Suasana pedesaan dengan beberapa orang bertopi anyaman rotan berlalu lalang, nampak asing di iris matanya. Bukan hanya suasannya saja, tapi udaranya juga, setiap beberapa detik sekali Yuri menghirup udara segar khas pedesaan. Dua tahun, ia meninggalkan Busan, yang desanya terletak di tempat yang terpencil. Memakan waktu hampir 30 menit dari hotel menuju desanya dengan menggunakan bus.
Yuri berjalan kaki setelah turun dari halte bus yang berada di depan desa. Ia mulai memasuki jalan setapak kecil yang sekelilingnya dihiasi oleh sawah yang di tumbuhi padi muda. Ah sudah lama sekali, dulu ketika ia masih sekolah menengah pertama, ia sering sekali melewati jalanan ini, sembari menenteng sepatunya.
Udara dingin kembali membuat Yuri mengusap bahunya, padahal ia sudah menggunakan matel tebal. Tapi dinginya masih terasa di kulitnya, Sudah pukul 15.00 tapat. Tapi udaranya masih sangat dingin, seperti udara di pagi hari. Wajar saja, sejak pagi memang cuacanya agak mendung, tapi hujan tak kunjung turun.
Setelah beberapa menit menelusuri jalanan desa, langkahnya membawa ke rumah hunian yang dulu. Yuri melebarkan matanya tak pecaya, ia sedikit kecewa. Rumah yang dulunya hanya sebuah rumah gubuk sewa yang kurang terawat, kini telah menjadi sebuah rumah sederhana yang berdiri kokoh. Tidak mewah, tapi cukup nyaman untuk di tinggali. Lantas tanpa ingin menunda waktu Yuri kembali melangkah maju, tepat di depan pintu kayu rumah yang tertutup. Perlahan wanita yang sedang hamil muda tersebut mulai mengetukan punggung tangannya pada daun pintu.
Setalahnya pintu tersebut tertarik ke dalam, seseorang wanita paruh baya berparas teduh, menyambutnya dengan senyum ramah, dengan tatapan heran. Latas Yuri pun membalas senyuman sang empu rumah.
"Ah, permisi. Aku ingin bertanya, tapi ini agak sedikit lancang." Jujur saja, Yuri merasa kurang enak hati ketika ingin menanyakan pasal rumah ini, tapi bagaimanapun ia harus menanyakannya, ada barang yang sangat penting yang harus ia cari.
"Ya nona, tak apa. Ingin tanya apa?" Sang wanita paruh baya tersebut nampak seperti tidak keberatan dengan penuturan Yuri.
"Aku Shin Yuri, aku menyewa rumah gubuk bibi Shim dulu."
Sang empu rumah, mengerutkan keningnya. Mengingat nama seseorang yang Yuri sebutkan tadi.
"Ahh, Bibi Shim? dia sudah menjual tanah berserta rumah sewanya dua tahun yang lalu, dan aku yang membelinya. Lalu aku membangun rumah ini," jelas sang wanita, tampak ramah. Wanita ini membatin Yuri sepertinya gadis yang sopan.
"Ahh, begitu ya, jika begitu apa bibi Shim masih tinggal di desa ini?" Jujur saja, Yuri khawatir. Yuri akan bertanya pada siapa lagi jika tidak ada bibi Shim, wanita ramah yang berbaik hati menyewakannya rumah dulu untuk sang ayah dan dirinya.
"Tentu nona, rumah bibi Shim masih di tempat yang dulu. Kau bisa menemuinya disana,"
"Terima kasih banyak," Yuri sedikit membungkuk hormat dan berpamitan pada wanita paruh baya tersebut.
Yah, sebenarnya Yuri sudah menduga si bahwa rumah sewanya yang dulu pasti tidak sama. Ia tidak yakin bisa menemukan barangnya.
.
.
.
.
.
.
."Ah syukurlah bibi Shim menyimpannya." Yuri hampir-hampir meneteskan air matanya terharu, ia sudah putus asa tidak bisa menemukan satu-satunya barang berharga yang sejak dulu sudah ia miliki.
"Kau pergi secara tiba-tiba Yu, lalu tidak lama kemudian, sawahku gagal panen. Aku terpaksa menjual tanah untuk menutupi kerugiannya. Tapi untungnya aku sempat mengambil barang-barangmu yang tertinggal, sebelum aku menjual tanahnya." Jelas bibi Shim.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PAIN [√]
FanficMengeja sakit yang berbaris pada riwayat, lalu beritahu di mana titik akhir itu? Bukan seperti daun maple yang bertabur karena arah angin, lalu menemui akhir. Ini lebih pelik daripada itu. Tapi, sejauh mana Shin Yuri mengeja langkah, untuk mencari p...