Rintikan-rintikan air itu perlahan mulai berubah deras, dipagi sabtu itu hujan deras mengguyur kota Padang. Rencana yang sudah kami susun rapi dengan Ani terpaksa kami undur sampai hujan reda.
Hari ini kami berencana untuk mengunjungi beberapa tempat terdekat sini. Pantai air manis dan jembatan siti nurbaya. Dua legenda yang begitu dikenal dinusantara.
Namun saat ini kami berdua hanya bisa duduk termenung didepan jendela kaca yang memperlihatkan semua keadaan diluar sana.
"Aduh kasihan anak-anak Mak," ucap Mak Jah menghampiri kami dan ikut duduk disebelah Ani. Mengusap kepala Ani yang tertutup khimar instan.
"Yang kasihan itu Ni Nai Mak, dari tadi malam udah bahagia banget, eh tiba-tiba hujan begini."
Aku hanya tersenyum menanggapinya, sungguh aku tak bahagia. Ragaku memang berada disini, namun setengah hatiku masih tertinggal di Jakarta, di seorang lelaki yang berstatus sebagai suamiku.
Kutatap rintikan hujan yang menyisakan embun dikaca jendela rumah Mak Jah, tanganku terangkat dan menggoreskan beberapa bentuk dikaca hingga membentuk sebuah gambar acak dikaca yang berembun.
Andai semudah aku menghapu embun dikaca ini, pasti saat ini aku tak akan terpuruk seperti saat ini.
Semalam entah mengapa aku memimpikan Mas Gibran dalam tidurku. Disana ia memintaku untuk memberi tahukan dimana keberadaanku, namun tiba-tiba ia menghilang dan digantikan dengan wajah pucat Hanum. Aku tidak mengerti dengan mimpi yang kualami. Apa maksud dari wajah pucat Hanum dengan pertanyaan Mas Gibran.
"Nai!" aku tersentak dengan panggilan Mak Jah. Ternyata hujan diluar sana sudah reda. Matahari mulai keluar dari persembunyiannya dibalik awan, awan yang semula hitam sudah kembali menjadi putih.
"Ayo, keburu siangan kita sampai di jembatan siti nurbaya, nanti gak bisa lagi ke makamnya!"
🎬
Gibran POV
Beberapa hari ini aku tak sempat mengunjungi Naima, beberapa kali aku memang menanyakan kabarnya lewat sms namun aku tak mendapatkan jawabannya.
Setelah meeting siang ini, kuputuskan untuk mengunjungi Naima dirumahnya, mudah-mudahan ia sedang shift siang saat ini. Kukendarakan mobil putih yang biasakl kugunakan membelah jalanan kota Jakarta yang lancar karna sudah masuk jam kantor.
Beberapa kali kupencet bel rumahnya, namun sama sekali tak ada yang membukakan pintu bahkan sekedar jawaban. Apa Nai lagi bekerja? Kuraih ponselku dan mencoba menghubunginya.
Namun bukannya Naima yang menjawab, tapi seorang operator yang memberi tahukan kalau ponsel Naima saat ini sedang tidak aktif. Sepertinya Naima benar sedang bekerja. Apa aku kerumah sakit saja?
Entah fikiran dari mana akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi Naima kerumah sakit.
"Assalamualaikum dr. Zahra!" panggilku pada dokter yang kuketahui sahabat Naima.
"Wa'alaikumussalam," jawab Zahra dengan kening berkerut.
"Naima ada tidak?"
"Loh, bukannya kamu sudah meminta Naima untuk berhenti bekerja ya? Trus ngapain nanya Naima kesini? Lupa ya?" aku dibuat bingung dengan perkataan dr. Zahra.
Meminta Naima berhenti bekerja? Sejak kapan? Aku rasa aku tidak pernah memintanya berhenti bekerja. Kalau Naima berhenti bekerja dan dirumahnya ia juga tidak ada, lalu dimana gadis itu berada saat ini?
"Ehmm tapi saya tidak pernah memintanya berhenti bekerja, lagian sudah hampir seminggu ini saya belum bertemu dengannya, tadi saya temui dirumahnya dia juga tidak ada." dr. Zahra tampak terkejut dengan pernyataanku.
"Loh, tapi dia mengatakan itu sama direktur rumah sakit. Tapi anehnya dia juga tidak pernah memberi kabar setelah berhenti bekerja, kemana Naima?" tanya Zahra. Aku menggelengkan kepala.
Apa dia ada dirumah Umi dan Abi? Mungkin ya. Setelah pamit undur diri dari hadapan Zahra, aku segera mengendarakan mobilku kerumah Abi dan Umi.
Tapi sial untukku, ternyata Abi dan Umi sedang tidak ada dirumah. Dari yang kudapat informasi dari tetangga, Umi sedang pergi acara dikantor Abi.
"Naima juga ikut?" tanyaku.
"Loh bukannya Naima sudah tidak tinggal disini lagi, beberapa hari lalu saya memang pernah mengobrol dengan Naima disini, tapi setelahnya saya tidak pernah lagi melihat kehadiran Naima," jawab Mbak itu dan pamit undur diri.
Disini aku terdiam, dirumah tidak ada, dirumah sakit juga tidak ada, dan dirumah Abi pun Naima tidak ada. Lalu dimana dia? Apa yang membuatnya berhenti bekerja dan menghilang seperti ini.
Kucoba lagi menghubungi ponselnya, namun lagi-lagi yang menjawab seorang operator.
Kuusap wajahku lelah, apa ada sesuatu yang terjadi yang tidak kuketahui disini?
Baru saja aku hendak memasuki mobil, sebuah mobil terparkir tepat dibelakang mobilku. Abi dan Umi turun dari mobil itu.
"Assalamualaikum Abi, Umi," salamku sambil mencium punggung tangan mereka satu-persatu.
"Wa'alaikumussalam Gibran, ada apa?" tanya Abi. Beliau menuntunku untuk masuk kedalam rumah dan duduk diruang tamu.
"Gibran ingin bertanya sama Abi, tadi Gibran datang kerumah Naima tapi dia tidak ada, Gibran cari kerumah sakit kata Zahra dia sudah berhenti, apa ada sesuatu yang terjadi sebelumnya?" tanyaku. Abi menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti apa maksudnya. Umi datang dan memberikan segelas minuman dingin untukku.
"Apa Naima ada disini?" sekarang bukan hanya Abi yang menatapku seperti itu, bahkan Umi pun ikut menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti.
"Naima tidak ada disini, mungkin dia sedang keluar, kamu sudah menghubunginya?" tanya Abi datar, aku tidak tau kenapa tiba-tiba Abi berubah seperti ini hanya dalam beberapa detik saja.
"Sudah, Gibran sudah berusaha menghubungi Naima, tapi ponselnya tidak aktif," jawabku.
"Naima memang sering berkunjung kesini, tapi saat ini dia tidak ada disini," jawab Umi.
"Hmm, mungkin Gibran harus nunggu Naima dirumah." setelah itu aku pamit untuk pulang. Tapi sebenarnya aku tidak pulang kerumah melainkan kerumah Naima, aku harus menanyakan kenapa ia berhenti bekerja.
🎬
Hingga sore menjelang aku masih menanti kepulangan Naima dirumahnya, untuk saja aku punya kunci duplikatnya. Aku makin dibuat bingung dengan keadaan ini. Sepertinya memang telah terjadi suatu hal yang tidak aku ketahui disini.
Selepas maghrib baru aku beranjak dari rumah Naima dengan tangan hampa. Aku tidak dapat menjumpainya.
"Loh Mas dari mana saja, aku telfon kekantor katanya kamu tidak masuk kantor selepas meeting diluar?" tanya Hanum yang menyambut kedatanganku.
"Aku mencari Naima," jawabku jujur. Hanum segera menghentikan langkahku yang hendak menuju kamar.
"Mencari Naima? Memang dia kemana Mas?"
"Mas tidak tau, dia tidak ada dirumah ataupun rumah Uminya, dan yang lebih buat Mas bingung dia berhenti dari pekerjaannya," jawabku. Hanum tampak terkejut, keningnya berkerut namun kemudian sebuah senyuman mampir dibibirnya.
"Mungkin Nai punya alasan Mas kenapa dia berhenti bekerja," ucap Hanum dengan senyuman yang masih Setia dibibirnya.
"Apa?"
"Mungkin Nai hamil."
Tidak mungkin! Itu jelas tidak mungkin. Memang Nai hamil anak siapa? Jelas aku tak pernah menyentuhnya. Ya itu tidak mungkin.
°°°
Jangan lupa tinggalin jejak ya.. bagi yang ikhlas aja kok..
Masih mau lanjut, kan?Ingin kenal lebih dekat atau mau tanya-tanya, atau mau tau informasi lebih. Kalian bisa follow ig @mira_yulia31 dan @sobat.mirayulia
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Teen FictionRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...