Iris mata berwarna coklat itu terus menatap ke arah depan, tangan dengan jemari berkuku pendeknya, mengelus perut. Sedetik setalah menghirup udara Yuri bangkit dari sofa menuju mini bar yang terletak di salah satu sudut ruangan. Tentu saja ia tidak meminum bir. Melainkan menyeduh coklat panas, sekedar menghangatkan suhu tubuhnya. tubuhnya sedikit mengigil, karena cuaca di luar sana.
Hujan deras sedang menyiram kota, suara gemuruh terdengar samar-samar di luar sana.
biasanya di saat-saat cuaca seperti ini, Jungkook pasti sibuk menyuruhnya, memakai ini, itu, atau sekedar omelan posesif seperti seorang suami.Mini bar ini Jungkook yang membangunnya. Pria itu menaruh beberapa wine mahal, di rak rak atas. Tapi, Yuri tidak pernah meminumnya lagi, Jungkook melarangnya sekarang. Pernah beberapa kali mereka minum bersama di mini bar ini. Tapi sebelum ia hamil. Pikirnya kembali melayang pada beberapa bulan yang lalu. Mereka beberapa kali pernah minum sampai mabuk di mini bar ini, lalu berakhir dengan saling berbagi kehangatan di atas ranjang. Lalu paginya, ia sudah di sambut oleh wajah Jungkook yang masih tertidur dengan wajah bayinya.
Jungkook sering sekali menginap disini, apalagi semenjak kandungannya sudah besar begini. Pria itu bertambah posesif.
Tapi tidak, sudah tiga hari Yuri pulang dari rumah sakit. Selama itu pula Jungkook tidak pernah mengabarinya. Jika tidak sibuk, Jungkook selalu rutin menghubunginya. Mengingatkan ini dan itu atau sekedar bertanya, sudah berapa kali bayinya bergerak dalam satu hari.
Semenjak pertengkaran mereka di rumah sakit, ah lebih tepatnya Yuri yang meminta mengakhiri hubungan mereka. Jungkook menjauh, Yuri merasa seolah-olah ia sudah di buang. Yah, itu bagus. Yuri tidak ingin menjadi perebut suami orang.
Kenapa? ada sesuatu dari lubuk hatinya berdenyut sakit. Ketika Jungkook mulai menjauhinya. Jauh, di dalam hatinya. Ia ingin Jungkook, ia ingin merasakan dekapan Jungkook, ia rindu usapan Jungkook di perutnya. Penghidungnya rindu akan aroma lelaki itu.
Lama Yuri termenung, meletakan secangkir susu coklat panasnya di meja berkramik marmer. Lantas, ia merunduk, menatap perutnya yang buncit.
"Rindu, ayah ya?" Yuri menatap perutnya sendu, bokongnya ia dudukan di kursi depan meja. Menyeruput coklatnya setelah meniupnya pelan.
Hyun-joo bilang, kandungan Yuri melemah. Sebab itulah Yuri jarang merasakan pergerakan di dalam perutnya. Sebelum-sebelumnya, dalam satu hari setidaknya Yuri bisa meresakan 2 sampai 3 kali pergerakan, rasanya seperti kedutan sekilas di beberapa bagian perut. Tapi sekarang? ah, Yuri juga rindu akan pergerakan dari bayinya.
"Cepat membaik ya sayang, kau anak yang kuat. Ibu menyayangimu....."
Hampir setengah gelas Yuri menghabiskan coklat panasnya, sudah pukul 16.45 tapi langit sudah sangat gelap karena hujan masih turun, dan awan hitam masih menggelung di atas sana.
Di tengah suara rintikan hujan, Yuri bisa mendenar suara langkah kaki di ruang tengah.
Siapa yang datang? batinya, apakah itu Jungkook. Yuri menajamkan pendengarannya.30 detik setelahnya Yuri memutuskan untuk menghampiri sumber suara tersebut.
Disana, ia bisa melihat Jungkook, duduk di sofa dengan rambut yang sedikit basah, mungkin karena hujan. Lelaki itu menyadarkan kepalanya pada punggung sofa, memejamkan matanya sembari menggerutkan dahinya.
"Tuan?"
Yuri tidak berani memanggil Jungkook seperti sebelumnya. Mereka bukan siapa-siapa lagi, semenjak Yuri memutuskan hubungan mereka. Ia lebih memilih memanggil Jungkook dengan panggilan seperti saat awal-awal mereka bertemu.
"Aku merindukan anakku" Jungkook secara tiba-tiba menarik Yuri duduk pangkuannya. Yuri membulatkan matanya, sedetik kemudian ia menatap sendu Jungkook yang sibuk menciumi perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PAIN [√]
Fiksi PenggemarMengeja sakit yang berbaris pada riwayat, lalu beritahu di mana titik akhir itu? Bukan seperti daun maple yang bertabur karena arah angin, lalu menemui akhir. Ini lebih pelik daripada itu. Tapi, sejauh mana Shin Yuri mengeja langkah, untuk mencari p...