🍁17.

3.4K 195 2
                                    

Sepanjang hari ini senyum manis tak pernah dari bibirku. Bahkan sudah berulang-ulang kali aku dikagetkan Zahra. Entahlah, aku hanya ingin tersenyum mengingat kejadian semalam hingga pagi tadi.

Banyak pertanyaan yang berkeliaran di otakku. Dan dari pertanyaan itu pula tumbuh berbagai harapan yang membuat hatiku terbang tinggi.

Aku sudah berusaha mengingatkan hatiku, mewanti-wanti jika suatu saat aku bisa saja dijatuhkan. Namun, kali ini hatiku menolaknya, ia sudah terlanjur terbang, terlanjur melambung tinggi.

"Ketika cinta bertasbih, nadiku berdenyut merdu. Hmmmmm...."

"Duh yang lagi bahagia, sampe bersenandung segala, ada apa sih Nai?" lagi aku dikagetkan dengan kehadiran Zahra yang tiba-tiba muncul diruanganku.

"Gak," jawabku dengan senyum yang masih mengembang dibibirku.

"Jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh Cinta sama 'suami rahasia' mu itu," tuduh Zahra dengan menekankan kata 'suami rahasia'.

"Ishh kepo, udah sana urusin pasienmu," usirku halus.

"Aduh... Sepertinya sahabatku ini benar-benar sudah jatuh Cinta sampai-sampai jam makan siang pun dia sudah lupa," keluh Zahra. Kulirik arloji yang melingkar ditangan kiriku, dan benar sudah saatnya makan siang. Astagfirullah, bahkan aku belum sholat zuhur.

"Astagfirullah Zah, aku belum sholat, kita sholat dulu ya!"

"Tuh kan, ya sudah ayo!"

🎬

Setelah sholat zuhur di musholla rumah sakit, kami segera menuju rumah makan padang yang kami pilih untuk menu makan siang kali ini.

"Zah, pulang nanti aku nebeng ya!" ucapku seraya memainkan jemari Zahra yang berada diatas meja. Hal yang ampuh untuk membujuk Zahra.

"Gak, kamu minta jemput aja sama pujaan hatimu itu, lagian motormu kemana?" semalam setelah diselamatkan Mas Gibran kami pulang menggunakan mobil Mas Gibran, dan katanya hari ini ia akan meminta karyawannya untuk mengambilkannya. Tapi bagaimana memberi tahu Zahra ya? Nanti dia banyak tanya lagi kalau aku kasih tau.
"Bengkel."

"Lah trus tadi pagi kamu berangkat naik apaan?"

"Mas Gib..." ups... Hampir saja aku keceplosan mengatakannya. Zahra memicingkan matanya dan menatapku intens.

"Mas? Maksudmu suamimu?" tanya Zahra. Aku hanya dapat menganggukkan kepalaku.

"Serius? Waw kemajuan yang besar. Masih belum ingin memberi tahuku?"

"Aduh Zah, kapan-kapan deh." Zahra mencebikkan bibirnya dan mengalihkan tatapannya. Aku hanya dapat tersenyum, maaf Zah, kalau sudah waktunya pasti aku beritahu.

"Uda Farid!" panggilku refleks. Uda Farid yang batu saja memasuki ruman makan pun menoleh dan mengembangkan senyumnya melihatku.

"Hai, Naima."

"Assalamualaikum Uda," salamku.

"Wa'alaikumussalam, Nai. Makan siang?" tanya Uda Farid basa-basi.

"Iya Uda, Uda juga?" balasku.

"Iya."

Kulihat Zahra menatapku dengan pandangan bertanya, matanya berkata 'siapa lelaki ini?'

"Oh ya Uda, ini sahabat Nai namanya Zahra, Zah ini Uda Farid ustadz yang ngajar di pesantren deket rumah," ucapku memperkenalkan keduanya.

"Oh ya Nai, nanti malam akan ada pengajian mingguan, kamu datang?" tanya Uda Farid yang sudah mengambil tempat duduk dimeja yang sama denganku dan Zahra.

"Uda yang ngisi pengajiannya?" tanyaku yang dibalas senyuman oleh Uda Farid.

"Kamu mau ikut Zah?" Zahra yang sibuk memakan makanannya hanya mengangguk antusias sambil mengangkat jempolnya yang belepotan sambal.

"Insya Allah kami datang Uda."

🎬

Sebelum isya Zahra sudah sampai dirumahku, ia tampil dengan baju kurung bewarna peach dan dipadukan dengan pasmina bewarna pink. Wajahnya yang mulus dipolesi bedak tipis dan lip blam agar terlihat segar.

Sedangkan aku, seperti biasa tampil dengan dres panjang bewarna biru muda dan khimar instan senada. Seperti Zahra, aku memolesi wajahku dengan sedikit bedak dan lip blam sebagai pelembab.

Zahra tampak begitu antusias untuk mengikuti pengajian ini. Ini lah yang aku suka dari berteman dengan Zahra. Kami sama-sama mencintai satu hal. Bukan drama korea dan oppa-oppanya, namun kami sama-sama mencintai islam, bersama-sama mempelajarinya.

Bahkan aku mengenal Zahra ketika menghadiri acara FSI di kampusku dulu. Memang kita satu fakultas dan dikelas yang sama, tapi entah kenapa aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Mungkin inilah yang dinamakan takdir.

"Ayo lah Nai, kita berangkat sekarang!" teriak Zahra yang mulai tak sabaran.

"Sebentar Zah, aku tunggu Mak Jah dulu ya!" ucapku menenangkannya. Ia diam, tapi ia tetap bergerak gelisah, seperti akan telat ospek saja.

"Nai, maaf ya Mak lama, Non Zahra maaf ya," ucap Mak Jah yang baru datang.

"Gak papa kok Mak," jawabku.

"Oke, sekarang kita berangkat!" ucap Zahra bersemangat.

🎬

"Kita sebagai lelaki hendaknya mengingatkan kepada istri serta anak perempuan kita untuk menutup auratnya seperti yang dijelaskan dalam surah Al-ahzab ayat 59."

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka'."

"Dan bagimu wahai perempuan, hendaklah kamu menutup auratmu kecuali pada mereka yang mahrom-mu."

"Allah Swt telah berfirman pada surah An-nur ayat 31."

"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama islam) mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita."

Sebuah tangan yang terangkat tak jauh dariku mengalihkan seluruh pandangan jamaah pengajian malam ini.

"Ustadz, lalu bagaimana dengan wanita non-muslim, apakah ia termasuk dalam kecuali yang ustadz bacakan tadi?"

"Tidak! Bukankah dalam surah An-nur ayat 31 tersebut telah dijelaskan.  'Nisaihinna' para perempuan sesama islam. Itu artinya perempuan yang beragama non-muslim tidak termasuk dalam kecuali tersebut."

"Berarti, kalau kita sekamar dengan perempuan non-muslim kita harus menggunakan hijab 24 jam?" tanya jamaah yang lain.

"Tentu saja," jawab Uda Farid.

"Susah dong Ustadz, kalau mau tidur gimana?" celetuk jamaah yang lain.

"Kalau menurutmu susah, lebih baik pindah saja dan cari teman sekamar yang sesama islam." jawab Uda Farid dan dianggguki seluruh jamaah perempuan.

🎬

"Subhanallah, Bagus banget kajian Ustadz Farid Nai, lain kali kamu ajak aku kepengajiannya Ustadz Farid ya Nai," celetuk Zahra dalam perjalanan pulang.

"Alhamdulillah kalau kamu suka, insya Allah, kalau ada waktu kita datang sama-sama lagi, tapi ya jangan tiap hari kasihan Mas Irham dong," godaku pada suami Zahra yang datang menjemput malam ini.

Pasangan suami istri itu saling melirik dan tersenyum. "Kalau untuk mengejar ilmu agama, aku izinin kok Nai, asal jangan keluyuran saja," jawab Mas Irham, suami Zahra. Mas Irham menatap Zahra dan mengusap kepala Zahra sayang. Duh, aku jadi cemburu melihat kemesraan pasangan suami istri ini, kapan aku bisa seperti ini bersama Mas Gibran?

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang