🍁40.

3.2K 209 1
                                    

Mobil yang kukendarai berhenti tak jauh dari perempatan jalan, dimana biasanya banyak anak-anak jalanan duduk untuk istirahat. Namun sudah sibuk melihat hilir mudik, aku tak kunjung menemukan satu orang saja.

Baru saja aku hendak berbalik, sebuah suara familiar memanggil namaku dengan keras.

"Assalamualaikum Uni Nai," sapa seseorang yang rasanya lama tak kulihat. Dia Ani, anak Mak Jah.

"Loh Ani, ngapain disini?" tanyaku heran.

"Hmm, Ani sekarang kerja di Jakarta Uni," jawab Ani dengan senyum lebarnya.

"Dimana?"

"Di tempat yang sama dengan Uda Farid, menjadi guru ngaji disana," jawab Ani dengan senyum malu-malu.

"Trus disini ngapain?"

"Itu Ni, Ani lagi nemenin para santri memberikan makanan untuk anak jalanan, itu mereka," tunjuk Ani kearah bawah kolong jembatan yang terlihat sedikit kumuh.

"Hmm, kebetulan, Uni juga mau kasih mereka makanan juga," jawabku sambil mengangkat rantang makanan yang tadi kubawa.

"Oh baguslah kalau begitu, ayo kita kesana!"

🎬

Kutatap satu persatu wajah kecil yang tampak bahagia didepanku, mereka menampilkan senyum lebarnya sejak kehadiranku di hadapan mereka. Walau sedikit makanan yang kami bawa, namun mampu membuat senyum terbit dibibir mereka.

Sungguh, aku merasa kecil dibanding mereka. Diumur yang masih belia, mereka hidup dikerasnya ibu kota. Bahkan ada diantara mereka yang tak lagi merasakan kasih sayang orang tua.

Namun begitu mereka tak pernah merasa menyerah, mereka tetap bersemangat menjalani kehidupan yang keras ini. Sedangkan aku, yang hidup dengan penuh kasih sayang dan alhamdulillah memiliki kecukupan saja sering kali mengeluh dengan apa yang kudapat.

Astaghfirullah, lagi aku merasa kerdil dihadapan-Mu Tuhan.

"Ni Nai, ayo!" aku tersentak dari lamunanku, kulihat Ani dan beberapa santri telah membereskan tempat yang tadi kami pakai.

"Kalian pulang pakai apa?" tanyaku pada para santri yang tampak melirik ke jalanan.

"Dijemput Ustadz Farid Mbak, Mbak sendiri pulang pakai apa?" tanya seorang santri yang sepertinya paling besar diantara santri lainnya.

"Mbak bawa mobil kok," jawabku yang serentak diangguki lima belas orang santri yang ikut acara ini. "Ani, mau bareng Uni ngak? Nanti Uni izinin sama Uda Farid," ucapku menatap Ani yang dari tadi diam disampingku.

"Ngapain Uni?"

"Uni masih kangen sama kamu, kita cerita dulu dirumah Uni, lagian gak jauh kok dari pesantren, nanti Uni antar pulang." Ani tampak ragu namun berusaha aku membujukknya yang akhirnya dijawab anggukan oleh Ani.

Setelah semua santri pulang, aku dan Ani pun ikut pulang menggunakan mobilku. Diperjalanan Ani lebih banyak diam, aku tidak tau apa yang ada difikirannya sepertinya tadi ia baik-baik saja.

Setelah mempersilahkan Ani masuk, aku pamit untuk mengambil air minum untuk kami.

"Minumlah," tawarku pada Ani yang dijawab anggukan, aku semakin yakin ada yang tidak beres dengan Ani.

"Ada apa Ani? Ada sesuatu yang terjadi?" tanyaku lembut pada Ani takut dia tersinggung.

"Uni, jujurlah pada Ani, Uni menyukai Uda Farid bukan?" aku terdiam, bagaimana bisa Ani berfikiran seperti itu, apa dia cemburu?

"Tentu saja tidak Ani, bagaimana mungkin Uni menyukai lelaki selain suami Uni," jawabku, namun sepertinya Ani tidak puas dengan jawabanku.

"Ani percayalah, Uni gak suka Uda Farid, memang kenapa?" Ani terdiam, ia menundukkan kepalanya.

"Ani tau kalau malam sepulang dari Bukittinggi Uni mendengar semua yang Ani katakan pada Uda Farid," ucap Ani menggantungkan kalimatnya.

"Uda Farid menyukai Uni."

Apa yang baru saja dikatakan Ani benar-benar membuatku terdiam. Kutatap mata Ani yang mulai berkaca-kaca. Dari mana gadis didepanku menyimpulkan hal itu.

"Tidak mungkin Ani, bagaimana kamu bisa menyimpulkan itu?" tanyaku. Setetes air mata menetes dari pelupuk mata Ani, kasihan aku melihatnya.

"Ani bisa baca dari mata Uda Farid Uni, Uda Farid menyukai Uni," jawab Ani dibarengi isakan yang perlahan keluar dari bibirnya.

"Ani, denger, Uni gak mungkin suka sama uda Farid," ucapku meyakinkan Ani, kuraih tangannya dan kugenggam erat.

"Ada hati yang harus Uni jaga Ni, dan asal kamu tau Uda Farid pernah bilang sama Uni kalau dia lagi belajar menerima kamu, kamu hanya perlu bersabar, ingat untuk mencapai sesuatu yang indah ada jalan panjang berlobang yang harus kita lewati," ucapku.

Ani tampak menundukkan kepalanya dalam, bahunya bergetar menahan tangisnya. Sungguh aku merasakan apa yang saat ini dirasakan Ani, gadis mana yang tak sakit nantinya mengetahui lelaki yang ia Cinta ternyata malah mencintai gadis lain.

Tapi aku masih tak percaya dengan pernyataan yang tadi dikatakan Ani, mungkin ia hanya bentuk kecemburuan Ani dengan Uda Farid. Mana mungkin Uda Farid menyukaiku sedangkan ia tahu aku telah bersuami.

"Assalamualaikum." suara bariton itu mengejutkanku dan Ani, gadis itu segera mengusap air matanya dengan ujung khimarnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab kami hempir bersamaan. Diujung ruangan kulihat Mas Gibran berdiri dengan kening berkerut.

"Siapa Nai?" tanya Maa Gibran yang berjalan menghampiriku.

"Dia Ani, Mas, anak Mak Jah," jawabku sedikit gelagapan.

"Anak Mak Jah? Kenal dimana?" aku semakin gelagapan dibuatnya, aku baru saja ingat kalau Maa Gibran belum tau tentang kepergianku kepadang waktu itu.

"Dikenalkan Uda Farid," jawabku dan setelahnya aku merutuki ucapanku setelah kening Mas Gibran makin berkerut.

"Uda Farid siapa? Mas kenal?"

"Itu, ustadz di pesantren sebelah, tetangga Mak Jah dikampung dulu pernah dikenalin Mak Jah waktu ada pengajian dimesjid," jawabku.

Tuhan, kenapa seharian ini aku sering kali berbohong, apalagi itu terhadap suamiku sendiri. Maafkan aku Mas.

Sepertinya setelah ini aku harus melaksanakan sholat tobat untuk meminta maaf atas kebohongan yang kuperbuat.

"Oh ya, Ani, kenalin Mas Gibran, suami Uni," ucapku mengalihkan perhatian Mas Gibran. Kulihat Mas Gibran tersenyum kecil kearah Ani dan segera pamit untuk kekamar.

Setelah kepergian Mas Gibran, kuhirup seluruh udara hingga memenuhi rongga dadaku. Aku tidak tau bagaimana aku dengan mudah berbohong seperti ini.

"Uni?" panggil Ani mengangetkanku. Kulihat Ani menatapku dengan pandangan curiga, aku yakin Ani ingin bertanya akan hal kebohonganku tadi.

"Ani pasti mau tanya masalah barusan, kan?" tanyaku. "Maaf, Uni gak bisa jelasin secara detail sama Ani karna ini menyangkut masalah rumah tangga Uni, intinya Uni sama Mas Gibran lagi berusaha memperbaiki hubungan kami, sama seperti hubungan Ani dan Uda Farid."

Aku yakin Ani tidak akan mengerti dengan apa yang aku katakan, terbukti dari tatapannya yang tak dapat kubaca. Lama Ani berfikir hingga akhirnya ia menganggukkan kepalanya dan memberikan senyum padaku.

"Uni benar, Ani gak harus tau masalah Uni, makasih udah kasih nasehat untuk Ani, maaf tadi Ani kebawa emosi, Uni jangan marah ya sama Ani, Ani sayang sama Uni." aku tersenyum dan mengusap lembut kepala Ani yang tertutup khimar panjang.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang