Nafasku ter-engah engah. Setelah dua bajingan itu pergi dari kamar hotelku, hal pertama yang aku lakukan adalah mencari si brengsek Justin.
Kamar, kamar mandi, dapur, ruang makan, ruang tengah, seluruh lemari dan seluruh tempat paling memungkinkan untuk bersembunyi telah ku geledah, namun aku tidak menemukan apa-apa. Seolah pria sialan itu punya jurus seribu bayangan yang membuat dia bisa menghilang semudah debu tertiup angin.
Pencarian terakhir, aku pun pergi ke balkon. Menggeledah setiap sudut disana. Namun hasilnya tetap nihil. Batinku terpukul telak, tidak ada siapa-siapa.
Perlahan, netraku merunduk dan menatap lurus ke bawah. Kamarku ada dilantai 40. Tidak mungkin kan kalau pria itu nekat melompat dari sini?
Di detik yang sama ketika pikiranku memutar kemungkinan Justin melompat. Tiba-tiba, aku mendengar suara pria berbisik.
"Nona..."
Kepalaku menoleh, mencari-cari ke sekeliling dengan tatapan yang luar biasa panik.
"Apa mereka sudah pergi?"
Kepalaku tidak berhenti menoleh ke kanan dan kiri secara bar-bar. Meniti setiap sudut sambil mencari arah datangnya sumber suara.
Dan betapa terkejutnya aku ketika berhasil melihat Justin yang tengah berdiri di atas tembok pembatas antara kamarku dengan kamar sebelah. Pria itu nekat berdiri diatas tembok yang kurang lebih hanya selebar 10 senti dengan memegang dindingnya kuat-kuat.
Amarahku memuncak, gigiku bergemeletuk kencang saat mataku dengan jelas menangkap wujud pria tengik itu.
"Ah syukurlah kau yang menemukanku, apa mereka sudah pergi? ani, ulurkan tanganmu dulu. Aku benar-benar tidak bisa bergerak."
Ku tarik napas kuat-kuat, mencoba meredam emosiku yang mulai memuncak diluar kendali.
"Kau..." Ucapku penuh atensi.
"Jangan pernah muncul di hadapanku lagi." Lanjutku penuh penekanan.
Justin terlihat luar biasa terkejut mendengar ucapanku. Matanya membelalak lebar,
"Yak, agashi. Aku tau kau marah, tapi tolong ulurkan tanganmu dulu. Aku tidak bisa menahan tubuhku kalau lebih lama lagi."
Bibirku berdecih meremehkan. Memangnya siapa yang peduli? masa bodoh kalau dia harus jatuh dan mati detik ini juga. Aku sungguhan tidak peduli lagi.
Kupalingkan wajahku dengan dingin darinya untuk kembali menuju kamar.
"Yak!! nona!! kumohon, sekali ini, tolong bantu aku."
Ku remas kuat-kuat pinggir piyamaku. Otakku berputar cepat. Memikirkan setiap konsekuensi dari langkah yang kuambil. Sebenarnya masa bodoh sekali pria itu mau mati atau tidak, tapi permasalahannya. Aku tidak bisa bayangkan betapa akan jadi semakin rumitnya kalau pria itu mati terjatuh dari balkon kamar hotelku.
Dan kalau dipikir pikir, kematian bukan opsi terbaik yang bisa ku lakukan untuk menghukum pria tengik itu.
Akhirnya, kuputuskan untuk memutar tubuhku kembali ke arahnya, lantas mengulurkan lenganku tanpa banyak bicara.
Justin nampak menarik napasnya kuat-kuat sebelum melepaskan genggamannya pada dinding dan beralih menggenggam tanganku.
Dalam waktu yang amat singkat, ku kerahkan seluruh tenaga untuk menahan tubuh Justin yang cenderung kekar itu agar kembali masuk ke area balkon kamar. Sementara itu, satu tangan Justin yang lain telah bertaut di pundakku dan menjadikannya sebagai tumpuan.
Semua berjalan baik, namun tepat ketika pria itu telah berhasil masuk ke area balkon kamar, tenagaku benar-benar telah habis. Aku tidak mampu menahannya lebih lama lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY •Jjk
FanfictionKim Hanna, wanita workaholic penggila uang itu mengambil langkah paling berani dalam hidupnya untuk menjadi backpacker. Menjelajah dunia dan meninggalkan seluruh ketenangan hidupnya di kota Seoul dalam rangka menyelesaikan projek besar buku karangan...