🍁25.

3.6K 189 3
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk berkutat didapur, aroma bawang goreng menyeruak membuat perutku keroncongan. Entah kenapa pagi-pagi begini aku ingin sekali memasak nasi goreng, biasanya setelah kepulangan Mak Jah aku hanya memakan selmbar roti untuk sarapan.

Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah terhidang tepat dihadapanku. Baru saja tanganku terangkat untuk menyuap, suara bel menghentikan pergerakanku.

Terpaksa kuletakkan kembali sendok dan menuju pintu depan untuk membukakan pintu.

"Assalamualaikum Bunda," teriak Rara dan menghambur ke pelukanku.
"Wa'alaikumussalam Rara," balasku.

"Hai Nai," sapa Hanum yang ikut hadir pagi ini, tak hanya mereka berdua tapi Mas Gibran pun ada.

"Hai, masuklah!" kami berempat beriringan memasuki rumah. Rara tampak bahagia sekali, bahkan ia dengan bersemangat berlari memasuki rumah.

"Kamu belum sarapan?" tanya Mas Gibran tiba-tiba. Kutolehkan kepalaku kearah pandangan Mas Gibran, ternyata Mas Gibran tengah menatap sepiring nasi goreng yang terletak diatas meja makan.

"Hmm, belum," jawabku.

"Maaf Bunda, ayo Rara temenin sarapannya." Rara menarik tanganku menuju meja makan dan menemaniku menghabiskan sarapanku.

"Hari ini Bunda kerja gak?"

"Enggak, kenapa?" bukannya menjawab pertanyaanku, Rara malah berteriak senang dan segera berlari menuju Mama Papanya.

"Kenapa Ra?" tanyaku mengikuti Rara menuju Hanum dan Mas Gibran yang tengah duduk diruang keluarga.

"Kita ingin ajak kamu ikut jalan-jalan bareng kita," jawab Hanum, Rara mengangguk mengiyakan jawaban Hanum.

"Kemana?"

"Danau," teriak Rara bersemangat. Aku tersenyum, danau adalah salah satu tempat yang paling aku sukai. Jika kebanyakan orang menyukai pantai, maka aku sangat menyukai danau.

Saat semua orang menyukai terik matahari maka aku begitu menyukai sejuknya udara didanau.

"Bunda ikut, kan?" tanya Rara memastikan.

"Bunda siap-siap dulu ya."

🎬

Sepanjang jalan suara Rara lah yang mendominasi, ia sibuk berceloteh tentang kegiatannya disekolah, sahabat-sahabatnya sampai kucing peliharaannya.

Aku dan Hanum sesekali menimpali celotehan panjang Rara, sedangkan Mas Gibran fokus dengan jalanan.

Tanpa disangka, mobil yang dikendarai Mas Gibran akhirnya sampai juga didanau yang cukup luas. Aku ingat, danau ini adalah danau yang dulu sering sekali kami kunjungi setiap libur sekolah.

Didanau ini pula untuk pertama kalinya aku merasakan jatuh Cinta untuk pertama kalinya kepada pria yang saat ini berdiri tepat didepanku.
Rara yang bahagia langsung berlarian ditaman tak jauh dari danau, disana juga banyak anak-anak seumurannya. Aku, Hanum, dan Mas Gibran memilih untuk duduk dibawah pohon yang rindang.

Dengan beralaskan karpet yang dibawa dari rumah, kami bersantai dan menyantap beberapa cemilan yang sudah disiapkan Hanum.

"Gak banyak yang berubah ya dari danau ini," gumam Hanum. Matanya terus menatap kearah tengah danau dimana banyak perahu-perahu kecil yang berkeliaran.

"Hmmm," gumamku dan Mas Gibran bersamaan.

"Nai, makasih ya udah menjadi sahabatku, sudah mengajarkan aku tentang islam dan menjadi seperti sekarang ini, aku ingin kamu juga mengajarkannya pada Rara," ucap Hanum serius, ia menatap tepat dimanik mataku membuatku jadi merinding.

"Yang Ibunya Rara kan kamu, harusnya kamu yang mengajarkannya, bukan aku," jawabku.

Hanum hanya diam dengan senyum yang mengembang dibibirnya, kutatap Mas Gibran dan ia juga terdiam seperti Hanum. Aku sedikit bingung dengan keadaan ini. Lebih tepatnya beberapa hari ini.

Pertengkaran Mas Gibran dan Hanum, Mas Gibran yang mulai berubah, dan sikap mereka saat ini. Ada apa sebenarnya ini?

"Lama ya kita gak kayak gini, terakhir kita bisa bareng-bareng kayak gini pas SMA, dan setelahnya pasti aja salah satu diantara kita yang gak bisa hadir," ucap Mas Gibran menghancurkan suasana canggung yang tercipta.

"Mengingat masa SMA aku ingat banget pas kita dihukum bersihin taman gara-gara telat, trus Nai teriak sampai nangis cuma karna ada cacing disepatunya," cerita Hanum mengingat masa lalu.

"Hei, jangan diingat lagi. Itu semua gara-gara Mas Gibran, siapa suruh dia sakit perut pagi-pagi jadinya kita bertiga jadi telat," protesku.

"Jangan salahkan aku, salahkan nasi goreng Hanum yang membuat perut ku mulas," timpal Mas Gibran yang membuat sebuah pukulan mendarat dibahu sebelah kirinya.

"Siapa suruh kamu curi sarapanku?" protes Hanum. Kami bertiga tertawa.

Terima kasih Ya Allah, telah mengembalikan kedua sahabatku. Namun entah mengapa, aku merasa masih ada sesuatu yang menganjal dihatiku, masih ada jurang yang memisahkan kami.

"Andai hari itu kamu gak diganggu sama kakak-kakak kelas itu mungkin kita berdua gak bakal kenal kamu Nai." lagi Hanum mengingat kembali masa-masa SMA dulu.

Aku masih ingat pertemuan pertama kami, saat itu jam istirahat sholat dilorong sepi menuju mushola. Aku heran kenapa lorong itu sepi, padahal sudah saatnya melaksanakan sholat zuhur.

Tiba-tiba dari arah berlawanan datang segerombolan kakak kelas dengan penampilan mencolok mereka. Rambut yang dicat coklat dan kuku dengan warna merah darah. Aku melewati mereka dengan kepala menunduk.

Aku terkejut ketika menarik khimar putihku, kubalikkan tubuhku dan mereka menatapku dengab tajam. Lalu tiba-tiba salah satu diantara mereka mengambil mukenahku dan saling melemparkannya.

Berusaha aku membujuk agar mereka mengembalikan mukenahku, namun mereka malah menertawakanku.

Namun entah datang dari mana, seorang pria datang dan meraih mukenah yang ada ditangan salah seorang dari mereka. Mereka terlibat perdebatan namun tak berapa lama gerombolan kakak kelas itu berlalu dan sempat menambrak bahuku.

Dengan menundukkan kepala aku berterima kasih pada lelaki yang telah menolongku. Suara seorang perempuan membuatku mengangkat sedikit kepalaku. Seorang perempuan dengan rambut diikat kuda berlari kearah kami dengan memanggil nama 'Gibran'. Perempuan itu adalah Hanum.

Sejak pertemuan itu, mereka akhirnya menjadi sahabatku. Dimana mereka berada maka disana juga ada aku. Walau sering kali aku mendengar cacian dari orang-orang karna mereka mau berteman dengan orang sepertiku namun mereka tetap bersahabat denganku.

Tiga bulan setelah mengenal mereka, Hanum akhirnya memutuskan untuk menggunakan hijab sepertiku. Walau banyak rintangan yang ia lewati, namu ia tetap beristiqamah dijalan Allah. Aku bersyukur karna telah membuat sahabatku kembalin kejalan Allah.

"Hei kenapa melamun?" tanya Hanum menggoncang tubuhku. Aku tersadar dan mengedarkan pandanganku. Ternyata Mas Gibran sudah berada didekat Rara dan yang tertinggal hanya aku dan Hanum.

"Makasih ya Nai, tanpa kamu mungkin aku tidak akan seperti ini, mungkin aku masih jauh dari jalan Allah. Sekali lagi makasih ya Nai."

"Jangan berlebihan Hanum, kamu itu sahabat aku, sudah sepatutnya aku mengajak sahabatku kejalannya Allah."

Hanum memelukku erat, aku dapat merasakan tubuhnya berguncang dalam pelukanku. Sesungguhnya aku bingung dengan apa yang terjadi, namun aku takut untuk bertanya jadi aku hanya mampu mengelus punggung Hanum memberinya ketenangan.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang