Korea |30|

19 3 0
                                    

Justin memaksa para bedebah itu untuk mengantarku ke penginapan sebelum membawanya ke Korea.

Pria itu mati-matian bersikeras atas keinginannya sampai rela kembali baku hantam dengan orang-orang sialan itu. Dia bahkan mengancam akan mengakhiri hidupnya jika mereka tidak membawaku kembali menuju penginapan dan meninggalkanku begitu saja di tempat itu.

Perjalanan berlangsung hening, Aku hanya dapat termangu dan menatap kosong ke arah jendela mobil hingga tak terasa mobil yang ku tumpangi telah sampai di penginapan tujuan. Disusul dengan sedan yang membawa Justin di dalamnya.

Atensiku teralih saat netraku menangkap Justin keluar paksa dari mobil dan meninju setiap orang yang menghalangi langkahnya menuju mobil yang ku tempati. Napasku hampir terputus saat pria itu membuka pintu mobil dan menatap garang pada pria yang duduk di sampingku.

"Keluar." Ujar Justin dingin.

"Kau tidak punya telinga? ku bilang keluar!!" Detik itu juga pria itu melayangkan kepalan tinju ke arah lelaki paruh baya yang duduk di sampingku. Justin menarik kerah baju nya dan membanting begitu saja pria itu ke tanah.

Aku menganga. Untuk beberapa detik aku sungguh melupakan bagaimana caranya bernapas.  Melihat Justin dengan tatapan se-bringas ini adalah hal baru bagiku.

Pria itu berbalik menatap para tukang pukul yang kini tengah mengepung mobil yang ku naiki.

"Aku perlu mengucapkan kalimat perpisahan dengannya. 10 menit. Jangan ganggu kami jika kalian masih ingin membawa ku hidup-hidup ke hadapan bos kalian."

Justin segera masuk dan menutup pintu mobil usai merampungkan ucapan.

Netranya menatap lekat ke arahku yang kini kembali bercucuran air mata. Telapaknya yang penuh goresan luka menyapu kedua pipiku yang basah.

"Maafkan aku." Ujar Justin yang mengundangku menangis lebih deras.

Jemarinya mengusap lembut tengkuk ku di bagian bajingan tadi menyuntikan obat bius padaku saat di bandara.

"Disini agak memar. Jangan lupa mengompresnya dengan air dingin."

Aku tidak bisa menjawab sepatah katapun. Yang bisa ku lakukan hanyalah terus menangis dan menumpahkan air mata.

"Kau benar,

--Jimin telah menghianatiku."

Jantungku seolah merosot sampai dengkul. Kepalaku dengan cepat mendongak, menatapnya lekat.

"Kau tau Hanna? Aku mulai takut karena hampir semua hal yang kau ucapkan betulan terjadi. Seharusnya aku mengurangi sikap kekanakanku dan mendengarkanmu lebih sering." Justin menyunggingkan sebelah sisi bibirnya, "Aku benar-benar bodoh."

Tanganku menggenggam erat kedua telapaknya dengan gemetar. "A-pa maksudmu? a-apa yang terjadi?" Ucapku serampangan.

"Dia kabur. Membawa lebih dari setengah aset perusahaan. Membuat pelarianku terbongkar dan membuat Jey Company diujung tanduk ke bangkrutan."

Napasku hampir putus, tangisanku berhenti. Aku masih diam termenung sebelum Justin menangkup wajahku ketat. Membuatku menatapnya.

"Kau tau, aku sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain kembali kesana." Ujarnya dengan netra yang memerah. "Tapi kau juga harus tau bahwa perpisahan kita sekarang sama sekali bukan berarti aku akan meninggalkanmu."

Detik berikutnya bisa kurasakan bongkahan lembut bibir Justin menyapu bibirku yang hangat. Memberiku dua tiga kali lumatan intens sebelum menatapku dengan satu tetes air mata yang mengalir di pipinya.

"Kita akan bertemu lagi. Aku pastikan itu,"

"Dan jangan pernah janjikan kehidupan atau pekerjaanmu pada siapapun lagi. Aku benar-benar benci mendengarnya, Hanna. Karena aku tau. Menulis adalah setengah dari hidupmu. Jadi jangan pernah menjualnya demi aku atau siapapun. Tidak ada yang bisa menghentikanmu untuk menulis. Tidak dengan para bedebah itu atau pun ayahku. Aku akan kembali kesana dan membalikkan keadaan. Aku berjanji akan kembali dengan kekuasaan dan daya yang lebih besar agar dapat terus melindungimu."

GRAVITY  •JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang