Treat You |9|

70 11 2
                                    

Netraku membelalak saat melihat Justin berdiri pucat di pinggir halte dengan mantel tebal membalut tubuhnya.

"K-kau gila? sedang apa diluar?!" Tuturku dengan wajah panik.

Pria itu ikut membulatkan matanya dan menghela napas kasar sesaat setelah melihatku, tangannya terangkat memegangi kepala. "Kau beli obat di luar kota, huh? sejak kapan beli obat bisa sampai 2 jam." Ucapnya dengan bibir yang pucat.

"Aku takut sesuatu terjadi di jalan, aku juga tidak bisa menelpon karena tidak punya nomor ponselmu, jadi terpaksa aku keluar."

Sontak bibirku ikut menghela napas kasar setelah mendengar penuturannya. "Tadi sekalian ke supermarket beli beberapa sayuran segar dan buah, kau sedang sakit tapi kita sama sekali tidak punya bahan makanan segar." Ucapku seraya mengusap wajah frustasi.

"Ayo ke penginapan, cuaca masih dingin. Kau bisa semakin sakit nanti."

°°°°

"Berikan nomor ponselmu,"

"Iya, nanti." Tuturku sembari sibuk berkutat di dapur.

Pria itu melangkah menghampiriku, matanya menilik bahan-bahan makanan diatas meja dengan teliti, "Mau masak apa?"

Kepalaku menoleh, dan entah bagaimana, mataku justru terkunci untuk memandangi lamat-lamat bibir serta kulit wajahnya yang terlihat begitu pucat.

"Masak apa?"

"Nde?" Tuturku refleks.

"Masak apa, nona penulis?"

"Sup daging dan tumis." Jawabku cepat, terkesan buru-buru.

"Aku juga akan buat jus melon, ku dengar jus melon bisa menurunkan demam." Ucapku lagi.

Atensiku sontak teralih saat telingaku menangkap kikikan kecil dari Justin, mataku mendelik menatapnya dan menemukan pria itu sedang mengulum senyum.

"Kau mengkhawatirkanku?"

"Apa?"

Oh ya Tuhan, Hanna. Ada apa dengan otakmu, kenapa tiba-tiba bekerja lambat sekali?!

"Kau khawatir aku sakit?" Ucapnya lagi masih dengan senyuman lebar.

Mataku mengerjap beberapa kali, berusaha menetralisir degupan di dadaku dan meneguk ludah kasar.

"M-micheosseo?! tentu saja aku khawatir. Kalau kau terlalu lama sakit bisa menyusahkanku nanti, belum lagi aku juga bisa terkena resiko tertular flu darimu."

Sontak, ku dorong kuat-kuat bahu Justin hingga pria itu mundur beberapa langkah.

"Jangan dekat-dekat, kau sedang bawa virus." Tuturku seraya menutupi hidung dan mulut.

Raut muka Justin tampak masam, namun sesaat kemudian pria itu sudah kembali beranjak mendekat ke arahku, bahkan kali ini rasanya lebih dekat ketimbang tadi.

"Golongan darahmu apa?"

"O"

"Nice, aku juga, sini biar ku tularkan."

GRAVITY  •JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang