Separate |13|

64 10 0
                                    

Justin menyentuh bahuku lagi dengan telunjuknya.

"Apa?" Tuturku ketus.

"Ayo ke Vatikan."

"Tidak."

Pria itu langsung meringis, bibir bawahnya mem-pout cepat dan membuatku langsung menyernyit geli saat memandangnya.

"Vatikan itu jauh. Aku tidak mau. Kau bisa kesana sendiri dan aku tetap di penginapan."

Justin mendesis kesal. "Kau sendiri yang bilang kalau urusan jarak itu bukan masalah, sekarang kau yang malah mempermasalahkan jarak, eoh?

"Astaga Justin, kita bisa ke Roman Forum, Spanish Steps, Piazza Navona atau berjalan jalan di sepanjang Via Veneto. Banyak sekali tempat yang bisa kita kunjungi selain Vatikan. Lagi pula disana hanya ada satu gereja kuno. Rasanya pasti membosankan."

"Justru itu, aku butuh gereja itu untuk melengkapi hasil potretanku sebelum benar-benar menyetorkannya ke pihak majalah."

"Kalau begitu silahkan kesana."

"Denganmu?"

"Tidak." Tuturku tegas. "Pergi sendiri, badanku agak lelah hari ini." Ujarku seraya beranjak bangun dari sofa dan beringsut ke atas kasur.

Aku sedikit terperanjat saat Justin ikut naik ke atas kasur juga dan memijat pundak ku. Refleks aku segera menyingkirkan tangannya.

"Yak. Jangan macam-macam!"

"Kalau lelah nanti ku pijat. Kalau lapar aku traktir makan, kalau ingin beli sesuatu, aku yang belikan. Tapi ikut aku, ya?"

Aku mendecak kencang, dalam hitungan detik aku telah kembali duduk tegap dan menatap pria itu penuh sangsi.

"Lagian apa bedanya kesana denganku atau tanpaku? jangan mencari perkara, deh."

Justin menghela napasnya sesaat sebelum kembali bicara.

"Aku butuh bantuanmu, jadi model ku lagi ya?"

°°°°

Netraku memandang keluar jendela bus. Pada akhirnya aku tetap kalah dan terpaksa ikut Justin pergi ke Vatikan--negara terkecil di dunia yang sebenarnya adalah salah satu kota dari Italia.

"Tenang saja aku hanya akan menyorot tubuhmu, wajahmu tidak akan terlihat di kamera. Kau tidak perlu khawatir."

Aku mengangguk singkat tanpa sedikitpun mengalihkan pandanganku dari jendela.

"Padahal kau cukup cantik untuk jadi model, kenapa tidak mau mencoba memulai karir, eoh?"

"Tidak perlu."

"Wae?"

"Uangku selama jadi penulis saja sudah membuatku bingung bagaimana cara menghabiskannya, apalagi kalau aku debut model."

Justin terkekeh singkat. Ia kembali menatapku dengan atensi penuh, "Sejak kapan kau mulai menulis?"

"Umur 18. Saat itu pertama kalinya ibu asuh di panti ku menemukan tumpukan naskah yang ku tulis. Lalu dia berinisiatif mengantarku dan menyetorkan naskah pada penerbit. Sejak saat itu lah aku mulai menulis buku."

Netraku menilik ke pepohonan diluar jendela, tak sadar kepalaku bergerak menyender ke kaca. Mataku juga mengerjap agak sayu, sepertinya aku mengantuk.

"Kau tinggal di panti? sejak kapan?" Ujarnya terdengar sangat hati-hati.

"Sejak ayahku meninggal, waktu itu umurku 15 tahun."

Justin mengangguk, aku melihatnya dari ujung mata.

GRAVITY  •JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang