Kendati sunyi yang masih menyambangi bersama pekat malam yang terasa mencekam, Yuri masih betah berteman dengan gelap, terduduk dalam lamunan, menyadar ke salah satu sisi tembok, dengan mata yang menatap nanar ke arah cahaya bulan yang menyela lewat celah gorden yang tersibak.
Tangan kosong itu meraba ke arah perutnya, mengelus bekas luka jahitan bersama dada berdesir pilu. Luka ini mungkin sudah mengering, darah tidak lagi bercucuran seperti di malam tragedi itu. Tapi, satu hal yang tidak akan pernah hilang akibat tragedi itu, luka hatinya.
Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah melupakan kejadian itu.
Sekarang ini, dengan tanktop yang dibalut cardigan oversize, ia semakin mengeratkan pakaiannya karena dingin yang semakin kejam menghujam. Yuri baru saja menidurkan Yo Han, balita itu tidur setelah siang tadi diasuh oleh nenek dan kakeknya, lalu malamnya Yo Han diantar kesini. Merasa Yo Han sudah terlelap tenang, Yuri melangkah ke arah pintu balkon tepat di sebelah jendela yang gordenya tersibak.
Balkon sering menjadi tempatnya menghabiskan waktu.
Termenung, seperti menemani cahaya bulan yang menyorot, menekuk lutut bersama mulut yang membisu, Yuri sering menghabiskan waktu dengan cara seperti ini.
Semenjak kejadian itu, setelah Yuri pulang dari rumah sakit, ia jarang sekali berbicara pada Jungkook, Taehyung, Hyun-joo, atau siapapun itu. Kecuali ibu Jungkook yang sering mengunjungi cucunya di sini.
Yuri ingin bersembunyi dari dunia luar, jika bisa rasanya ia ingin sekali pergi dari kota. Di mana hanya ada Yo Han dan dirinya saja. Mungkin setelah keadaan mental dan tubuhnya sudah benar-benar stabil, Yuri ingin hidup di tempat lain.
Tentang Eunji dan Jun Yung, Yuri bahkan bergetar takut ketika menyebut nama mereka di dalam relung hati. Rasanya ketika ia disiksa, ditikam oleh pisau, lalu memohon untuk minta dibiarkan hidup. Perasaanya sakit bukan main, seperti binatang buruan yang memang sudah direncanakan untuk dibunuh, Yuri merasa dirinya tidak jauh beda dengan seekor babi yang tidak berdaya kala itu, setiap bagian dalam tubuhnya seolah dicabik-cabik. Tidak ada orang yang membantunya sama sekali, seakan pasrah pada kematian. Demi Tuhan, bahkan pukulan, injakan, benturan, jambakan, dan tusukan rasanya masih terasa jelas pada setiap inci tubuhnya.
Ia ingin melupakan kenangan buruk itu, ia ingin menyingkirkan apapun kenangan pahit yang berada dalam hidupnya. Sakit sekali, dadanya sesak bukan main, jantungnya seolah dipaksa berhenti, Yuri meresapi setiap kesakitan yang ia rasa selama hidupnya. Bukan hanya sakit karena malam tragedi itu saja, tapi semuanya.
Terpisah dari orang tua kandung, hidup serba kekurangan di desa, manahan lapar setiap hari, menjadi pelacur, dilecehkan setiap malam, lalu bertemu Jungkook dan Eunji, lalu hampir saja tewas di tangan kakaknya sendiri.
Yuri akhirnya bangkit dari duduknya, merasa tidak tahan. Ia akhirnya menangis tanpa suara. Lalu membentur-benturkan kepala pada tembok dan menjambak rambutnya sendiri.
Ia ingin marah. Tapi pada siapa? siapa yang harus ia marahi atas penyebab kesakitannya selama ini. Yuri tidak menemukan pelampiasan apapun sebagai pengusir penderitaannya.
Setidaknya ia ingin hidup lebih layak setelah ini.
Baru saja Yuri ingin membenturkan kepalanya lebih keras. Alih-alih merasa sakit, Yuri malah merasakan sebuah dekapan halus bersamaan rasa hangat yang menjalar pada tubuhnya.
Aroma ini, sangat Yuri kenal.
"Jangan seperti ini Yu, kapalamu bisa terluka lagi nanti" Suara berat itu berbisik, dekapannya lembut bagai kain sutra yang membungkus tubuh. Ah Yuri melupakan satu orang ternyata, orang ini juga berusaha berkali-kali menemuinya tapi tak kunjung Yuri tanggapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PAIN [√]
FanfictionMengeja sakit yang berbaris pada riwayat, lalu beritahu di mana titik akhir itu? Bukan seperti daun maple yang bertabur karena arah angin, lalu menemui akhir. Ini lebih pelik daripada itu. Tapi, sejauh mana Shin Yuri mengeja langkah, untuk mencari p...