This is Love |28|

34 4 0
                                    

"Kau mau sundubujige atau tangsuyuk?"

Justin menggeleng pelan sembari menarik tanganku untuk mendekat dan duduk di pangkuannya.

"Tidak usah masak, kita pesan makanan saja ya?"

"Kenapa? masakanku tidak enak?" Tuturku sarkas.

Justin buru-buru menggelengkan kepala dan membulatkan matanya lebar, "Hey, siapa yang bilang begitu. Masakanmu sangat enak kok, bibi Kelly juga kalah kurasa."

"Hm, masih saja bawa-bawa bibi Kelly padahal sudah lama pergi dari sana," Mataku memicing, "Kenapa? masih tidak bisa melupakan Maria ya?"

Aku terkejut saat Justin tiba-tiba mencubit kedua pipi ku kencang.

"Kau benar-benar wanita dengan pemikiran paling negatif yang pernah ku temukan."

Hatiku tertohok, wajahku semakin memberengut, "Lalu? kenapa memacariku, eoh? sudah tau perangaiku tidak bagus, kenapa masih mau?" Mataku beralih memandang hal lain, "Kalau sudah keberatan, kau boleh pergi."

"Lihatlah," Justin melingkarkan tangannya pada pinggulku, "Kau mulai lagi."

Mataku mendelik, "Aku? jelas-jelas kau yang memancing perdebatan."

"Kau selalu tenang saat menghadapi orang lain, tapi kenapa begitu sensitif dan mudah marah denganku, eoh?"

Ku cebikkan bibirku pelan seraya mengalihkan pandanganku darinya.

"Mengakulah, kau selalu mudah menyuruhku pergi karena tau aku takkan melakukannya, kan?" Ujar Justin seraya mendusalkan pangkal hidungnya ke ceruk leher ku, membuatku nyaris memberontak karena geli.

Ku pandangi wajahnya lamat-lamat, pikiranku berputar kesana kemari, perkataan Justin cukup mampu membuatku untuk introspeksi diri. "Apa aku se-sensitif itu?" Timpalku mengabaikan pertanyaannya.

"Sangat."

"Aku begitu menyebalkan?"

Justin mengangguk dan hal itu semakin membuat hatiku berdenyut.

"Aku harus bagaimana supaya tidak menyebalkan?" Ucapku yang langsung membuat Justin tertawa.

"Turuti perintahku, hari ini tidak usah masak," Ujarnya dengan cengiran, "Bukan karena masakanmu tidak enak. Aku hanya takut tanganmu jadi kasar kalau terlalu banyak mengerjakan pekerjaan rumah. Besok besok juga tidak perlu beres-beres, biar aku yang mengerjakannya."

"Lalu kau mau aku melakukan apa, eoh?" Tuturku sarkas.

"Bermesraan denganku atau menulis kelanjutan bukumu, supaya cepat rampung dan kita bisa menikah."

"Cih." Bibirku mencebik, "Belakangan ini kau bahkan lebih sering menyentuh Ellois daripada menyentuhku."

Justin mengeluarkan cengiran, bibirnya mengecup pundakku sekilas sebelum bicara, "Aku kan sedang bekerja sayang, kau tau kan aku ada project baru. Bayarannya lumayan besar lho."

Mataku mendelik, "Benarkah? Berapa?"

"40 ribu dollar dan masih bisa bertambah jika minat pembaca majalah meningkat."

Atensiku sontak terkumpul penuh, punggungku refleks menegak, "Kau serius?"

Justin mengangguk, "Tentu saja. Kenapa? kau senang?"

"Pasti, walaupun itu bukan uangku, aku tetap merasa senang kalau kekasihku dapat bayaran besar."

Pria itu mendenguskan napasnya dan memeluk tubuhku semakin kencang, "Kau tidak mau minta bagianmu?"

"Bagian apa?"

"Jatah untukmu, kalau aku gajian kan pasti kau selalu dapat bagian."

"Heh?! jangan sembarangan ya, aku tidak pernah meminta uangmu tuh!"

GRAVITY  •JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang