Best part |25|

46 5 6
                                    

"Hanna, boleh aku bertanya?"

"Ya."

Pria itu memilin kalung kamera di lehernya sebelum melanjutkan.

"Kenapa kita ke New York lagi?"

Tungkaiku tidak berhenti melangkah selagi Justin bicara. Kami baru saja sampai di bandar udara John F. Kennedy New York, dan menjawab pertanyaannya barusan, sebetulnya tidak ada alasan khusus kenapa aku memilih kota ini lagi untuk kami datangi, mengingat sebelumnya kami memang sudah pernah transit kemari sebelum ke Manhattan.

Aku hanya berpikir untuk membuat kami tidak terlalu lama berada di perjalanan. Jarak Puerto Rico dan New York tidak terlalu jauh, hanya butuh tiga jam naik pesawat.

"Mau makan dulu? atau langsung cari tempat menginap?" Lagi-lagi dia berbicara dengan nada takut-takut. Tak heran. Aku memang konsisten menampilkan wajah tak bersahabat padanya sejak beberapa hari terakhir.

"Aniya," Timpalku tanpa menatap pria itu, "Aku ingin ke suatu tempat, kita kesana dulu sebelum cari penginapan."

Justin menatap wajahku ragu-ragu, "Kemana?" Ucapnya pelan.

Ku hembuskan napas berat, "Ikut saja."

Lenganku bergerak cepat menyetop taksi dan membawa Justin masuk ke dalamnya. Ku buka peta di I-pad ku seraya berucap pada supir,




"Bellevue Hospital."

°°°°

Ku gigit ibu jariku cemas selama menunggu Justin keluar dari ruang pengobatan. Tak lama kemudian, seorang dokter menyembul dari balik pintu dan menghampiriku.

"Sebetulnya luka di kaki tuan Seagull bukan masalah besar, hanya karena didiamkan terlalu lama, jadi muncul sedikit infeksi, 

....sudah berapa lama dibiarkan seperti itu?"

Kepalaku merunduk, "Sekitar enam atau tujuh hari."

"Kau harus pastikan dia rutin menggunakan obat luar dan meminum antibiotik yang ku resepkan, dalam waktu seminggu lukanya pasti akan mengering."

Kepalaku mengangguk, tenggorokanku sampai sarat rasanya barang untuk sekadar menimpal.

"Kulihat dia cukup kuat, cara berjalannya sangat baik padahal di kakinya terdapat luka sebesar itu, aku yakin dia akan pulih cepat."

Aku mengangguk singkat seraya tersenyum, "Terimakasih banyak dok."

Pria paruh baya itu membalas senyumanku dan beranjak pergi, ku hembuskan napasku kuat seraya melangkah pelan masuk ke dalam ruang pengobatan.

Justin nampak terkejut saat aku masuk ruangannya, netranya bergerak gusar, jelas menghindari tatapanku.

Demi Tuhan, ingin sekali aku meninju wajahnya dan menumpahkan tangisan sekarang. Namun ku urungkan jauh-jauh pemikiran impulsif itu dan memilih hanya menatap serius wajah Justin.

"Kau pikir tindakanmu benar dengan menyembunyikan hal ini dariku, huh?"

"Kau pikir aku akan merasa senang saat tidak mengetahuinya? hebat sekali kau menahan rasa sakit selama ini."

GRAVITY  •JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang