"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan." suara bariton itu terdengar lantang memasuki Indra pendengaranku. Seorang lelaki telah mengijab qobulku untuk pertama kalinya. Air mata mulai menetes dipipiku, namun kalian salah jika menganggap itu adalah air mata kebahagiaan, ini adalah air mata kesedihanku.
Mana ada wanita didunia ini yang mau dijadikan yang kedua, setiap wanita menginginkan hanya ada ia dihati lelakinya. Namun aku?
Suara pintu terbuka menyadarkanku, diujung pintu Umi berdiri dengan senyum sendunya. Tangannya terulur mengusap kepalaku yang tertutup khimar putih tulang yang senada dengan kebaya yang kukenakan.
"Nai, sekarang kau sudah resmi menjadi tanggung jawab Gibran, berbahagialah dengannya, serta berbakti kepadanya karna kini surgamu ada ditelapak kakinya," pesan Umi ketika menuntunku menuju lantai bawah menemui lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku.
Sesampainya disamping Mas Gibran, aku menyalaminya dan ia mengecup dahiku beberapa saat. Aku dapat merasakan tak ada rasa bahkan rasa keikhlasan dari ciuman itu. Setelah pergantian cincin, sudut mataku menagkap kehadiran Hanum dan seorang gadis kecil dipangkuannya yang kuyakini adalah putrinya.
Setelah semua selesai, semua keluarga dan tamu mulai meminta izin untuk undur diri. Tidak ada resepsi disini, bahkan Ijab Qobulpun hanya mengundang keluargaku dan beberapa tamu Abi. Gibran meminta untuk menyembunyikan sementara karna ia belum siap untuk mengumbarnya sekarang.
Sebelum pamit, Hanum sempat menemuiku ditaman belakang, ia memberikan sebuah senyuman yang aku tau itu merupakan sebuah senyum paksaan. Ia memperkenalkan Putri cantiknya yang tampak bingung dengan keadaan sekitarnya.
"Namanya Asyura, tapi kamu bisa panggil dia Rara kok. Rara Salim sama Bunda sayang," perintah Hanum, Rara tampak menyodorkan tangannya jadi kuulurkan tanganku dan disalimi oleh Rara.
"Nai, bersikap biasalah padaku, bukankah dulu kita sahabat. Aku, kau, dan Mas Gibran," ucap Hanum padaku, aku hanya dapat mengangguk, semoga Hanum benar-benar ikhlas menerimaku.
"Nai, aku pamit dulu, kau boleh bermain kerumahku atau jika kau ingin tinggal bersama kami." duh, makin tak enak perasaanku. Apa Hanum sudah gila? Mengajakku tinggal bersama ia dan Mas Gibran. Lebih baik aku tetap berada disini, disamping Abi dan Umi.
"Tidak usah Han, aku tak ingin mengganggu kamu dan suamimu," balasku tak enak.
"Tapi kini kamu istrinya Mas Gibran juga kan." ya, memang seperti itu. Tapi untuk tinggal bersama rasanya aku tak ingin.
"Ya sudah, aku pamit dulu Nai, Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
🎬
Setelah dua hari menginap dirumah Abi dan Umi, Mas Gibran mengajakku untuk pindah kerumah yang sudah dipersiapkan Almarhum Ayahnya ketika hidup dulu. Awalnya aku sempat menolak, aku lebih suka tinggal bersama Abi dan Umi. Namun Umi kembali mengingatkanku bahwa surgaku terletak pada telapak kakinya, jadi aku hanya bisa pasrah dan mengikutinya.
Sekitar dua puluh menit perjalan, akhirnya aku dan Mas Gibran sampai juga disebuah rumah bernuansa putih yang terletak disudut kota. Rumah itu lumayan luas, bahkan aku yakin lebih luas dari rumah Abi dan Umi. Sungguh begitu baik hati Almarhum Ayah mertuaku itu.
Rumah ini tidak terletak di perumahan, hanya ada beberapa rumah mewah dan banyak rumah rumah sederhana disekelilingnya. Serta sebuah pondok pesantren yang berjarak sekitar lima ratus meter disebelah kanan.
Mas Gibran terus berjalan didepanku, dan aku hanya dapat mengekorinya dibelakang. Subhanallah, kata itu yang terlintas diotakku ketika kakiku menginjak lantai rumah ini. Sungguh begitu megah rumah yang disiapkan Ayah mertuaku. Rumah itu bernuansa putih, dan terdapat beberapa kaca lebar dibeberapa tempat hingga aku dapat melihat halaman sekitar yang ditumbuhi beberapa tanaman hias dan juga pepohonan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]
Novela JuvenilRangking #2 spiritual 06 April 2021 #1 muslim 21 April 2021 TERSEDIA VERSI E-BOOK Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua? Tidak ada! Apalagi menjadi istri kedua dari pasangan suami istri yang dulunya merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan jelas...