🍁15.

3.5K 202 5
                                    

Senyumku tak mau luntur sejak aku terbangun pagi ini, setelah menemani Mas Gibran makan tadi malam aku merasa hubunganku dan Mas Gibran sudah mulai membaik, dan semoga memang begitu.

Setelah sholat subuh aku segera turun menghampiri Mak Jah yang tengah menyiapkan alat-alat untuk memasak.

"Mak, kali ini Nai yang masak ya," pintaku pada Mak Jah. Awalnya Mak Jah menolak, namun aku berusaha membujuk Mak Jah dan akhirnya aku diizinkan untuk memasak sarapan untuk pagi ini.

Tepat setelah aku menyelesaikan masakanku, Mas Gibran turun dengan pakaian yang sudah rapi. Kutebarkan senyumku, walau Mas Gibran hanya membalas dengan wajah bingungnya, namun setidaknya bukan wajah datar yang ia perlihatkan pagi ini.

"Nai masak nasi goreng untuk Mas, dicoba ya!" aku tidak yakin kalau masakanku enak. Oh tidak, apa tadi aku kebanyakan memasukkan garam? Atau terlalu banyak memasukkan cabe? Aduh... Gimana kalau tidak enak?

Pikiran itu mulai menghantuiku, aku tidak tau dengan apa yang aku pikirkan, aku hanya takut Mas GibrAn kecewa dengan masakanku.

Mas Gibran mulai menyuap sesendok nasi goreng, wajahnya menunjukkan ekspresi biasa saja. Aku jadi bingung dengan hasil masakanku. Apakah enak?

"Lumayan." hufttt.... Akhirnya aku bisa bernafas lega. Walau hanya kata lumayan yang aku dapatkan tapi setidaknya masakanku tidak terlalu buruk.

🎬

Pekerjaanku hari ini benar-benar sibuk. Ada dua jadwal operasi yang harus aku lakukan, belum lagi mem-follow up pasien-pasien ku. Ini lah resiko menjadi seorang dokter, namun pekerjaannya begitu mulia.

Baru saja aku hendak beranjak dari kamar pasien menuju ruanganku, sebuah panggilan masuk menghentikan langkahku. Kukeluarkan ponsel yang tersimpan di saku snelli dan ternyata itu panggilan dari Mbak Fatimah.

"Assalamualaikum Mbak."

"Wa'alaikumussalam Nai, sibuk gak?"

"Sekarang sih Nai masih dirumah sakit, jam lima nanti baru pulang, kenapa Mbak?"

"Pulang nanti bisa kerumah Mbak dulu gak, ada yang mau Mbak kasih tau."

"Insyaallah ya Mbak."

Setelah sambungan terputus kulanjutkan langkahku menuju ruanganku yang sempat tertunda. Kusandarkan punggungku dan mencari posisi ternyaman, dan setelah mendapatkannya ku pejamkan mataku sesaat untuk menghilangkan rasa penatku.

"Mbak Fatimah mau kasih tau apa ya? Apa penting banget?" gumamku dengan mata terpejam. Sebenarnya tubuhku benar-benar lelah dan membutuhkan istirahat namun aku tidak ingin mengecewakan Mbak Fatimah, lagian sepertinya tidak akan lama.

🎬

Sehabis Maghrib aku sudah sampai dirumah Mbak Fatimah yang terletak tak jauh dari rumah sakit, namun lumayan jauh dari rumahku.

"Nai, akhirnya kamu datang juga ayo masuk!" Mbak Fatimah menarikku hingga ruang tamu. Rumahnya nampak sepi, sepertinya suami Mbak Fatimah belum pulang dari bekerja.

"Mbak bikin minum dulu ya, kamu tunggu sebentar saja." aku hanya menganggukkan kepala.

Tak berapa lama, Mbak Fatimah kembali dengan segelas teh panas dan beberapa cemilan.

"Nih Mbak buatkan teh panas, kamu pasti capek, kan?" tanya Mbak Fatimah dan menyodorkan segelas teh panas kearahku.

"Makasih ya Mbak," ucapku dan menyeruput sedikit teh panasnya. Alhamdulillah. "Oh ya, Mbak mau kasih tau apa?" tanyaku langsung.

"Jadi gini Nai, setelah Mbak pikir-pikir Mbak ingin memberitahumu semua tentang Gibran biar kejadian waktu itu tidak terulang lagi," jelas Mbak Fatimah.

Aku jadi dengan kejadian dirumah Ibu beberapa minggu lalu. Sungguh itu hal yang begitu memalukan. Aku jadi bersemangat untuk mendengarkan penjelasan Mbak Fatimah, semoga ini menjadi jalanku untuk menjadi istri yang sholehah.

Rasa penat dan capekku hilang dengan canda tawa Mbak Fatimah, ia menceritakan segala tentang Mas Gibran. Mulai dari kebiasaannya, apa yang ia suka, dan apa yang ia tidak suka. Sedikit-sedikit aku mulai mengerti hal-hal yang harus aku lakukan.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika aku dan Mbak Fatimah sadar dari gurauan kami. Aku terkejut dan meminta izin untuk pulang. Awalnya Mbak Fatimah memintaku untuk menginap, namun esok pagi aku harus bekerja jadi aku harus tetap pulang. Sedangkan untuk mengantarku pulang, suami Mbak Fatimah masih belum pulang dan Mbak Fatimah tidak bisa mengendarai kendaraan.

"Duh, kamu yakin mau pulang juga, ini sudah lumayan malam loh Nai, mau hujan lagi," ucap Mbak Fatimah khawatir. Langit mulai melibatkan kilatan-kilatan putihnya, tapi bagaimana pun aku harus pulang.

"Gak papa kok Mbak," jawabku menenangkan Mbak Fatimah.

"Atau telfon Gibran saja minta ia menjemputmu," usul Mbak Fatimah. Yang benar saja, tidak! Aku tidak ingin merepotkan Mas Gibran.

"Gak usah Mbak, Nai bisa pulang sendiri kok, Nai pamit ya." setelah pamit kukendarai motorku membelah jalanan kota Jakarta yang mulai sepi karna ini sudah waktunya mereka beristirahat.

Motor kukendarai dengan kecepatan sedang, menikmati udara malam kota Jakarta. Toko-toko yang berjejer ditepi jalan masih menjejelkan jualan mereka. Lampu-lampu kota bagaikan pengganti Bintang yang menerangi gelapnya malam.

Sebuah kedai pecel lele menggiurkan seleraku, perutku rasanya keroncongan minta diisi. Dan akhirnya kuputuskan untuk mampir sejenak, mudah-mudahan hujan tidak turun ketika aku selesai makan nanti.

Sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya terhidang didepanku. Aroma terasinya begitu menggodaku untuk segera mencicipinya. Di udara dingin seperti ini memang makan adalah pekerjaan yang paling seru.

Kedai dipinggir jalan ini penuh dengan pengunjung, dari anak muda sampai orang dewasa. Mereka begitu menikmati sepiring makanan yang mereka santap.

Setelah menghabiskan makananku, kembali kulakukan motorku menuju rumah. Toko-toko mulai tutup, orang-orang mulai kembali kerumahnya untuk beristirahat. Aku mulai ketakutan dengan jalan yang sepi, ditambah dengan rinai hujan yang mulai turun membasahi bumi.

Lama-kelamaan rinai itu berubah menjadi rintik hujan yang semakin lebat. Dalam sekejap, tubuhku sudah kuyup terkena hujan. Kuputuskan untuk berteduh sejenak disebuah toko yang sudah tutup, tapi tempat itu begitu sunyi.

Ternyata aku memilih tempat yang salah untuk berteduh. Tak berapa lama aku berdiri disana, dua lelaki bertubuh kekar berdiri tak jauh dariku. Aku mulai ketakutan, berharap ada seseorang yang dapat membantuku.

Aku bertambah takut ketika mereka mulai melirik kearahku. Tanpa menunggu apa lagi, kurogoh kantungku dan mengambil ponsel didalam sana dan segera menghubungi Mas Gibran.

🎬

Gibran POV

Setelah sambungan tertutup aku hanya terdiam dikursiku. Hujan diluar sana membuatku malas untuk bergerak. Apalagi melihat Hanum yang sudah tertidur di sofa dekat meja kerjaku.

Namun pikiranku kembali melayang memikirkan Naima. Gadis itu sekarang tengah berada diluar sendirian. Aku tau dia wanita yang hebat, agamanya begitu kuat. Namun ia tetaplah wanita yang berbahaya jika berada diluar sendirian dimalam hari seperti ini.

Tanpa memikirkan apa lagi, kuraih jaketku dan kunci mobil yang terletak diatas meja kerjaku dan segera berlalu tanpa membangunkan Hanum terlebih dahulu.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang