Justin's POV
"Shampoo, pasta gigi, pewangi ruangan, lotion, lilin aroma," Mataku menilik satu per satu barang belanjaan yang ku bawa dengan teliti.
Netraku memicing ulang ke secarik kertas yang Hanna berikan, memastikan semua barang yang dia tulis telah betul-betul aku beli sesuai pesanan.
Bibirku menghela napas, membuat sontak uap dingin dari mulutku menguar di udara. Cuaca malam ini lumayan dingin, beruntung aku sempat memakai mantel tadi. Kalau tidak, aku yakin badanku sudah bersimulasi menjadi bongkahan es sekarang. Suhu di New York malam ini tidak main main, minus 5 derajat celsius.
Kaki ku melangkah cepat menyusuri jalanan, sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam, aku harus bergegas kembali ke penginapan. Entahlah, semenjak hidup bersama Hanna, aku selalu tidak tenang jika membiarkan gadis itu sendirian. Pikiran buruk selalu menguasai kepalaku setiap kali netraku tidak dapat menangkap wujud wanita itu, ini aneh ketika aku justru dapat merasa se-takut ini kehilangan gadis yang bahkan belum genap satu tahun mampir di kehidupanku.
Ah, tidak,
Kurasa sejak awal semua yang terjadi padaku dan Hanna memang sudah aneh dan diluar nalar. Pertemuan kami, cara kami saling mengenal satu sama lain, bagaimana kami bisa terikat, hingga seluruh rentetan jatuh bangun yang kami lakukan untuk bertahan sampai sekarang.
Aku terus merasa Hanna adalah keajaiban dalam hidupku. Gadis itu seperti hadiah terindah yang dikirimkan Tuhan. Aku tidak bercanda saat aku bilang, aku benar-benar bahagia dan bersyukur bisa mengenalnya dan bersamanya hingga sekarang.
Mataku membulat, lamunanku sontak terpecah saat netraku menangkap seorang pria berbaju serba hitam menghadang langkahku tiba-tiba. Dadaku tersentak. Ku pandangi pria itu lamat-lamat sebelum merasakan denyutan keras di jantungku saat dalam hitungan detik, muncul tiga, empat, ah bukan--
Mungkin sekitar tujuh sampai sepuluh orang pria kekar yang saat ini menghadangku dari segala penjuru.
Napasku tersengal, mataku memicing tajam pada satu pria yang berdiri di tengah, atensiku terkumpul penuh.
"Siapa kau?" Ujarku dengan tubuh menegang. Bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Alih-alih langsung menjawab, pria itu justru hanya memandangiku intens dan menyunggingkan senyuman. Senyuman yang bisa ku pahami betul akan segera menghantarkan sesuatu yang buruk padaku tak lama lagi.
"Senang dapat bertemu denganmu lagi,
--Jeon Jungkook..."
°°°°
Kepalaku pening, bau anyir darah menguar di sekitar hidungku. Pergelangan tanganku nyeri, sesaat kemudian aku baru sadar kalau kedua tanganku diikat dengan tambang amat kuat.
Ruangan tempatku berada begitu remang, lembab dan kotor. Aku mencoba mengumpulkan puing-puing kesadaran dan sekuat tenaga melakukan pergerakan. Namun tak lama setelah itu, seorang pria beserta 4 orang dibelakangnya masuk ke dalam ruangan dan kembali mengitari tubuhku dengan wajah tak ramah. Memerhatikan seluruh gerak gerik ku teliti.
Belum sempat aku mengucap, cahaya menyilaukan membuat netraku sontak memejam. Lantas saat aku berusaha kembali membuka mata, di depanku sudah ada layar besar yang menampilkan sosok pria paling ku benci sepanjang ku hidup.
Ayahku sendiri. Jeon Hae In
"Dasar anak keparat!!"
Netraku sontak memejam, suara laki-laki itu menghantarkan dengungan kencang di telingaku. Teriakannya, makiannya, setiap pukulannya, semua yang dia lakukan benar-benar telah melekat dan menjadi momok menakutkan terbesar sepanjang aku hidup bertahun-tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY •Jjk
FanfictionKim Hanna, wanita workaholic penggila uang itu mengambil langkah paling berani dalam hidupnya untuk menjadi backpacker. Menjelajah dunia dan meninggalkan seluruh ketenangan hidupnya di kota Seoul dalam rangka menyelesaikan projek besar buku karangan...