🍁36

4.6K 199 6
                                    

Senyumku terkembang melihat tingkah Mas Gibran yang sedang bermanja dengan Ibunya, bukan hanya aku Hanum pun ikut tersenyum menyaksikan tingkah Mas Gibran yang kekanakan.

"Mas Gibran ini ada-ada saja," ucap Hanum yang kuangguki.

Aku terkejut dengan tepukan halus dibahuku yang tiba-tiba. Kuputar kepalaku dan menemukan Mbak Fatimah yang berada tepat dibelakangku.

"Ada apa Mbak?" tanyaku dan bangkit berdiri.

"Bisa kita bicara bentar?" tanya Mbak Fatimah yang lagi kubalas dengan anggukan. Kuikuti Mbak Fatimah yang berjalan menuju taman belakang. Tak jauh berbeda dengan rumahku, rumah Ibu pun tampak asri dengan tanaman hijau yang tumbuh hampir disetiap sudut.

Mbak Fatimah mengajakku duduk disebuah bangku taman yang ada dibawah pohon yang cukup rindang, yang mampu meneduhi bangku dibawahnya.

"Nai," panggil Mbak Fatimah setelah kami duduk bersebelahan.

"Iya Mbak," jawabku dan menatap Mbak Fatimah yang juga balas menatapku.

"Maafkan sikap adik Mbak ya, tapi Nai, Mbak mohon Nai bertahan ya dengan segala sikap Gibran, sungguh dari dulu Mbak hanya ingin Gibran denganmu bukan dengan Hanum."

"Astagfirullah Mabk, Mbak gak boleh ngomong gitu, jodoh gak ada yang tau, mungkin jodohnya Mas Gibran itu Hanum," balasku meluruskan pendapat Mbak Fatimah.

"Iya, tapi Mbak gak mau kamu mundur lagi, maaf kalau semua ini mengembalikanmu pada luka lama itu." aku tau maksud luka lama itu, tentu saja luka dimana aku ditolak oleh suamiku saat ini.

"Mbak itu semua masa lalu, masa lalu itu memang tidak boleh dilupakan tapi jangan terlalu fokus juga dengan masa lalu, masih panjang jalan didepan sana," balasku. Tanpa ada aba-aba, Mbak Fatimah memeluk tubuhku erat, ia mengelus kepalaku dengan lembut. Aku merasakan kehadiran seorang kakak dalam hidupku, selama ini aku hanya memiliki Umi dan Abi.

"Mbak sayang sama Nai kayak sama adik sendiri, Mbak gak mau lihat adik Mbak sakit, walau yang membuat kamu sakit adalah adik kandung Mbak sendiri, kalau terjadi sesuatu lagi, ceritalah pada Mbak Nai, mbak khawatir mendengar kepergianmu," ucap Mbak Fatimah masih memeluk tubuhku erat.

🎬

Malam ini aku kembali sendirian dirumah yang cukup luas ini. Malam ini Mas Gibran memutuskan untuk menginap dirumah Naima setelah beberapa hari menginap disini.

Jika dulu aku selalu ditemani Mak Jah, maka sekarang aku hanya sendirian. Berdiam diri diruang keluarga sambil menyaksikan beberapa berita dilayar televisi. Benar-benar membosankan, apalagi saat ini jadwalku mendapatkan tamu bulananku, jadi aku tidak bisa menghilangkan kebosanan ku dengan membaca al-qur'an.

Kuraih ponsel yang tergeletak diatas meja yang ada didepanku. Satu persatu kulihat kontak yang ada di layar persegi panjang itu, hingga tanganku berhenti di nama 'Umi' yang tertera. Sebuah senyum terbit dibibirku, lama rasanya aki tidak bertemu Umi.

Setelah menekan tombol panggil, kudekatkan ponsel itu ketelingaku. Tak butuh waktu lama untuk Umi mengangkat teleponku.

"Assalamualaikum Umi sayang," ucapku dengan nada manja.

"Wa'alaikumussalam anak kesayangan Umi, ada apa telfon Umi malam-malam begini?"

"Ah Umi, baru juga setengah delapan, anak Umi ini lagi. kangen berat dengan Umi," jawabku masih dengan nada yang terdengar manja.

"Duh kasihannya anak Umi, Nai gak lagi sama Gibran?"

"Gak Umi, Mas Gibran lagi dirumah Hanum, ini Nai nelfon Umi juga karna bosan sendirian dirumah," jawabku seadanya karna memang itu adanya.

"Kamu sendirian dirumah? Ya ampun Nai, kenapa tidak kasih tau Umi kalau gak kan Umi bisa kesana nemenin kamu."

Aku bisa mendengar nada khawatir dari bicara Umi, sebuah senyum terbit dibibirku. Umi selalu seperti ini, selalu khawatir padaku, namun aku tak pernah risih dengan itu karna aku tau itu semua Umi lakukan karna Umi begitu menyayangiku.

"Gak papa Umi, Nai gak takut kok sendirian," balasku menenangkan Umi.

"Gak papa apanya, sudahlah Nai Umi akan kesana."

"Gak usah Umi, Nai gak papa," jawabku meyakinkan Umi. Tidak mungkin aku membiarkan Umi kesini disaat malam seperti ini, walau Umi pergi dengan sopir pribadinya tapi tetap saja aku tidak ingin merepotkan Umi.

"Tidak Umi akan tetap kesana, atau kamu yang kesini, Nai gak baik kamu sendirian disana, kalau ada apa-apa gimana, kalau ada Gibran pun pasti dia setuju dengan Umi."

Aku terdiam sejenak memikirkan perkataan Umi, apa aku harus kerumah Umi. Lagian sepertinya Mas Gibran tidak akan pulang dalam waktu dekat, jadi aku mungkin bisa menjaga Umi untuk beberapa waktu.

"Ya udah, Nai kesana ya," ucapku akhirnya.

"Ya udah, Umi tunggu ya sayang, hati-hati Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah menutup telpon dari Umi, aku segera beranjak kekamar untuk bersiap-siap, mengganti piama yang semula aku kenakan dengan sebuah gamis panjang dan khimar instan yang biasa aku kenakan.

Ketika kakiku hendak melangkah ke pintu depan aku teringat akan sesuatu yang aku lupakan. Aku lupa meminta izin pada Mas Gibran kalau aku akan menginap dirumah Umi untuk beberapa hari.

Kurogoh tasku dan mengambil ponsel yang kuletakkan didalamnya. Setelah menemukan kontak Mas Gibran, aku segera menghubunginya.

"Assalamualaikum ada apa Nai?" tanya suara diseberang sana. Walau suara itu jauh diseberang namun mampu membuat jantungku berdegup dengan kencang.

"Wa'alaikumussalam Mas, Nai mau minta izin, Umi meminta Nai untuk menginap beberapa hari dirumah Umi, gak papa kan?" tanyaku. Degup jantungku masih berpacu dengan cepat, semoga saja Mas Gibran tidak bisa mendengarnya.

"Ya udah, gak papa, lagian gak baik kamu sendirian dirumah, hati-hati ya sayang, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Walau telfon itu sudah ditutup namun detak jantungku belum juga mampu berdetak dengan normal. Setelah menghembuskan nafas panjang akhirnya aku beranjak menuju parkir.

Atas perintah Mas Gibran dan juga Umi, akhirnya aku memutuskan untuk membeli sebuah mobil pengganti motor vespa metikku yang sampai saat ini masih terparkir rapi digarasi. Honda brio bewarna putih itulah yang saat ini menemaniku ke mana pun aku pergi.

Jalanan kota Jakarta masih padat, puluhan bahkan ratusan kendaraan masih berlalu lalang disepanjang jalan raya. Lampu dari gedung-gedung tinggi di pinggir jaaln menjadi penerang dimalam yang mendung itu.

Malam itu memang mendung, cahaya bulan tertutupi oleh awan hitam diatas sana. Namun tak ada satu tetes pun air hujan yang menetes membasahi bumi. Mobil yang kukendarai mulai memasuki jalanan yanh dipenuhi pedagang kaki lima disepanjang jalannya.

Dengan keadaan mendung seperti ini, banyak yang memilih mampir sejenak hanya untuk menyesap secangkir kopi ataupun makanan hangat. Sebuah gerobak martabak manis menarik perhatianku, gerobak itu tampak ramai oleh pembeli. Aku jadi teringat, dulu Abi sering sekali membelikan kami martabak manis sepulang dari dinas. Lagi-lagi aku merindukan Abi. Namun aku segera mengenyahkan semua itu dengan berdoa untuk Abi.

Kuberhentikan mobilku tak jauh dari gerobak itu. Kulangkahkan kakiku menuju antrian yang terlihat lumayan panjang itu. Namun langkahku terhenti ketika sebuah suara memanggil namaku.

"Hai Nai, ngapain?"

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang