Trevi Fountain |12|

62 12 0
                                    

Tadi malam, tak ada satupun dari aku maupun Justin yang memakan dua kotak besar pizza yang pria itu beli.

Kami juga tidak banyak bicara, ah tepatnya. Aku terus diam sepanjang perjalanan pulang, kemudian tanpa basa-basi segera masuk ke kamarku setibanya di penginapan.

Justin pun tidak banyak bertanya atau bicara. Sepertinya dia cukup merasa bersalah setelah meninggalkanku lumayan lama kemarin.

Entahlah. Setelah ku pikirkan ulang. Seharusnya aku tidak marah, seharusnya juga Justin tidak perlu merasa bersalah. Ini aneh. Entah bagaimana. Kami mulai terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar sekarang.

Aku bergerak mengacak-acak rambutku. Ku pandangai lamat-lamat siluet tubuhku yang masih berbalut piyama selutut dan wajah polos baru bangun tidur. Gerae, aku tidak boleh seperti ini. Aku harus kembali menarik garis batas, menegaskan kalau aku dan Justin hanyalah sebatas orang asing yang tidak sengaja bertemu lalu entah bagaimana kami melakukan perjalanan bersama. Hanya itu. Tidak lebih.

Dengan cepat aku beranjak berdiri dan keluar dari kamarku. Ku tekan digit password kamar Justin lantas membukanya, ya. Kami memang sepakat untuk memberi tau password masing-masing. Justin yang meminta. Dan kurasa, hal itu cukup berguna untuk menghindari kalau-kalau terjadi situasi buruk atau mendesak. Setidaknya kami bisa saling mengakses satu sama lain.

Aku mengetuk pintu kamar Justin setelah berada di dalamnya. Tak lama kemudian, pria itu menyembul dari balik tembok, masih dengan kaos hitam polos dan celana pendek se-paha. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya sedikit berminyak. Ku tebak dia pasti baru sekali bangun tidur.

"Kau mengetuk pintu kamar orang sesudah berada di dalamnya, eoh?" Ujarnya terheran.

Aku menggendikan bahu dan langsung berjalan menuju dapur. Pagi ini aku yang memasak. Dan sepertinya, kedepannya pun akan ku pastikan Justin tidak perlu lagi memegang urusan dapur. Bisa mati sakit perut aku jika terus menerus memakan masakannya.

Justin mengekori langkahku dan duduk di kursi pantry.

"Kau mau masak?"

"Memangnya pagi ini mau makan angin?"

Justin mendengus, "Pizza semalam ku taruh kulkas, kalau di hangatkan sepertinya masih bisa dimakan."

Aku memutar bola mata malas. "Kau saja yang makan. Aku tidak."

"Kenapa?"

"Tidak mau, malas saja."

Justin mengusap poninya dan merapikannya ke belakang. "Kau masih marah soal semalam?"

"Siapa yang marah?" Mataku refleks memicing.

"Lihat, kau mulai marah lagi."

"Aku tidak marah."

Justin berdecih, satu tangannya menopang dagu. Matanya masih memperhatikan gerak gerik ku memotong beberapa daging dan sayuran.

"Kau tidak mau tau kenapa kemarin aku pergi lama sekali?"

"Tidak."

"Serius?"

"Aku tidak tertarik."

Justin mendengus sebelum kemudian beranjak bangun dan pergi menuju nakas dekat tempat tidurnya, pria itu kembali lagi dan menyodorkan sesuatu ke arahku.

"Aku beli ini," Ucapnya. "Untukmu."

Gerakan tanganku yang sedang memotong sontak terhenti. Segera ku bilas telapakku di wastafel, sebelum kemudian membuka kotak kecil warna biru tua yang Justin sodorkan. Mataku sedikit membulat saat menemukan sebuah pena cantik di dalamnya. Ukiran di setiap sisinya sangat unik. Aku sempat terdiam beberapa saat hanya untuk memandanginya.

GRAVITY  •JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang