🍁19.

3.2K 190 1
                                    

Brakk...

"Apa-apaan ini Nai, berita apa yang aku dengar?" teriak Zahra ketika baru datang diruanganku. Aku tau maksud Zahra, sudah pasti aku tau. Sedari kedatanganku tadi pagi, semua rekan-rekan kerjaku semua membicarakan kejadian tiga hari lalu.

"Aku capek Zah," jawabku lesu, aku benar-benar lelah untuk menjelaskannya.

"Capek? Aku kecewa sama kamu Nai, kamu anggap aku ini apa? Sahabat? Teman? Atau apa? Kalau aku ini sahabatmu, tega kamu membuatku seperti ini, mengetahui hal sebesar ini dari orang lain bukan dari mulut sahabatku sendiri."

"Kamu tau Nai? Sedari pagi setiap orang tanya sama aku tentang kalian, tapi apa yang harus aku jawab, aku tidak tau apapun tentang kamu," teriak Zahra frustasi.

"Zah maafkan aku, aku tidak tau Mas Gibran akan melakukan semua ini, aku capek Zah, aku lelah menghadapinya," ucapku tak kalah frustasi.

Zahra terdiam, hanya deru nafas kami dan detikan jarum jam yang terdengar. Kutarik nafas panjang dan berusaha menetralkan emosiku. Aku tidak harus menghadapi ini dengan emosi.

"Aku minta maaf Nai, aku kesulut emosi tadi," ucap Zahra dengan nada suara yang sudah kembali normal.

"Aku pun minta maaf Zah, seharusnya dulu aku memang memberi tahumu siapa suamiku, tidak menutupinya hingga masalah sebesar ini terjadi," jawabku penuh merasa bersalah.

Zahra mendekat dan mendekap tubuhku, memberikan dukungan lewat pelukannya. Setelah melepas pelukannya, Zahra mengambil tempat duduk di kursi yang disediakan untuk pasienku.

"Lalu, gimana kamu hadapin semua ini, hadapin Robby?" tanya Zahra.

"Kamu tau tentang Robby? Bagaimana bisa?" tanyaku bingung.

"Aku sempat menelfon Robby tadi pagi menanyakan hal ini, dan dia menceritakannya."

"Hmm, aku gak tau Zah apa yang harus aku lakukan, sepertinya aku akan menghindar dulu, bukan lari namun sepertinya hanya waktu yang bisa membantuku saat ini," jawabku pelan. Zahra mengangguk dan mengusap tanganku.

"Aku ngerti, aku siap jadi sandaranmu Nai."

"Makasih Zah."

Alhamdulillah aku mempunyai sahabat seperti Zahra, yang ada disaat sedih maupun senangku. Dan bukankah aku juga memiliki Allah. Seseorang pernah berkata padaku, ingatlah Allah ketika kamu senang maka Allah akan mengingatmu disaat kamu sedih, dan itu benar adanya.

🎬

Aku tidak tau kenapa Robby siang ini memintaku untuk menemuinya di tempat biasanya. Awalnya aku ragu untuk datang, aku merasa canggung untuk menemui Robby setelah kejadian hari itu.

Namun, aku tidak ingin Robby tambah kecewa dengan cara menjauh seperti ini. Jika Robby bisa menerimanya, kenapa aku tidak mendukungnya dan malah menjahuinya.

Dengan menguatkan hati, kulangkahkan kakiku menuju restorant yang berada tepat diseberang jalan. Ya, aku memang sudah berada disini sejak sepuluh menit yang lalu, namun aku masih menyiapkan hatiku untuk bertemu Robby. Aku hanya takut menyakiti hatinya lagi.

"Assalamualaikum Rob."

"Wa'alaikumussalam Nai, duduklah!"

Aku tersenyum dan duduk dikursi tepat didepan Robby. Aku dapat merasakan canggung diantara kami. Lihatlah, jika dulu Robby selalu bercanda kalau bertemu namun sekarang?

"Aku hanya ingin pamit Nai," ucap Robby to the point. Aku bingung, ada apa dengan Robby? Kenapa ia harus pergi seperti ini?

"Kamu mau pergi kemana?"

"Tenanglah, aku hanya akan pergi umroh," ucapnya membuatku sedikit lega. "Setelah kepulanganku, insyaallah aku akan melangsungkan pernikahanku," tambah Robby yang membuatku benar-benar terkejut.

"Menikah?" tanya ku bingung yang dibalas anggukan oleh Robby. Dengan siapa Robby akan menikah?

"Mama terus mendesakku Nai, kalau aku tidak juga membawakan calon menantunya maka aku harus menerima pilihannya," jelas Robby. Ya Tuhan, semoga gadis yang engkau kirimkan dapat menyembuhkan luka hatinya. Aku yakin Engkau pasti mengirimkan gadis terbaik untuk Robby.

"Semoga perjalanan dan ibadahmu dilancarkan ya Rob."

"Aminnn, jadi bidadari yang duduk didepanku ini ingin aku doakan apa disana?" ucap Robby berusaha mencairkan suasana.

"Doakan saja yang terbaik untukku Rob."

"Pastinya."

Ya Allah, semoga jalan ini adalah jalan terbaik untuk Robby, semoga ia dapat menjemput kebahagiaannya dengan gadis pilihan ibunya, aku hanya dapat mendoakan kebahagiannya saat ini, maaf jika aku pernah menyakiti hatinya.

🎬

Gibran POV

Malam semakin larut tapi mataku belum juga dapat aku pejamkan, yang kulakukan hanya duduk termenung dimeja kerjaku. Aku hanya berfikir apa yang telah aku lakukan?

Kenapa aku tidak bisa mengendalikan emosiku saat itu? Apa benar aku cemburu melihat Naima dan Robby berduaan? Lalu, apakah mungkin aku mulai menerima Naima dan mulai mencintainya?

Tidak! Itu tidak mungkin, aku tidak mungkin mencintai Naima, aku hanya mencintai Hanum dari dulu hingga sekarang. Hanya Hanum yang mampu menarik perhatianku dari pertama kali aku melihatnya.

Naima, menceritakan gadis itu, apa yang terjadi dengan gadis itu saat ini, sejak kejadian hari itu aku tak lagi menemuinya. Mungkin esok atau lusa aku akan melihat keadaannya.

"Mas," panggil Hanum yang baru muncul dipintu ruangan kerjaku.

"Masuklah!" perintahku. Hanum masuk dan duduk disofa yang biasa duduki ketika masuk keruanganku.

"Mas belum tidur?" tanyanya
Kulihat matanya sayu, mungkin ia baru bangun tidur atau mungkin belum tidur sama sekali.

"Aku belum mengantuk Han, tidurlah dulu," ucapku.

"Mas, keputusanmu itu benar, memang sudah saatnya dunia tau tentang kalian, Naima pun berhak diakui sebagai istrimu," ucap Hanum yang membuatku tertunduk. "Pikirkan juga Naima Mas, bagaimana perasaannya tidak diakui?"

"Ini hanya sementara Hanum, nantinya kami akan.. "

"Apa yang sementara?" potong Hanum sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

"Bukankah kita sudah buat kesepakatan, dan itu akan terlaksana," jawabku.

"Dan Mas pikir kesempatan itu akan datang, tidak Mas, kesempatan itu tidak akan datang, kita tau itu."

"Kesempatan itu akan datang!" tegasku. Hanum berdiri dan menghilang dibalik pintu. Kuacak rambutku frustasi, dan menghembus nafas panjang.

🎬

Naima POV

Pagi ini aku terkejut dengan kehadiran Mas Gibran di meja makan. Aku tidak tau kapan ia datang. Kuhampiri Mak Jah yang tengah sibuk menyiapkan makanan didapur, ia sedikit tergesa-gesa menyiapkan makanan.

"Mak, kapan Mas Gibran datang?" tanyaku.

"Loh, Nai tidak tau, Bapak datang sejak tadi malam," jawab Mak Jah yang membuatku terkejut. Sejak tadi malam? Kapan? Aku tidak tau kapan ia datang.

"Bapak datang tengah malam Nai," lanjut Mak Jah.

Tengah malam? Tumben sekali, apa ada hal yang terjadi hingga Mas Gibran datang kesini.

"Mas?" panggilku. Sepertinya dugaanku benar, sesuatu telah terjadi, lihat saja mata Mas Gibran yang terlihat sayu.

"Apa terjadi sesuatu?" tanyaku seraya menyiapkan sarapan untuknya.

"Tidak ada, hanya aku tidak dapat tidur semalam," jawab Mas Gibran. Tunggu, nada bicara Mas Gibran tidak datar seperti biasanya juga tak sependek biasanya. Ya Rabb, benarkah Mas Gibran sudah benar-benar menerimaku?

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang