🍁18.

3.3K 199 5
                                    

Seperti hari biasanya, aku disibukkan dengan jadwal operasi yang lumayan padat. Mulai dari operasi ringan hingga operasi berat.

Lihatlah sekarang, semakin banyak saja pasien yang mengantri untuk datang check up. Sejak tadi pagi, aku belum sempat mengistirahatkan tubuhku walau sejenak.

Pukul setengah satu aku baru bisa bernafas lega, walau setelah makan siang nanti aku harus kembali menghadapi beberapa pasien lagi.

"Assalamualaikum Nai," salam seseorang dari belakangku, ketika kubalikkan tubuhku kulihat Robby yang tengah berdiri dengan wajah kusutnya.

"Wa'alaikumussalam Rob, loh wajahmu kenapa?" tanyaku bingung melihat ekspresi Robby yang tak seperti biasanya.

"Apa kamu sibuk? Bisa kita bicara sebentar?" tanya Robby dengan nada yang serius. Sepertinya Robby memiliki masalah yang cukup rumit saat ini.

"Hmm, habis ini aku masih ada jadwal sih, tapi kalau mendesak kita bisa bicara sambil makan di kantin saja ya!" putusku akhirnya. Robby menganggukkan kepala dan mengikutiku menuju kantin rumah sakit. Hari ini aku sedang dalam masa tamu bulanan, jadi kami bisa langsung menuju kantin rumah sakit.

"Ada apa Rob?" tanyaku setelah kami duduk dan memesan makanan.

"Masih masalah yang terakhir kali kita ketemu Nai," jawab Robby yang membuatku berfikir sejenak sebelum teringat akan masalah Robby.

"Aku sudah melakukan istikharah seperti yang kamu suruh, tapi sampai saat ini aku belum mendapatkan jawabannya, sedangakan Mamaku terus mendesakku, aku makin bingung Nai," jelas Robby sebelum kutanyakan apa masalahnya. "Apa mungkin berarti ia bukan jodohku Nai?"tanya Robby.

Aku tidak tau mau menjawab apa, aku takut jawabanku nanti akan menyakiti hatinya.

"Kalau Nai boleh tau siapa gadis itu? Apa Nai mengenalnya?" tanyaku akhirnya.

"Kamu mengenalnya, sangat mengenalnya," ucap Robby yang makin membuatku bingung. Aku sangat mengenalnya? Apa mungkin sahabatku? Tapi bukankah kedua sahabatku telah menikah?

"Aku tidak mengerti maksud mu Rob, katakanlah siapa gadis itu? Siapa tau aku bisa membantumu."

"Gadis itu... Hmmmm.... Itu.... Gadis itu... "

Brakkk

Aku dan Robby sama-sama terkejut mendengar suara itu, mungkin bukan hanya kami yang terkejut tapi juga seisi kantin. Terbukti dari mereka yang langsung melirik kearah meja ki tempat suara berasal.

"Bagus, keluar dengan lelaki lain tanpa seizinku, sekarang pulang!" sebuah tangan menarikku untul berdiri, namun Robby sudah terlebih dahulu mencegahnya.

"Apa-apaan kamu Bran? Apa yang kamu lakukan? Apa maksud perkataanmu? Dan apa hakmu melarang aku bertemu dengan Naima?" tanya Robby beruntun tak terima perlakuan Mas Gibran, aku hanya terdiam, otakku masih mencerna apa yang tengah terjadi.

"Apa yang aku lakukan? Yang aku lakukan hanya memarahi istriku karna sudah keluar dengan lelaki lain tanpa izinku."

Aku terdiam, seisi kantin pun terdiam. Beberapa rekan kerjaku yang juga berada dikantin menatapku tak percaya.

"Mas!" tegurku, namun ia hanya diam ditempatnya. Kutatap Robby yang juga menatapku bertanya sekaligus kecewa.

"Rob," panggilku namun Robby hanya mampu menatapku. Sekali lagi aku ingin memanggilnya, tapi Mas Gibran sudah terlebih dahulu menarik tanganku pergi dari kantin rumah sakit.

🎬

Sepanjang perjalan pulang tak ada satu pun diantara kami yang membuka pembicaraan. Aku yakin Mas Gibran masih dalam keadaan marah, jelas terlihat dari wajahnya yang memerah dan urat yang muncul didahinya. Namun aku juga dalam keadaan marah, marah atas perbuatan Mas Gibran tadi.

Mobil Mas Gibran berhenti tepat didepan rumah kami, tanpa kata ia turun dan meninggalkanku. Dengan rasa marah yang menggebu, kuikuti langkahnya menuju lantai dua. Ketika ia hendak memasuki kamarnya, kutarik sebuah tangannya hingga ia berbalik menatapku.

"Apa maksud semua ini? Mas bilang jangan memberi tahukan pernikahan ini bukan? Karna Mas Malu bukan? Lalu kenapa sekarang Mas yang membongkarnya dan mempermalukan Nai, apa yang teman-teman Nai katakan nantinya?" ucapku marah tanpa sadar menaikkan nada suaraku.

"Aku tidak tau," jawabnya yang makin menyulut emosiku.

"Apa maksud Mas dengan tidak tau!"

"Aku tidak tau Naima, aku hanya marah ketika melihatmu dengan Robby, dan kata-kata itu seketika meluncur dari bibirku, aku tidak tau," balasnya dengan nada yang memelas.

Aku sedikit tersentak dengan jawaban Mas Gibran. Apa Mas Gibran cemburu melihatku dengan Robby? Kalau begitu apa Mas Gibran sudah menerimaku seutuhnya?

Kali ini aku tidak bisa lagi menahan hatiku, hatiku benar-benar telah terbang.

Mas Gibran mengacak rambutnya dan kembali berlalu meninggalkan ku sendirian tepat didepan pintu kamarnya. Tak lama terdengar suara mobil yang menjauh, aku yakin itu suara mobil Mas Gibran.

🎬

Disabtu pagi yang cukup cerah ini aku sudah siap dengan baju gamis dan khimar instan ku. Aku ingin bertemu dengan Robby setelah semalam Robby memintaku bertemu, tentu saja aku sudah mengirimkan sms pada Mas Gibran, tapi aku tidak tau apa ia sudah membacanya atau belum.

"Assalamualaikum Rob," salamku setelah sampai di meja tempat Robby duduk.

"Wa'alaikumussalam Nai, duduklah!" perintah Robby datar. Aku takut, bagaimana tidak setelah kejadian semalam aku pasti takut Robby akan marah denganku.

"Rob," panggilku.

"Aku kecewa Nai, aku mengenalmu lama, dari kita kuliah dulu, hal sebesar ini kalian rahasiakan dariku. Kamu itu sahabatku Nai, Gibran itu sepupu iparku, bagaimana mungkin ini terjadi."

"Dan apa kamu tau apa hal yang paling membuatku kecewa? Apa kamu tau siapa gadis yang selama ini aku maksud, yang ingin aku pinang?" apa maksud Robby Ya Tuhan? Apa sangkut paut gadis itu denganku?

"Hal yang paling membuatku kecewa adalah pernikahanmu karna gadis yang ingin kupinang adalah kamu Naima, pantas saja aku tidak mendapatkan jawaban atas istikharahku, ternyata gadis yang kumaksud telah menikah. "

Deghh

Apa maksudnya Tuhan? Bagaimana mungkin Robby menyukaiku. Mang benar selama ini banyak yang mengatakan Robby menyukaiku, namun selama ini Robby tidak pernah menunjukkan perasaannya.

"Maaf Rob, Maafkan aku," ucapku gugup. Robby menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya perlahan.

"Tidak Nai, aku lah yang meminta maaf, tidak seharusnya aku menyalahkanmu, aku sama sekali tidak tau masalah apa yang terjadi diantara kalian. Mungkin inilah takdir kita, kita harus ikhlas menjalaninya, lagian kita tidak bisa mengubahnya bukan?"

Sungguh, aku tidak tau dari apa hati Rooby terbuat. Bagaimana ia bisa setegar ini dan bisa berfikir sepositif ini. Kalau aku yang berada diposisi Robby, belum tentu aku bisa melakukannya.

"Kalau aku boleh tau bagaimana bisa kamu dan Gibran menikah, bukankah Gibran sudah menikah denga Hanum?" pertanyaan ini! Pertanyaan ini yang paling kutakuti. Aku takut untuk mengingat betapa sakitnya ketika ditolak dulu.

Namun, aku tetap menceritakannya walau dengan nada yang bergetar. Robby dengan sabar mendengar ceritaku dan dengan baik hati memberi dukungan untukku.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang