🍁26.

3.5K 182 6
                                    

Minggu berlalu, hubunganku dengan Mas Gibran dan Hanum makin hari makin membaik. Hampir setiap hari Mas Gibran selalu berkunjung kerumah, dari sekedar berkunjung sampai menginap. Tak jarang juga Mas Gibran selalu menelfonku hanya sekedar menanyakan keadaanku.

Alhamdulillah, aku bahagia dengan keadaan sekarang ini. Tapi aku masih merasakan sesuatu yang menganjal dihatiku, sesuatu yang belum bisa aku ungkapkan. Sesuatu yang kuyakin akan merusak segala keadaan saat ini. Sesuatu yang dinamakan dengan perasaan.

Awalnya aku menolak perasaan ini, aku berusaha meyakinkan kalau perasaan yang dulu ada tidak akan pernah kembali. Namun semakin aku menolaknya, ia semakin bangkit menghantam hatiku.

Tapi sejak tiga hari yang lalu, aku tak lagi mendapat pesan ataupun telfon dari mas Gibran, juga aku tidak mendapati kedatangan Mas Gibran dirumah.

Aku hanya takut sesuatu terjadi pada mereka. Aku tidak ingin bersuudzon, hanya saja hatiku terus mengatakan akan hal itu. Kucoba menghubungi keduanya, namun satu pun diantara mereka tak ada mengangkat telponku.

Aku makin khawatir karna ponsel mereka aktiv, dengan perasaan tak menentu aku berangkat kerumah mereka menggunakan taksi.

Disepanjang jalan aku kembali berusaha menghubungi mereka, namun nihil, mereka masih belum mengangkatnya.

Setibanya didepan rumah Mas Gibran, aku segera turun dan berlari menuju rumah Mas Gibran. Beberapa kali kuketuk pintu rumah, namun tak ada jawaban sama sekali.

Pintu yang kuketuk sedikit bergerak, ternyata pintunya tidak terkunci. Tanpa ragu aku segera masuk dan mencari keberadaan Mas Gibran dan Hanum didalam rumah.

Baru saja aku akan berteriak memanggil mereka, suara ribut yang berasal dari dapur menghentikan pergerakanku. Samar-samar aku dapat mendengar kalau itu suara Hanum dan Mas Gibran. Kulangkahkan kakiku perlahan menuju arah dapur.

Benar saja, didapur aku melihat Mas Gibran dan Hanum yang sedang beradu mulut. Awalnya aku ingin pergi karna tak ingin menguping, namun karna namaku ikut disebut-sebut kakiku jadi membeku ditempat.

"Hanum mohon, jangan lagi Mas sakitin hati Nai, dia wanita yang baik, aku gak mau lagi menyakiti hatinya."

"Mas berusaha Hanum, Mas berusaha tidak menyakiti hati Nai tapi ini malah menyakiti hati Mas, Mas gak bisa," aku terdiam, jadi selama ini Mas Gibran tersakiti karna ini.

"Tapi Mas, Nai tetap istri Mas, sudah jadi tanggung jawab Mas memberinya nafkah lahir dan batin." walau Hanum membelakangiku, tapi aku tau pasti kalau Hanum menangis terbukti dengan nada suaranya yang bergetar.

"Cukup Hanum, Mas bosan, apa belum cukup dengan menikahi Naima, lalu sekarang kamu memintaku untuk mencintainya, cukup! Aku tidak ingin lagi, sudah cukup semua ini!"

Aku terdiam, aku kira Mas Gibran sudah benar-benar ingin berbaikan denganku. Namun apa lagi ini? Drama apa lagi yang akan mereka buat? Permainan apa lagi ini?

"Lalu apa yang akan Mas lakukan? Ngak mungkin Mas selalu bersikap seperti ini, dia tetap istri sah Mas."

"Mas akan menceraikannya."

CERAI!

Kata itu bagai bom yang meluluh lantakan hatiku. Kakiku melemah, hatiku hancur, air mataku mengalir tak henti. Selama ini dengan semua masalah ini aku tak pernah sekalipun memikirkan perceraian dalam pernikahan ini.

Sesakit apapun hatiku, aku berusaha menerima Mas Gibran. Tapi kenapa malah takdir ini yang harus aku lewati Tuhan?

Tak lagi kudengar pertengkaran keduanya. Aku hanya berjalan sambil diam dengan air mata yang terus mengalir. Aku terus berjalan hingga sebuah taksi berhenti tepat didepanku.

Setelah menyebutkan alamat Umi, mobil bewarna biru itu melaju meninggalkan tempat terburuk dihidupku.

"Assalamualaikum Umi," salamku. Air mataku memang sudah mengering, namun aku masih belum dapat menghentikan isakan yang masih keluar dari bibirku.

"Wa'alaikumussalam, Nai ada apa?" tanya Umi terkejut mendapatiku yang berdiri murung didepan pintu. Aku memeluk Umi sejenak sebelum berlalu kekamarku dan mengunci pintunya.

Aku menangis, menumpahkan segala beban yang ada dihatiku. Umi terus mengetuk pintu menanyakan keadaanku, tapi aku tidak ingin memperlihatkan kehancuranmu pada Umi, karna pasti juga akan membuatnya hancur.

🎬

Perlahan kubuka mataku yang terasa berat, aku tak sadar jika aku sudah tertidur sehabis menangis. Setelah mengambil wudhu dan melaksanakan sholat maghrib, kukuatkan hatiku untuk bertemu dengan Abi dan Umi diruang makan.

Seperti dugaanku, Umi dan Abi menatapku dengan pandangan bertanya. Namun tak ada diantara mereka yang mampu membuka pembicaraan terlebih dahulu.

Selama makan malam, Umi hanya menanyakan keadaanku tanpa mau menyinggung masalah apa yang aku hadapi.

Tapi aku tetap tak ingin menyembunyikannya pada Umi dan Abi. Setelah makan malam kami bertiga duduk diruang keluarga. Hanya diam.

"Ada apa sayang? Apa yang terjadi dengan Putri Abi?" tanya Abi halus. Ku genggam jemariku erat hingga buku-buku kukuku memutih.

Akhirnya cerita itu perlahan meluncur dari bibirku, walau beberapa kali tersendat, tapi aku berusaha menyelesaikannya. Umi terus mengusap punggungku agar aku sedikit tenang.

"Maafkan Abi dan Umi Nai, kami sungguh minta maaf," ucap Umi menenangkanku. Aku mengangguk, tak mampu membalas ucapan Umi. Aku tak pernah menyalahkan Umi dan Abi akan masalah ini.

"Apa keputusan Nai?" tanya Abi. Aku juga ragu apa yang akan aku lakukan kedepannya. Aku hanya takut, akankah aku sanggup untuk kehilangan Mas Gibran untuk kedua kalinya, apalagi setelah aku yakin bahwa perasaan itu sudah benar-benar kembali.

"Nai gak tau Bi, Nai hanya ingin bertenang diri dulu, Abi jangan kasih tau Ibu ataupun Mas Gibran dulu ya!"

"Kenapa sayang?"

"Biarlah dulu Bi," Abi mengangguk menanggapiku. Tangan besar Abi terulur mengusap kepalaku sayang. Aku tau Abi juga sedih, terlihat jelas dari sorot matanya. Tapi itu lah seorang ayah, ia tak pernah mengungkapkan perasaannya, namun rasa sayangnya tak dapat dipertanyakan.

🎬

Jam sembilan malam aku sudah kembali terlelap, namun tepat pukul dua dini hari aku kembali terbangun. Kuambil wudhu dan melaksanakan sholat malam, dan seperti biasa akan kututup dengan sholat witir tiga rakaat.

Baru setelah itulah aku menyampaikan segala keluh kesahmu pada Rabb-ku. Dengan deraian air mata aku meminta ampun kepada Allah, juga meminta agar Beliau memberiku kekuatan dalam menjalani ujian ini.

"Ya Allah, sungguh berat ujian yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini. Hamba tak yakin apakah hamba sanggup menghadapinya. Hamba tau, Engkau tak akan memberikan hamba ujian melebihi batas kemampuan hamba, hamba hanya takut tak bisa menjalaninya. Ya Allah, bimbinglah hamba dalam menjalani ini semua."

"Ya Allah, tunjukkanlah hamba jalan yang harus hamba tempuh agar hamba bisa keluar dari masalah ini. Jika memang takdir hamba tidak bersama suami hamba, maka hilangkanlah segala rasa dihati hamba, tapi jika takdir ingin menyatukan kami, terangilah jalan menuju kebersamaan itu. Aamiiinnn."

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang