🍁31

3.8K 212 8
                                    

Mobil hitam milik Gibran melaju mulus membelah jalanan yang cukup lengang ditengah malam itu. Setelah yakin tentang keberadaan Naima, ia langsung bergegas menuju Bandung walau dalam keadaan tengah malam sekalipun.

Hanum sudah berusaha menghentikan Gibran, ia takut terjadi apa-apa dengan Gibran. Ia berusaha meyakinkan Gibran bahwa berbahaya mengendarai seorang diri ditengah malam ini, dan Gibran bisa berangkat esok pagi. Namun Gibran tak mendengarkannya. Ia tetap berangkat malam itu juga.

Tepat ketika subuh menjelang, mobil hitam milik Gibran sudah terparkir rapi didepan pagar rumah Bunda Naima. Kumandang azan subuh membuatnya tersadar dan bergegas menuju mesjid terdekat. Ia akan kerumah Bunda selepas subuh saja.

Setelah menyelesaikan sholat subuh Gibran segera bergegas menuju rumah Bunda. Sebelum memencet bel rumah Bunda, Gibran menyempatkan berdoa semoga Naima memang berada dirumah ini.

Beberapa kali Gibran memencet bel, dikesekian kalinya lah seorang wanita keluar dari rumah dan menghampiri Gibran yang masih berdiri dibalik pagar.

"Assalamualaikum Bunda," salamnya membuat Bunda terkejut bukan main mendapati Gibran dirumahnya pagi-pagi buta begini.

"Wa'alaikumussalam Gibran, ada apa? Masuklah!" tanya Bunda dan mempersilahkan Gibran untuk masuk.

"Gak usah Bunda, Gibran cuma mau bertanya apa Naima ada disini?" tanya lelaki itu tak sabaran. Ia hanya ingin bertemu dengan Naima dan menanyakan kenapa gadis itu melarikan diri darinya tanpa ada alasan apapun.

"Loh bukannya Naima ada di Jakarta bersamamu?" tanya Bunda heran.

Gibran terdiam, jantungnya berdegup kencang. Naima tidak ada disini, lalu dimana gadis itu sebenarnya berada.

"Kenapa Gibran? Apa kalian bertengkar?" Akhirnya mengalirlah cerita itu dari mulut Gibran.

"Kalau begitu Gibran pamit dulu ya Bunda, assalamualaikum."

"Hati-hati Gibran, wa'alaikumussalam."

🎬

Hanum menatap suaminya yang sejak beberapa hari setelah kepulangannya dari Bandung terus berdiam diri diruang kerjanya. Lelaki itu hanya menatap kosong kebeberapa kertas yang berserakan diatas mejanya tanpa berniat melakukan sesuatu.

Ia yakin suaminya itu sudah menaruh rasa pada Naima. Delapan bulan menjalin rumah tangga, tidak mungkin tidak ada rasa yang tumbuh dihati keduanya.

Ia tidak bisa mengikari kalau sebenarnya hatinya sakit mendapati suaminya jatuh hati dengan wanita lain yang juga istrinya. Tapi ini keputusannya, ia lah yang meminta Gibran untuk menikahi Naima untuk kebahagiaan semua orang.

Terutama mertuanya. Sejak pernikahannya dengan Gibran, walau tak pernah memperlakukannya dengan tidak baik, tapi ia yakin kalau mertuanya itu tidak pernah menyukainya. Yang ia sukai hanya Naima dan berharap gadis itu menjadi menantunya.

Dihampirinya Gibran dan duduk dikursi yang terdapat tepat didepan Gibran. Lelaki itu mengangkat kepalanya sejenak dan kemudian pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.

"Mas, Hanum tau Mas lagi bingung dengan keberadaan Naima, tapi Mas juga tidak boleh seperti ini, tidak makan dan tidak tidur, nanti Mas sakit," ucap wanita itu mengingatkan Gibran yang masih menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

"Hanum yakin Naima baik-baik saja, mungkin dia lagi menenangkan fikirannya," lanjutnya lagi. Namun pria itu masih diam.

"Mas..."

"Masalahnya dia pergi tanpa alasan apapun Hanum, bahkan ia berhenti dari pekerjaannya yang kita tau sungguh ia idam-idamkan dari dulu. Pasti sesuatu yang besar telah terjadi, tapi bodohnya aku tidak mengetahui hal itu," jawabnya frustasi dan mengacak rambutnya sebagai pelampiasan.

"Mas mengkhawatirkan Naima?"

"Tentu saja Mas mengkhawatirkannya."

"Mas mencintainya?"

Diam! Gibran terdiam, tidak tau dengan perasaannya. Apa mungkin ia mencintai gadis yang sudah delapan bulan ini menjadi istrinya. Dan ia yakin ia masih mencintai Hanum sepenuhnya. Tapi kenapa kepergian Naima membuat satu tempat dihatinya terasa kosong seperti ini.

"Hanum yakin Mas sudah mencintai Naima, kalau memang Mas mencintainya perjuangkan dan pertahankan Naima."

"Tapi aku sudah berjanji padamu Hanum, dan aku tidak bisa mengingkari janji itu," jawab Gibran masih dengan nada frustasinya.

"Hanum tidak pernah meminta Mas menjanjikan itu, sudah lama Hanum katakan bahwa perjanjian itu tidak akan ada gunanya, Mas pertahankanlah Naima!" kata-kata Hanum seperti sebuah angin diteriknya panas matahari. Memberi kesejukan untuk Gibran.

🎬

Gibran tidak tau kenapa ia bisa berada disini, disebuah kamar benuansa cream-coklat itu. Kamar yang sudah delapan bulan ini ditempati seorang gadis yang juga ikut menempati sedikit ruang dihatinya.

Kamar itu nampak rapi dan sepi. Gibran mengambil tempat duduk diujung ranjang. Menghirup aroma Naima yang masih tertinggal dikamar ini.

Diraihnya bantal yang biasa Naima gunakan dan menghirup dalam aroma shampo yang tertinggal disana. Walau selama ini ia terlihat acuh dengan Naima, tapi entah kenapa sekarang ia begitu merindukan gadis itu.

Tangannya bergerak membuka nakas yang ada disampingnya, sebuah buku bewarna biru yang sudah terlihat menua. Gibran kenal buku itu, buku yang selalu dibawa Naima kemana ia pergi selama SMA. Itu buku diary Naima.

Hatinya kembali bergetar membaca kalimat demi kalimat yang ditulis oleh Naima. Bukan hanya bergetar namun hatinya juga tergores ketika mendapati sebuah fakta yang selama hampir sepuluh tahun disimpan gadis itu sendirian.

Ya Allah, kenapa rasa ini hadir dalam hidupku, kenapa aku harus jatuh cinta dengan sahabat hamba sendiri, bagaimana kalau nanti ia menjauh jika mengetahui perasaan hamba yang sebenarnya, hamba hanya tidak ingin ia pergi dari hidup hamba.

Bukan hanya itu, masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang membuat Gibran harus menahan nafasnya.

Tak perlu dijelaskan pun, Gibran sudah tau siapa lelaki yang dimaksud dalam buku itu. Lelaki yang dicintai gadis bernama Naima itu.

Ia tidak tau kalau selama ini Naima memendam perasaan untuknya. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk memendam sebuah rasa yang disebut Cinta.

Begitu pandai Naima menyembunyikan semuanya. Dengan mudahnya aku memintanya untuk kembali tanpa tau kalau hatinya begitu tersakiti.

Lelaki apa aku ini Tuhan, sahabat macam apa yang sanggup menyakiti hati sahabatnya dan masih mampu memintanya kembali merasakan sakit yang sudah pernah ia rasakan dulu.

Hingga dilembaran terakhir, aku terdiam. Kata demi kata yang terangkai itu bagai pisau yang menyayat hatiku. Kata-kata yang menjawab pertanyaan yang terus berkecamuk dalam otakku beberapa hari terakhir.

Naima mendengar semuanya, ia mendengar semua yang aku katakan pada Hanum beberapa hari lalu. Pasti ini, pasti inilah yang menyebabkan ia pergi tanpa ada kabar seperti ini.

Wanita mana yang mau dijatuhkan pada lobang yang sama untuk kedua kalinya dan oleh orang yang sama.

Tanpa terasa lelaki itu meneteskan setetes air matanya. Ia merasa gagal menjadi seorang Imam dalam rumah tangganya bersama Naima. Selama delapan bulan menjadi suaminya, tak pernah sekalipun ia menjalankan tugasnya sebagai suami Naima.

Tuhan maafkan hamba-Mu ini.

°°°

Next?

Jangan lupa mampir juga di cerita saya yang lain.

1. Tasbih cinta (spin off Aku (bukan) orang ketiga)
2. Salahku Mencinta

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang