Malam ini lagi, aku hanya berdiam diri dikamar. Aku memang diam, namun pikiran dan hatiku tak mau berhenti bergejolak.
Saat ini aku tidak ingin melakukan apapun, bahkan sekedar untuk makan pun aku malas rasanya. Yang ku inginkan hanya berdiam diri. Beberapa kali Umi datang menghampiriku untuk mengajak makan, tapi ajakan Umi selalu aku tolak.
Keputusanku sudah bulat saat ini, aku akan belajar melupakan Mas Gibran. Mungkin ini memang takdirku, takdirku untuk tidak bersama Mas Gibran.
Sudah tiga hari aku hanya diam dirumah Umi, aku keluar hanya ketika ada pekerjaan. Dan setelah kembali aku kembali berdiam diri didalam kamar.
Zahra bahkan sampai khawatir melihat keadaanku, sudah beberapa kali ia membujukku untuk menceritakan hal yang terjadi, tapi aku hanya diam.
Malam ini telah aku putuskan, bahwa tak akan pernah ada lagi perasaan untuk lelaki yang bernama Gibran Al Farisy.
🎬
Sebuah amplop putih sudah berada ditanganku, tapi aku masih ragu untuk mengetuk pintu coklat yang tepat dihadapanku ini. Bagaimana tidak, bertahun-tahun aku mengejar ini. Butuh banyak pengorbanan untuk mencapainya, wajar saja aku ragu untuk melepasnya.
Namun lagi aku yakinkan hatiku, bahwa inilah satu-satunya jalan supaya aku tidak tersakiti lagi.
Dengan meyakinkan hati, kuketuk pintu coklat yang berada tepat didepanku. Setelah mendengar kata 'masuk', kuhembuskan nafasku panjang dan memantapkan langkah untuk melepas segalanya.
Sekeluarnya dari ruangan bercat putih itu, kuhembuskan nafas panjang dan kembali menuju ruanganku. Sejenak kutatap sekeliling ruangan yang sudah kutempati kurang lebih dua tahun ini. Ruangan yang sudah menjadi rumah keduaku.
Kubereskan beberapa barang dan memasukkannya kedalam sebuah kardus berukuran sedang. Tak banyak barang bawaanku, hanya ada beberapa buku dan dua buah figura yang berisi fotoku dan kedua orang tuaku.
Tak ada yang tau akan keputusanku ini, aku yakin kalau mereka tau pasti mereka tak akan setuju dengan jalan yang aku ambil.
Sekali ini aja aku ingin egois dengan perasaanku, aku lelah jika harus tersakiti lagi. Tak perlu jalan apa yang aku ambil, yang terpenting jalan yang kupilih tak pernah keluar dari jalan Allah, maka Allah akan selalu ada untukku.
Ingat pepatah, ingatlah Allah ketika senang, maka Allah akan mengingatmu ketika kamu sedih.
🎬
Umi menatapku dengan bingung, keningnya berkerut menandakan ia tidak paham dengan apa yang ia lihat. Beberapa barang yang kusimpan dalam kardus tadi langsung aku simpan dalam kamar.
Aku tau Umi ingin bertanya apa maksud dengan semua ini, tapi aku akan menjelaskannya nanti saja ketika Abi pulang bekerja.
Tak berhenti sampai disitu, aku juga membawa sekoper besar berisi baju-bajuku yang sempat kuambil dari rumah pemberian alm. Ayah mertuaku.
Semua telah kupersiapkan, dan hal yang paling aku persiapkan adalah hatiku. Aku harus mempersiapkan hatiku dengan apa yang akan terjadi nantinya.
Sepulangnya Abi dari dinas, aku segera menemui kedua orang tuaku yang tengah duduk diruang keluarga.
"Umi, Abi!" panggilku. Abi dan Umi yang menyadari kedatanganku, memintaku duduk dihadapan mereka.
Belum sempat aku berbicara, Umi sudah terlebih dulu menanyakan apa maksud dari barang-barang yang kubawa.
"Maaf Umi, Abi, Nai buat keputusan tanpa bicara dulu sama Umi dan Abi, tapi ini keputusan Nai," jawabku.
"Maksud kamu?" tanya Umi bingung. Aku takut untuk mengatakannya, tapi aku harus melakukannya.
"Nai berhenti bekerja." ucapanku membuat Abi dan Umi terdiam. Aku tau mereka marah, tapi kemarahan itu hanya mereka pendam. Sungguh aku takut, biarlah Umi dan Abi memarahiku dengan kata-kata dibanding dengan tatapan kosong begini.
"Apa maksudmu?" tanya Abi datar. Aku menundukkan kepalaku.
"Maaf Abi, Nai sudah buat keputusan bahwa Nai akan pergi untuk beberapa waktu kedepan, Nai mohon Abi, Umi, izinkan Nai untuk memperbaiki hati Nai," ucapku.
Awalnya Abi dan Umi hanya menatapku dalam diam, namun Umi bergerak dan mendekatiku. Beliau mengusap kepalaku lembut.
"Umi gak bisa larang kamu Nai, kamu sudah besar, tapi apa kamu yakin kalau kami tidak akan menyesal dengan keputusanmu?" tanya Umi padaku.
"Tidak Umi, keputusan Nai sudah bulat, sekarang Nai hanya butuh izin dari Umi dan Abi."
"Kemana kamu akan pergi?" tanya Abi dalam nada bicara yang masih menyisakan kemarahannya.
"Padang."
"Sejauh itu, kenapa?" tanya Abi kaget. Memang, aku memilih kota Pada sebagai tempat pelarianku saat ini, selain tempat itu tempat tinggal Mak Jah, Mas Gibran juga tidak akan menyangka kalau aku akan sampai disana.
"Nai punya alasan Abi, Nai mohon izinkan Nai!" pintaku lagi.
"Abi dan Umi terserah keputusanmu, tapi bagaimana izin suamimu, walau bagaimana pun Gibran masih sah sebagai suamimu."
"Itu biar Nai yang urus Abi, tapi Nai ingin minta satu hal lagi, Umi dan Abi jangan beritahu siapapun kalau Nai di Padang ya!"
Walau ragu, tapi akhirnya izin itu dapat aku kantongi juga. Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim aku meyakinkan hatiku bahwa ini keputusan terbaik.
🎬
Yang melepas kepergianku hanya Abi dan Umi, kepergianku benar-benar dirahasiakan. Aku tak ingin siapapun tau kalau aku sedang hancur.
Aku tak yakin kalau Mas Gibran akan mencari keberadaanku, tapi aku tetap harus merahasiakan kepergianku.
Pesawat yang membawaku dari Jakarta menuju Padang sudah lepas landas sepuluh menit yang lalu. Tak dapat dipungkiri hatiku sedih meninggalkan segalanya.
Aku tidak lari dari masalah, aku hanya bersiap untuk menghadapi masalah ini. Aku hanya menyiapkan hatiku untuk sanggup menghadapi segalanya.
Perjalanan yang ditempuh selam kurang lebih satu setengah jam itu akhirnya dapat aku lewati. Suasana yang berbeda menyambutku ketika untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Bandara Internasional Minangkabau ini.
Kota yang dikenal dengan kota Minangkabau dan makanan rendangnya ini jauh berbeda dengan Jakarta. Kotanya ramai tapi tak seramai di Jakarta. Hiruk pikuk yang kudapat di Jakarta tak aku dapati disini.
Seorang yang melambai kearahku mengalihkan tatapanku yang tengah menatap sekeliling. Orang itu adalah Mak Jah, sebelum datang kesini aku sempat memberi tahu Mak Jah akan kedatanganku. Karna itulah saat ini Mak Jah berada disini untuk menjemputku.
"Assalamualaikum Mak," salamku dan mencium punggung tangan Mak Jah.
"Wa'alaikumussalam Nai, lama Mak ngak ketemu Nai, kok makin kurus saja?" tanya Mak Jah memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah.
Gamis dan khimar yang kugunakan memang menutupi tubuhku, namun tak menutupi pipiku yang menirus.
"Nai diet dikit Mak," jawabku berbohong.
"Jangan diet-diet Nai, Mak dengan orang diet susah dapat anak loh," ucap Mak Jah menakut-nakuti ku.
Aku hanya tertawa mendengar ucapan Mak Jah. Tak lama, seorang wanita yang kuperkirakan berumur 35 tahun datang menghampiri kami, dia adalah anak sulung Mak, namanya Nur tapi aku memanggilnya Ni Nur.
Setelah cukup berbincang, kami berangkat menuju rumah Mak Jah menggunakan mobil yang dikendarai Ni Nur.
°°°°
Masih ingin lanjut? Atau udahan aja nih?
Bagi yang kepo dan pengen tau akhirnya, yang lengkap sudah ada di playstore ya...😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Teen FictionRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...