"Ellois?"
"Kau sudah menanyakan benda itu lima kali, Justin."
"Maaf." Ujarnya dengan cengiran.
"Sudah siap semua?"
Aku beranjak berdiri di depan pria itu dan mencengkram pinggiran laptopnya kuat-kuat.
"Tutup benda ini sebelum ku pecahkan."
Justin memandangku ngeri, "Sedikit lagi," Ucapnya yang masih fokus pada layar laptop, "Aku janji."
"Baiklah lanjutkan, dan aku sungguh akan berangkat lebih dulu."
Detik itu juga pria itu sigap meng-klik tombol save pada editan video nya, dan menatapku dengan cengiran lebar.
"Sudah selesai sayang, ayo berangkat."
Ini gila. Ku tekan sekuat tenaga perutku yang tiba-tiba seakan mau meledak. Sungguh menyebalkan menyadari bahwa panggilan sayang yang baru saja Justin katakan sontak berhasil membuatku luruh dan melupakan semua perbuatan menjengkelkannya sepagian ini.
Mulai dari telat bangun, tergelincir di kamar mandi dan melukai tumitnya sendiri, membuatku repot, hanya sedikit membantu berkemas karena sibuk dengan pekerjaannya, dan oh-- kalau saja boleh ingin sekali ku pecahkan si ellois itu-- kamera Justin.
Benda itu benar-benar telah menyita banyak perhatiannya belakangan ini.
"Jangan cemberut."
Lamunanku buyar, aku terkesiap, lantas segera mengedarkan netra ke arah lain.
"Hanna-ya..."
"Kau menyebalkan pagi ini." Tungkasku.
"Memangnya pernah tidak menyebalkan?"
Bibirku mendecak, kemudian tanpa pikir panjang segera ku layangkan satu pukulan ke bahu Justin yang dibalas kekehan oleh pria itu.
"Jadi kapan bukumu selesai? Malta betul-betul akan jadi kota terakhir kan?" Tanya pria itu sebelum menyetop taksi dan sigap memasukan barang-barang kami, aku hanya memandangi pergerakannya.
"Hm, Malta akan menjadi yang terakhir."
"Setelah itu kita menikah?"
Aku tak kuasa menampung senyuman di bibir, mataku bergerak memicing menatapnya.
"Tidak semudah itu."
Justin menghela napas sembari memandang langit-langit mobil. Terlihat kesal dengan jawabanku
"Belikan aku cincin." Ucapku lagi.
"Kau lupa aku bahkan sudah membelikanmu kapal pesiar?"
"Yak. Aku tidak pernah meminta itu." Sautku tidak terima.
"Benar, tapi kau selalu mengoceh tentang betapa indahnya memandangi lautan dengan pesiar pribadi."
"Aku kan hanya cerita."
"Bagiku itu permintaan."
Ku lipat kedua tanganku di depan dada. "Kalau begitu aku tidak akan cerita apapun lagi."
Justin terkekeh lebar, akhir-akhir ini dia sering sekali membuatku merajuk, katanya itu adalah hiburan. Meski aku tidak mengerti esensi menghiburnya di sebelah mana.
"Jangan dong, nanti aku rindu suaramu."
Ku tepis tangannya saat akan mengusap ujung daguku.
"Jadi mau dibelikan cincin?"
"Tidak perlu." Tungkasku.
"Kenapa?"
"Tidak usah beli cincin. Tidak usah menikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY •Jjk
FanfictionKim Hanna, wanita workaholic penggila uang itu mengambil langkah paling berani dalam hidupnya untuk menjadi backpacker. Menjelajah dunia dan meninggalkan seluruh ketenangan hidupnya di kota Seoul dalam rangka menyelesaikan projek besar buku karangan...