoda hambanya walaupun ia sudah berhasil sekalipun. Ia tidak akan pernah puas dengan hasil kerjanya.
Sedikit hatiku mulai luluh, memang ini lah yang seharusnya aku perjuangan. Aku tidak boleh berputus asa, jika dulu hatiku tersakiti maka sekarang aku tidak ingin lagi. Bukan lagi lari seperti dulu, tapi untuk menjalaninya.
🍁
M
ulai hari ini atas permintaan Mas Gibran dan paksaan Umi, akhirnya aku kembali menempati rumah ini. Rumah yang sudah tiga minggu ini tidak aku tempati.
Walau berat rasanya meninggalkan Umi sendirian, tapi aku tetap harus ikut dengan suamiku. Namun aku tidak akan tega meninggalkan Umi sendiri, aku memaksa Umi untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga yang akan menemani Umi dirumah.
"Hei, kenapa melamun!" tegur Mas Gibran yang tengah mengangkat koperku dari mobil menuju kamarku.
"Nai tidak melamun kok," elakku. Aku memang tidak melamun, aku hanya memikirkan Umi saat ini. Andai Abi masih ada.
Astagfirullah Nai, sudahlah, Abi sudah tenang disana. Kuikuti langkah mas Gibran yang terlihat kesusahan membawa dua koper sekaligus kelantai atas.
"Sini biar Nai bawa satu," tawarku. Namun Mas Gibran dengan segera mengelakkannya.
"Kerja mengangkut barang itu laki-laki bukan perempuan, perempuan itu tugasnya memasak didapur," ucap Mas Gibran dan melanjutkan jalannya menuju lantai atas.
Tepat di anak tangga terakhir Mas Gibran menghentikan langkahnya. Aku yang berada tepat dibelakangnya hampir saja menabrak tubuhnya.
"Aduh Mas, kalau mau berhenti kasih tau dulu dong," protesku.
"Dikira Mas mobil yang kalau ngerem ada lampunya," balas Mas Gibran.
"Emang Mas ngapain berhenti sih, pasti gak sanggup angkat koper Nai, udah Nai bilangkan Nai mau bantu, Mas yang sok-sokan," ejekku dan hendak meraih koperku yang tergeletak dilantai.
"Enak saja, Mas sanggup kok. Cuma Mas bingung, kamu tidur dimana?"
Bukannya menjawab, aku malah ikut bingung dengan pertanyaan Mas Gibran. Apa Mas Gibran udah pikun kali ya, masa kamar Nai dia tidak ingat.
"Mas lupa kamar Nai dimana, tuh disana," tunjukku pada pintu kamar disebelah timur.
"Mas juga tau kamarmu disitu."
"Loh, kalau Mas tau ngapain masih nanya."
"Mas itu bingungnya, kamu tidur dikamar kamu atau dikamar Mas."
Blush
Aku bisa merasakan kupu-kupu yang berterbangan diperutku dan rasa itu menjalar hingga kepipiku. Bukan apa, aku hanya takut salah mengartikan maksud dari Mas Gibran.
"Nai," panggil Mas Gibran melambaikan tangannya didepan wajahku. "Duh sampai memerah begitu wajahnya."
Malu, kutundukkan kepalaku untuk menutupi rona merah dikedua pipiku.
"Hmm, Nai tidur dikamar Nai saja," balasku masih dalam keadaan tertunduk. Suara tawa Mas Gibranlah yang membuatku mengangkat kepalaku dan menatapnya.
Sejenak aku terpana dengan wajah Mas Gibran, sudah lama rasanya aku tidak melihat mas Gibran bisa tertawa lepas seperti ini. Terakhir aku melihatnya saat kelulusan SMA dulu.
"Kenapa?" tanyaku setelah sadar dari keterpanaanku.
"Ehmm, begini sayang, masa istri Mas tidur dikamar lain sih." belum hilang rasa yang tadi, lagi Mas Gibran membuat pipiku bersemu merah. Saat ini aku seperti melayang diudara mendengar perkataannya.
Mas Gibran berjalan mendekat kearahku, sedangkan aku hanya bisa menahan nafasku melihatnya terus berjalan mendekat. Tepat satu langkah didepanku, Mas Gibran menghentikan langkahnya dan menatap mataku dalam.
Aku tidak sadar ketika Mas Gibran mengangkat tangannya dan mengelus pipiku yang masih bersemu merah. Aku tercekat, rasanya sulit bernafas karna kupu-kupu yang berterbangan diperutku.
"Kamu cantik dengan pipi merah seperti ini, Naima."
Aku tidak tau harus melakukan apa, yang kulakukan hanya berbalik menuju kamarku dan menutup pintunya rapat.
Kutarik nafasku panjang dan menutup wajahku dengan bantal. Aku benar-benar terbang saat ini. Aku ingin berteriak, namun aku takut Mas Gibran masih ada diluar dan mendengar teriakanku.
Tuhan apa salah aku merasakan perasaan ini tumbuh untuk suamiku sendiri? Padahal perasaanku ini mungkin saja menyakiti kaumku sendiri.
Ya Allah, semoga getar yang hamba rasakan saat ini benar dari engkau, bukan karna nafsuku Ya Allah. Bimbing aku selalu agar tak pernah aku melewati batasku sebagai umat-Mu.
"Nai, kenapa lari?" suara berat itu membuatku terkejut.
"Nai tidur Mas," teriakku dan kembali menutup wajahku dengan bantal. Kudengar Mas Gibran tertawa mendengar jawabanku. Aku tidak peduli, saat ini aku benar-benar malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Novela JuvenilRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...