🍁28

3.6K 220 7
                                    

Jika di Jakarta kita bisa menjumpai kemacetan yang parah, maka disini kita tidak akan menemukannya. Hanya ada dibeberapa titik ditengah kota.

Gedung-gedung tinggi yang biasa kita lihat, berubah menjadi pepohonan besar yang tumbuh hampir disepanjang jalan dikota Padang.

Rumah Mak Jah berada disudut kota, butuh waktu setengah jam untuk sampai disana. Lebih tepatnya di perumahan Belimbing. Jalan yang ditempuh jalan kecil yang hanya muat dua buah mobil, disisi kanan kirinya tumbuh berbagai macam tumbuhan, mulai dari semak-semak hingga pepohonan.

Dalam perjalanan Mak Jah sibuk memberi tahuku tentang daerah apa saja yang kami lewati.

"Jadi apa rencana Nai selama disini, tempat apa saja yang akan Nai kunjungi?" tanya Ni Nur yang masih fokus dengan jalanan didepan.

"Nai juga gak tau Uni, Ni Nur bisa kasih saran?" tanyaku balik. Ni Nur tampak berfikir sejenak.

"Nai suka tempat apa? Perbukitan? Danau? Atau pantai?"

"Semuanya ada disini?" pertanyaanku dijawab anggukan oleh Ni Nur.

"Sebenarnya Nai lebih suka tempat yang sejuk, tapi boleh coba juga pantainya, apalagi Nai penasaran banget sama batu si Malin Kundang."

Ya, aku memang penasaran dengan batu yang sering disebut-sebut itu. Batu yang tercipta dari kutukan seorang ibu pada anaknya yang durhaka.

"Sebenarnya Ani, adik Uni lagi libur kuliahnya, dia mungkin bisa mengajak Nai jalan-jalan kebeberapa tempat." aku sungguh senang mendengarnya. Aku langsung menganggukkan kepalaku dengan riang.

Aku memang tidak memberi tahu Mak Jah apa alasan sebenarnya aku datang kekota ini, beliau hanya tau kalau aku datang untuk berlibur.

Sejenak masalahku dengan Mas Gibran dapat aku lupakan, aku berharap kedepannya aku benar-benar berhasil melupakan segalanya dan sanggup menerima kenyataan.

🎬

Rumah Mak Jah terletak tepat didepan kompleks perumahan Belimbing, rumah yang cukup sederhana menurutku. Ada warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari didepan rumahnya.

Jalanan didepan rumah Mak Jah juga tidak terlalu ramai, jadi tak ada kebisingan yang dapat kita dengar disini.

"Masuklah Nai, maaf rumah Mak mah gini," ucap Mak Jah merendah.

"Eh, tidak apa Mak Jah, ini lebih dari cukup," jawabku seraya berjalan memasuki rumah Mak Jah.

Setelah mengantarkanku dan Mak Jah, Ni Nur pamit untuk pulang. Ya ni Nur tidak tinggal bersama Mak Jah, ia tinggal bersama suaminya ditengah kota Padang.

Mak Jah menunjukkanku sebuah kamar yang katanya dulu ditempati oleh Ni Nur. Setelah mendengar cerita Mak, anak Mak itu ada tiga. Anak pertama itu Ni Nur, yang kedua laki-laki yang saat ini bekerja disalah satu bank negeri yang ada dikota Padang. Dan yang terakhir itu Ani, sibungsu yang sedang kuliah di universitas negri ternama di kota Padang.

Setelah cukup beristirahat, aku keluar menemui Mak Jah yang tengah menjaga warung kecilnya. Mak Jah tersenyum menyambut kedatanganku.

"Mak, kok dari tadi Nai gak lihat anak-anak Mak?" tanyaku menatap sekeliling. Sejak kedatanganku, aku hanya baru bertemu dengan Ni Nur saja.

"Ani lagi kerumah Udanya di Ampang mungkin sebentar lagi pulang," jawab Mak Jah yang kuangguki. Ternyata dirumah ini Mak hanya tinggal dengan anaknya yang bernama Ani.

"Assalamualaikum Mak," salam seseorang dari luar kedai, duduk kami yang agak menjorok kedalam membuatku tak bisa melihat siapa yang datang.

"Wa'alaikumussalam, Mak di kadai Ni," sahut Mak Jah. Seorang gadis bertubuh tinggi dan sedikit berisi masuk kedalam kedai.

Tubuhnya ditutupi gamis panjang dan khimar yang menutupi dada, persis seperti Ni Nur. Wajahnya sedikit bulat namun matanya begitu mirip dengan Mak Jah. Jadi dapat kusimpulkan kalau dia pasti Ani anak sulung Mak Jah.

"Iko Ni Nai tu Mak?" tanya Ani di dengan logat Minagnya yang kental. Walau agak asing, tapi aku tau maksud dari pertanyaan Ani, kurang lebih ia bertanya apa benar kalau aku ini Nai.

"Yo, iko Ni Nai yang Mak caritoan tu," balas Mak Jah dengan bahasa Minangnya juga.

"Ni Naima ya? Perkenalkan saya Ani," ucap Ani menyodorkan tangannya, ternyata ia fasih dalam berbahasa indonesi, walau logat Minang itu masih belum bisa ia tutupi.

"Iya, oh ya panggil aja Ni Nai ya, Ni Naima kepanjangan," candaku. Ani tertawa, dang sungguh tanyanya benar-benar mirip dengan tawa Mak Jah.

"Ani udah dengan dari Ni Nur kalau Ni Nai mau jalan-jalan disini, insyaallah Ani bisa menemani Ni Nai beberapa hari kedepan."

"Alhamdulillah, makasih ya, maaf merepotkan."

"Tidak apa tuh Ni, lagian sudah lama Ani tidak jalan-jalan suntuk juga dengan pelajaran."

Kami berbincang-bincang tanpa sadar waktu Zuhur sudah masuk. Kami pun beranjak menuju dalam rumah untuk melaksanakan sholat zuhur. Kedai Mak Jah ditinggal begitu saja, katanya 'Allah akan menjaganya selagi kita menjaga Allah dihati kita'.

🎬

Ini hari pertamaku berada disini, di kota Padang. Hari ini aku tidak ada rencana untuk memulai perjalananku. Tubuhku masih sedikit lelah, mungkin perjalanan akan kami mulai esok atau lusa.

Walau begitu, aku juga tidak berdiam diri dirumah. Dengan bermodalkan GPS dan ojek online, aku berkeliling kota Padang. Hanya beberapa tempat destinasi wisata. Seperti Pantai Padang, Taman Siswa dan beberapa tempat lainnya.

Aku juga mendatangi beberapa tempat makan yang berjejer disepanjang jalan. Mulai dari soto padang, sate padang, sampai nasi padang.

Walau sebenarnya di Jakarta sudah ada beberapa kedai yang menyediakan menu itu. Tapi akan berbeda rasanya ketika kita mencoba langsung dari tempat asalnya.

Tak lupa aku juga mencicipi makanan yang paling terkenal dikota ini, bahkan sampai terkenal senusantara. Siapa yang tak kenal makanan yang berasal dari daging sapi yang dimasak dengan santai dan berbagai rempah yang disebut dengan rendang itu.

Waktu berjalan tanpa aku sadari, senja hampir menjelang. Tadi aku sempat berjanji dengan Ani yang kebetulan ada urusan ditempat Udanya. Kami berjanji akan bertemu dipantai Padang dan aku akan pulang bersama dengannya.

Jingga sudah menampakkan dirinya diufuk barat, matahari mulai menyembunyikan dirinya dibalik cakrawala. Burung-burung mulai berterbangan menuju sarang mereka.

Disini, aku sendiri. Di kesendirianku ini aku kembali teringat akan masalah yang sedang menimpaku.

Cerai! Lagi-lagi kata itu menyeruak dalam fikiranku. Mengingat semua itu kembali air mataku perlahan menetes.

Kepalaku tertunduk, hati dan fikiranku kembali bergemuruh. Tuhan, ku mohon jika dia bukan jodohku maka hapuskanlah semua rasa yang tumbuh dihati hamba Ya Allah.

Kuusap perlahan mataku yang basah. Sayup-sayup suara al-qur'an mulai terdengar menandakan waktu maghrib sebentar lagi akan masuk.

Tidak! Aku tidak boleh terpuruk seperti ini, ada Allah bersamaku, Beliau pasti benci dengan hambanya yang berputus asa seperti ini. Aku harus kembali, walau seberapa sakit hatiku, tapi hidup harus terus dijalani.

°°°°

Mau lanjut?
Like dulu dong sebanyak-banyaknya. Hehehe... Canda kok. Like bagi yang mau aja.
Apalagi yang mau share ceritanya ke temen-temen..

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang