Tak berapa lama setelah kepulangan Naima dari rumah Hanum dan Gibran. Tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Hanum seketika panik, ia pulang dengan motor pasti ia kehujanan.
Hanum bersikeras meminta Gibran untuk menyusul Naima, siapa tau ia berteduh ditepi jalan. Namun, Gibran memberikan beribu alasan untuk tidak pergi. Ia beralasan bahwa Nai pasti sudah sampai dirumah.
Akhirnya Hanum berhenti untuk memaksa Gibran untuk menyusul Naima.
Tapi pagi ini, Hanum kembali bersikeras agar Gibran mampir kerumah Naima untuk melihat keadaan gadis itu. Jadi, terpaksalah pagi-pagi sekali Gibran sudah berangkat menuju rumah Naima.
"Aduh Bapak, untuk Bapak datang," sambut Mak Jah ketika mendapati Gibran berada didepan rumah Naima.
"Ada apa Mak?" tanya Gibran, wajah wanita paruh baya itu jelas sekali menampakkan kecemasan.
"Naima, tubuhnya panas sejak semalam, udah Mak kompres trus juga udah kasih obat tapi panasnya gak turun-turun," jelas Mak Jah.
Gibran mengikuti Mak Jah kelantai atas untuk menemui Nai. Benar saja, gadis itu tampak risih dalam tidurnya dan sekali-kali ia mengeram. Wajahnya tampak begitu pucat.
Gibran ragu untuk membawa Nai ke rumah sakit. Bisa-bisa pernikahannya dengan Nai diketahui dunia. Akhirnya Gibran memutuskan untuk menelfon dokter kepercayaannya.
🎬
Gibran terpaksa mengundur jadwal rapatnya, tadi ia sudah akan pergi namun Mak Jah memintanya untuk menemani Nai untuk hari ini saja karna keadaan gadis itu sedikit buruk.
Saat ini gadis itu tengah terlelap dalam tidurnya. Setelah meminum obat yang diberikan dokter, Nai kembali tertidur karna efek obat yang diberikan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Gibran memang harus pergi saat ini juga, atau ia akan kehilangan projek besar.
Tadi Gibran sudah sempat menelfon Umi Nai untuk menjaganya. Namun, Gibran belum menemukan tanda tanda kedatangan wanita paruh baya itu. Ia sudah mondar mandir, waktunya semakin sedikit. Sejak tadi sekretarisnya sudah menelfon untuk ia segera datang.
Tak berapa lama, deru mobil yang berhenti membuat Gibran bergegas meninggalkan kamar Naima. Laki-laki jangkung itu segera menuju pintu dengan langkah tergesa-gesa.
"Assalamualaikum Gibran, maaf Umi telat," ucap Umi ketika mendapati Gibran yang membukakan pintu.
"Wa'alaikumussalam Umi, gak papa kok. Maaf ya Gibran harus berangkat sekarang, kalau ada apa-apa Umi telfon aja ya," pesan Gibran sebelum berlalu menuju mobilnya.
Sepeninggalan Gibran, Umi melanjutkan langkahnya menuju lantai dua dimana anaknya tengah terbaring sakit. Umi sedikit heran, tak biasanya putrinya itu sakit seperti ini. Nai itu sedari kecil sangat jarang sekali sakit.
"Kok bisa toh kamu sakit begini Nai?"
🎬
Sebuah sentuhan membuatku terbangun dari tidurku. Kukerjapkan mataku beberapa kali dan kutemukan Umi yang tengah tersenyum kearahku. Walau ada senyum dibibirnya, tapi tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.
"Umi, lama Umi disini?" tanyaku. Suaraku sedikit serak akibat baru bangun tidur.
"Baru saja sepuluh menit yang lalu, Gibran meminta Umi untuk menjagamu karna ia ada rapat penting."
Sepuluh menit yang lalu? Berarti Mas Gibran juga pergi sepuluh menit yang lalu. Kalau begitu pasti sedari tadi Mas Gibran menungguku disini. Tak kupungkiri hatiku menghangat memikirkannya. Apa Mas Gibran sudah bisa menerimaku sebagai istrinya?
"Nai, Umi udah siapin makanan, kamu makan dulu ya." Umi mengambil mangkuk yang ada di nakas samping tempat tidur, Umi menyuapiku perlahan-lahan.
"Umi bersyukur, sepertinya Gibran begitu menyayangimu," ucap Umi disela makanku. Aku kaget, untung saja makanan yang ada dimulutku tak ikut keluar.
Apa Umi tadi melihat kekhawatiran pada diri Mas Gibran, kalau iya makin bahagia hatiku. Berarti Mas Gibran benar-benar sudah mulai bisa menerimaku sebagai istrinya.
🎬
Malam semakin larut, namun Mas Gibran tak kunjung pulang. Sudah beberapa kali Umi menanyakan kenapa Mas Gibran belum pulang, tapi aku hanya menjawab mungkin ia tengah sibuk.
Mulutku memang mengatakan ia tengah sibuk, namun hatiku berkata lain. Aku yakin saat ini Mas Gibran pasti berada di rumah Hanum. Rasa bahagia yang tumbuh siang tadi berubah menjadi rasa kecewa. Ternyata apa yang kupikirkan tadi tidak benar-benar terjadi.
Mungkin Mas Gibran menungguku karna ia kasihan padaku, atau mungkin Hanum yang memintanya menemaniku.
"Duh Nai, suamimu ini kemana lagi? Umi harus pulang, Abimu sudah menelfon dari tadi." lagi lagi Umi menanyakan hal yang sama, aku benar-benar bingung akan menjawab apa. Tidak mungkin aku memberi tahu Mas Gibran ada dirumah Hanum bukan, bisa bisa Umi curiga.
"Umi pulang aja, Nai gak papa kok. Kan ada Mak Jah, mungkin bentar lagi Mas Gibran pulang," jawabku.
"Umi minta maaf ya sayang, Umi pulang dulu, kalau ada apa apa telfon Umi ya." setelah pamit Umi berlalu dari kamarku meninggalkan aku sendirian dengan hati yang kecewa.
Ya Rabb, sampai kapan hamba bisa bertahan dengan semua ini. Akankah pernikahan ini akan berakhir? Tuhan, bukankah engkau membenci perceraian, tapi kalau hamba tidak sanggup lagi bagaimana?
🎬
Pagi ini aku terbangun dengan keadaan lebih segar, walau rasa pusing masih kurasakan. Aku memutuskan untuk mengambil cuti untuk beberapa hari, sampai tubuhku benar-benar fit.
Pagi ini terasa begitu sejuk, setelah sholat subuh tadi aku memutuskan untuk duduk di pondok belakang rumah. Ditemani secangkir teh panas dan beberapa biskuit, serta aliran air yang terasa menyejukkan.
Suara notif diponsel mengagetkanku. Kuraih benda pipih itu dan mengecek pesan yang masuk keponselku. Ternyata Ibu yang mengirimkannya. Beliau memintaku untuk hadir makan malam di rumahnya malam ini.
Aku sebenarnya ragu untuk datang, tapi Ibu akan kecewa kalau aku tidak datang. Jadi kukirim pesan ke Ibu bahwa aku akan datang malam ini.
"Mak, nanti malam gak usah masak ya, Nai makan malam di rumah Ibu solanya," beritahuku pada Mak Jah yang sibuk memberikan makan ikan dikolam.
"Oke Nai," balas Mak Jah. Wanita paruh baya itu masih sibuk menebur makan ikan yang ada di genggamannya. Sesekali ia menyenandungkan lagu yang tidak kutahu berasal dari mana.
"Mak sebenarnya dari mana?" tanyaku sedikit berbasa basi. Kali ini Mak Jah tampaknya tertarik, buktinya beliau meletakkan makanan ikan dan duduk disampingku.
"Sebenarnya Mak itu berasal dari Padang," jawab Mak Jah. Waw, jauh juga rupanya kampung Mak Jah. Kota itu berada di Provinsi Sumatera Barat, daerah yang terkenal dengan masakan rendangnya dan rumah bergonjongnya. Aku belum pernah kesana, namun aku mengetahui beberapa hal tentang Kota itu.
"Disana mah enak Nai, banyak tempat wisatanya juga. Kalau Nai kesana, nanti Mak ajak jalan-jalan deh." aku sedikit tergiur dengan ajakan Mak Jah. Beberapa teman-temanku pernah kesana, dan aku jadi tertarik untuk berkunjung kekota Minang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Novela JuvenilRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...