Damasqueros |4|

93 14 4
                                    

Hal pertama yang ku dapati setelah bangun tidur adalah kamar hotelku yang telah tampak bersih dan rapih. Beberapa makanan yang ku pesan tadi malam telah terpatri dengan rapih di meja makan. Entah kapan datangnya, yang pasti mungkin setelah aku tertidur.

Aku masih berdiri mematung, netraku mengedar ke sekeliling. Mencari Justin.

"Kau sudah bangun?"

Tubuhku berjengit. Refleks aku berbalik dan mendapati pria itu baru saja keluar dari kamar mandi.

Hatiku berdesir aneh. Se-pagi ini dan telah melihat sekaligus mendengar suara pria benar-benar menjadi stigma bagiku. Bagaimana tidak.

12 tahun aku terbiasa tinggal sendirian.

"Sarapan dulu. Makanan semalam sudah ku hangatkan." Ujar Justin sambil menggosok-gosokan rambutnya yang masih basah dengan handuk.

Aku menelan ludah, entah kenapa lidahku kelu untuk berucap walau se-kata. Otakku seperti membeku setelah melihat tampilan Justin pagi ini yang tampak cukup, eum--

"Kau kenapa?" Ujarnya heran

"Eoh. Tidak." Aku terkesiap, ku sampirkan sebagian rambut panjangku ke belakang telinga dan segera menarik kursi di samping meja makan. Bersiap untuk sarapan.

Justin mengikuti, dia duduk di hadapanku.

"Hari ini kau bisa cek black card ku ke bank." Ucapnya.

Aku hanya mengangguk sambil mengunyah beberapa salad. Selama bermenit menit, keheningan membekukan kami. Tidak ada suara lagi dari Justin begitupun denganku. Sebelum akhirnya aku memutuskan memecah keheningan.

"Bagaimana dengan bahumu?" Ucapku mendahului.

Demi Tuhan. Saat ini, aku sama sekali tidak berani menatap matanya. Setelah membuat luka di bahunya menjadi semakin parah, betapa bodohnya aku yang sekarang malah terdengar seperti mengkhawatirkan keadaan pria itu.

"Lukanya robek semakin lebar. Sepertinya perlu di jahit. Tapi tidak papa, sementara di perban dulu."

Tenggorokanku kering. Hatiku terenyuk. Entah datang dari mana, rasa bersalah tiba-tiba menguar di dadaku.

"Kita bisa ke rumah sakit kalau kau mau." Ucapku akhirnya. Masih enggan bersitatap dengan Justin dan memilih fokus pada makanan.

Aku mendengar pria itu sedikit terkikik, mataku melirik takut-takut. Ternyata benar, pria itu sedang tertawa pelan.

Hey. Apa sekarang dia sedang menertawaiku?

"Baiklah, jam berapa?" Ujar Justin dengan senyuman khasnya.

Sedetik setelah memerhatikannya berujar, netraku sigap kembali menatap salad diatas piring. Aku tidak langsung menjawab, melainkan memilih memutar mutar daun selada dengan garpu sambil menimbang nimbang jawaban yang tepat.

"Aku mandi dulu, setelah itu kita berangkat."

°°°°°

"Hanna-ssi..."

"Hanna-ssi..."

"Hey, Hann--"

"Kau bisa diam tidak?" Tuturku kesal.

Setelah mengetahui namaku, pria itu jadi sering memanggil manggilku untuk hal sepele. Mulutnya juga semakin cerewet sejak sikapku sedikit melunak. Memang harus ku marahi terus sepertinya orang ini supaya tidak banyak bicara.

"Sampai kapan kita disini? katanya mau ke rumah sakit?" Rutuknya dengan wajah yang tidak ada bedanya dengan dompet pertengahan bulan.

"Sebentar lagi. Tunggu."

GRAVITY  •JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang